Bajak Laut
"Ha! Ini tanah bagus sekali,
Sudah tentulah kita diami,
Jalan mana yang kita lalui,
Buat merampas tanah ini!"
Begitu berkata bajak laut,
Melihat tanah tumbuh juwawut,
Yang bisa membikin kenyang perut,
Dan bisa juga membikin gendut.
"Baik kita orang mendekati,
Pulo yang bagus tertampak asri,
Berkenalan dengah orang bumi,
Dia oranglah yang mempunyai"
Begitulah kata kepalanya,
Bajak laut bangsa yang duraka,
Hendak mendekati di tepinya,
tanah yang penuh harta dunia.
Bajak laut purak-purak dagang,
Barang makanan ditukar uang,
si Bajak Laut merasa senang,
Dan timbul tabiat binatang.
Dia orang bikin huru hara,
Dia melakukan dengan paksa,
Bertabiat seperti raksasa,
Pada orang yang tidak berdosa.
Tuan tanah selalu melawan
Dengan gagah dan keberanian,
Banyak bajak yang ditawan,
Diikat tali seperti hewan
Minta dame kepalanya bajak,
Dengan berjanji yang enak-enak,
Asal temannya tidak dirusak,
Ditendang dipukul atau didupak.
Tuan tanah juga menuruti
Permintaannya dengan berjanji,
Tiada boleh berlaku keji,
kepada semua orang bumi.
Bajak laut pun sudah menurut
Berkata "baik" dan mangut-manggut,
Bersanggup tidak membikin kalut,
Semua prentah akan menurut.
Tuan tanah pun sudah mendengar,
Dia punya janji yang keluar,
Dia diberi makan sekedar,
Oleh orang bumi yang ta' besar,
Kamu boleh berdiam di sini,
"Kamu menjadi sahabat kami"
Kata kepalanya orang bumi,
Yang dermawan lagi murah hati,
Kepala di situ menyiarkan,
Kepada orang yang dibawahkan,
Orang asing sudah diijinkan,
Bertempat tinggal di desa Bantan.
Semua orang bumiputera,
Menganggapnya seperti saudara,
Boleh berlaku dengan merdika,
Tapi jangan membikin duraka
"Di sini banyak orang sabrang,
Mareka itu sama berdagang,
Dia hidup dengan kita senang,
Hidup rukun tidak dengan perang."
Begitu berkata tuan tanah,
Pada bajak laut yang menyerah,
Karena dia orang sudah lemah,
Dia pun sudah mengaku kalah.
Bajak laut berdaya upaya,
Bersepakatan dengan temannya,
Supaya jadi kepunyaannya,
Itu tanah yang bagus dan kaya.
Bajak laut mengirimkan surat,
Kepada temannya yang mof'akat,
Yang misih ada di tanah melarat,
Minta senjata dan obat-obat!!
Pekakas perang sudah sedia,
Guna merampas tanah yang kaya,
Dan yang punya dibikin binasa,
Supaya tanah jadi miliknya.
Banyak orang yang sama dibunuh,
Oleh si bajak yang jadi teguh,
Di tanah itu menjadi rusuh,
si bajak laut menjadi musuh.
Orang bumi banyak yang melawan
Menyerang keras mati-matian,
Sudah tentu banyak kerusakan,
Banyak orang yang sama ditawan,
Kepala orang bumi yang takut,
Lebih senang marika menurut,
Kehendaknya bajak-bajak laut.
Maskipun temannya kalang kabut.
Banyak orang bumi yang ta' sukak
Turut kepalanya yang mengajak,
Berdamai dengan si bajak-bajak,
Dia ta' sukak menjadi buduk.
"Lebih baik kita orang mati,
Dari pada kita menuruti,
Kehendak bajak yang amat keji,"
Begitu kata orang yang berani.
Si kepalanya mencari akal,
Supaya temannya ta' menyangkal,
Menurut kehendaknya yang nakal,
Buat menurut bajak yang brutal.
Kepalanya orang bumi,
Tidak memikir di belakang hari
Cuma memikir diri sendiri,
Hidup besar dan berasa mukti.
Marika itu kena dibujuk
Oleh temannya yang sudah mabuk,
Pangkat besar, payung kuning, kuluk,
Itu barang tanda dia takluk.
Dia takluk pada bajak laut,
En toch mengaku orang yang ketua,
Merentah bangsanya yang menurut,
Sabetulnya dia si pengecut.
Si bajak laut tinggal tertawa,
Karena dia bisa memerentahnya,
Orang bumi yang jadi kepala,
Juga dipandang seperti Raja,
Si bajak menanam pengaruhnya,
Pada orang yang dibawahkannya,
Agar dia gampang dipijatnya,
Dan merampas harta bendanya.
Banyak orang tidak mengerti,
Tipu muslihat yang mengenai,
Kepada semua orang bumi,
Sebab ta' berpikir dalam hati.
Dari itu orang-orang bumi,
Hidup melarat setengah mati,
Dia bekerja seperti sapi,
Cuma mendapat uang setali.
Si bajak laut menjadi gemuk,
uangnya banyak bertumpuk,
Hasilnya banyak tinggal menggaruk,
Saban hari musti main mabuk.
