Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kran Air (Karya P. Sengodjo)

Puisi “Kran Air” karya P. Sengodjo bercerita tentang tindakan membuka kran air yang menyebabkan air mengalir, mengisi kolam, dan memecah kesenyapan.
Kran Air

Kran air diputar
mengalir air mengisi kolam
berbunyi berdesir mengisi senyap

Air bersih bening

darimana air ini
mengalir terus tak henti-henti
sebelum kran diputar lagi?

air mengalir mengisi kolam
berbunyi, berdesir mengisi senyap

dari kran air!

6 Januari 1947

Sumber: Lembar-Lembar Sajak Lama (1984)

Analisis Puisi:

Puisi “Kran Air” karya P. Sengodjo menghadirkan perenungan filosofis dari hal yang sangat sehari-hari: kran air. Melalui objek yang tampak sederhana ini, penyair membawa pembaca merenungi hakikat aliran, asal-usul, dan keheningan yang bisa pecah oleh sebuah tindakan kecil. Dengan gaya yang lugas namun sarat makna, puisi ini tidak hanya merekam peristiwa fisik, tapi juga menyentuh sisi spiritual dan eksistensial manusia.

Puisi ini tidak panjang, namun struktur pengulangannya dan pemilihan diksi yang tepat menjadikannya seperti meditasi puitik tentang asal mula, ketergantungan, dan makna hadirnya sesuatu dalam ruang sunyi.

Tema

Puisi ini mengangkat tema tentang proses, ketergantungan, dan kesadaran terhadap sumber. Tema tambahannya adalah refleksi atas eksistensi dan mekanisme hidup, yang terus mengalir, tergantung pada pemicu—dalam hal ini, kran sebagai simbol dari kontrol, kehendak, atau bahkan penciptaan.

Puisi ini bercerita tentang tindakan membuka kran air yang menyebabkan air mengalir, mengisi kolam, dan memecah kesenyapan. Penyair kemudian mengajukan pertanyaan eksistensial: “darimana air ini?” Air yang tampak terus mengalir tanpa henti, seolah-olah ada sumber tak terbatas, padahal semuanya bergantung pada kran yang diputar.

Pertanyaan ini bukan hanya tentang asal air secara fisik, tetapi juga pertanyaan tentang asal kehidupan, tentang apa yang membuat sesuatu “mengalir” dalam dunia ini. Kemudian, dengan nada ringan tapi penuh makna, penyair menjawab sendiri: “dari kran air!”

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa segala sesuatu yang kita anggap biasa, sebenarnya memiliki sumber, pemicu, dan batas. Kita sering menerima aliran hidup—air, waktu, energi, inspirasi—tanpa merenungi dari mana datangnya dan bagaimana ia bisa hadir.

Puisi ini juga menyiratkan bahwa ada tindakan kecil yang menentukan perubahan besar, sebagaimana memutar kran bisa mengubah keheningan menjadi riuh air. Kran menjadi metafora dari kehendak, kesadaran, atau bahkan Tuhan sebagai sumber dari “aliran” kehidupan.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini tenang, reflektif, dan sedikit absurd. Suasana awal yang sunyi berubah menjadi bergerak saat air mulai mengisi kolam. Pembaca dibawa dari senyap menuju gerak, dari pasif menuju aktif, dari diam menuju suara yang mengisi ruang.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji sensorik, terutama yang berkaitan dengan penglihatan dan pendengaran:
  • Visual: “air bersih bening”, “mengisi kolam” — menghadirkan gambaran air yang jernih memenuhi wadah.
  • Auditif: “berbunyi berdesir mengisi senyap” — memperkuat kesan suara air sebagai penanda hadirnya sesuatu dalam kesunyian.
  • Kinestetik: “kran air diputar” — menampilkan gerak yang memicu segalanya.

Majas

Puisi ini menggunakan majas dengan cara yang halus namun efektif:
  • Personifikasi: “berdesir mengisi senyap” — air diberi kemampuan untuk “mengisi” keheningan, seolah-olah suara air membawa makna.
  • Metafora: kran air bisa dipahami sebagai lambang kendali, kehendak, atau kekuasaan atas aliran kehidupan.
  • Repetisi: Baris “air mengalir mengisi kolam / berbunyi, berdesir mengisi senyap” diulang untuk memberikan efek ritmis dan mempertegas makna.
  • Ironi halus: Setelah semua perenungan filosofis, penyair mengembalikannya pada jawaban paling konkret dan lucu: “dari kran air!”

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi ini adalah bahwa hal-hal kecil yang kita abaikan sehari-hari bisa menjadi sumber renungan yang dalam jika kita mau memperhatikannya. Penyair mengajak kita untuk melihat ulang makna dari tindakan biasa, seperti memutar kran, dan menanyakan kembali: dari mana semua ini berasal?

Ada juga pesan bahwa kesadaran akan asal dan proses adalah bagian penting dari kebijaksanaan. Kita tak bisa hanya menerima hasil tanpa merenungi sumbernya. Dan kadang, jawaban dari pertanyaan besar ternyata bisa sesederhana: dari kran air.

Puisi “Kran Air” karya P. Sengodjo adalah contoh puisi reflektif yang memadukan kesederhanaan dengan kedalaman. Dengan tema tentang aliran dan asal mula, makna tersirat yang menyentuh eksistensi dan kesadaran, serta imaji dan majas yang ditata cermat, puisi ini menjadi ajakan untuk merenungi yang kecil dan akrab sebagai sesuatu yang mungkin menyimpan jawaban besar.

Dalam air yang mengalir dari kran, penyair tidak hanya melihat cairan, tetapi melihat hidup itu sendiri—mengalir, mengisi, dan selalu kembali pada asalnya. Dan dalam senyap yang dipecah oleh desiran, kita bisa menemukan makna yang tak pernah benar-benar diam.

Puisi: Kran Air
Puisi: Kran Air
Karya: P. Sengodjo

Biodata P. Sengodjo:
  • P. Sengodjo (nama sebenarnya adalah Suripman) lahir di Desa Gatak, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, pada tanggal 25 November 1926.
  • Dalam dunia sastra, Suripman suka menggunakan nama samaran. Kalau menulis puisi atau sajak, ia menggunakan nama kakeknya, yaitu Prawiro Sengodjo (kemudian disingkat menjadi P. Sengodjo). Kalau menulis esai atau prosa, ia menggunakan nama aslinya, yaitu Suripman. Kalau menulis cerpen, ia juga sering menggunakan nama aslinya Suripman, tapi kadang-kadang menggunakan nama samaran Sengkuni (nama tokoh pewayangan).
© Sepenuhnya. All rights reserved.