Apa kabar orang bumi situ?
Banyak yang menguli mikul batu,
Badannya rusak hatinya pilu,
Pikiran bingung menjadi denggu.
Saban hari bertambah-tambah,
Bangsa bajak yang datang mitenah,
Di tanah itu yang amat murah,
Mencari makan ta' dengan susah.
Jangan tanya lagi orang bumi,
Bertambah susah mencari nasi,
Sebab tanahnya yang keluar padi,
Banyak yang sama dijuali.
Untung sekali si bajak laut,
Pinter menipu bisa memukul,
Supaya dia bisa menurut,
Perentahnya yang tiada patut.
Bajak laut semangkin koat,
Penjagaannya pun sudah rapat,
Bertambah pinter pat pat gulipat,
Sampai marika itu bersambat.
Dua sambat-sambat minta makan,
Kerna dia sudah kelaperan,
Dan dihinakan seperti hewan,
Oleh bangsa orang pemabukan.
Bajak laut ta' memperdulikan,
Sambatnya orang yang kelaparan,
Si bajak selalu meneruskan,
Mengisap marika sampai pingsan,
Maka hal ini harus dipikir,
Akan gunanya merobah takdir,
Supaya kita bisa mengusir,
Manusia bangsa orang.....
Semarang, 23/12/1918
Sumber: Sinar Hindia (23 Desember 1918)
Analisis Puisi:
Puisi "Bajak Laut" karya Marco Kartodikromo menggambarkan kondisi sosial dan politik pada masa kolonial di Indonesia. Melalui cerita tentang bajak laut yang merampok tanah dan merugikan masyarakat, puisi ini menyajikan kritik terhadap penjajahan dan kebijakan yang tidak adil.
Pergolakan Politik dan Sosial: Puisi menggambarkan pergolakan politik dan sosial di sebuah tanah yang indah. Bajak laut muncul sebagai simbol penjajah yang datang untuk merampas kekayaan dan hak-hak masyarakat setempat. Hal ini mencerminkan keadaan Indonesia pada masa kolonial, di mana bangsa asing memanfaatkan sumber daya dan merugikan penduduk lokal.
Kejamnya Tindakan Bajak Laut: Tindakan kejam bajak laut tergambar dalam puisi ini. Mereka tidak hanya merampok harta, tetapi juga memaksa masyarakat setempat untuk tunduk dan patuh pada mereka. Pencitraan bajak laut sebagai sosok yang brutal mencerminkan kekejaman penjajahan dan penindasan.
Pertentangan dan Pemberontakan: Meskipun ada kepala suku atau kepala tanah yang berusaha melawan bajak laut, namun banyak dari mereka yang tunduk karena intimidasi dan kekuatan militernya. Puisi menciptakan gambaran pertentangan dan pemberontakan, tetapi keberanian itu sering kali dihadapi dengan kekalahan dan penindasan.
Pemberian Janji dan Pengkhianatan: Ada unsur pengkhianatan dalam puisi ini, terutama saat kepala tanah memberikan janji-janji yang diabaikan oleh bajak laut. Pemberian makan dan janji damai ternyata tidak dihargai, dan bajak laut terus merampok dan menindas.
Penggambaran Orang Bumi yang Menderita: Orang bumi, atau masyarakat setempat, digambarkan sebagai mereka yang menderita akibat tindakan kejam bajak laut. Mereka harus bekerja keras dan hidup dalam keadaan melarat, sementara bajak laut memperkaya diri dengan cara yang tidak adil.
Kritik terhadap Kekuatan Asing: Puisi ini dapat diartikan sebagai kritik terhadap kekuatan asing yang datang dengan kedok perdagangan atau dagang, namun pada akhirnya merugikan dan merampok tanah dan sumber daya alam. Kritik ini mewakili perasaan ketidakadilan dan penindasan yang dialami oleh bangsa Indonesia saat itu.
Akibat Kolonialisme: Puisi menciptakan gambaran tentang akibat kolonialisme yang merugikan bangsa Indonesia. Pemimpin lokal yang terjebak dalam permainan politik dan janji palsu menunjukkan kompleksitas situasi pada masa tersebut.
Puisi "Bajak Laut" tidak hanya menyajikan gambaran tentang penindasan dan penjajahan pada masa kolonial, tetapi juga menciptakan ruang untuk refleksi terhadap kebijakan dan tindakan yang merugikan masyarakat lokal. Melalui metafora bajak laut, Marco Kartodikromo menggambarkan ketidakadilan dan kesulitan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pada masa itu. Puisi ini menjadi suara kritis terhadap kondisi sosial dan politik yang tidak adil dan mengajak pembaca untuk merenung tentang perjuangan dan penderitaan yang dialami oleh bangsa Indonesia di masa lalu.
Puisi: Bajak Laut
Karya: Marco Kartodikromo
Biodata Marco Kartodikromo:
- Marco Kartodikromo lahir di Cepu, Blora, pada tahun 1890.
- Marco Kartodikromo meninggal dunia di Boven Digul, Papua, 18 Maret 1932.
