Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Budha dalam Stupa (Karya Husni Djamaluddin)

Puisi "Budha dalam Stupa" karya Husni Djamaluddin adalah ajakan untuk kembali pada esensi kemanusiaan yang sejati.

Budha dalam Stupa


kuintip kau dalam stupa
kuraba lenganmu yang luka
Budha
kita alangkah
beda
kau
alangkah tenteram
dalam stupa
alangkah mantap
dalam pengap
duduk bersila
duduk
yang khusuk
aku
alangkah sangsi
dalam berdiri
di muka bumi
alangkah khawatir
dalam getir
hidup sehari-hari
alangkah gelisah
dalam melangkah
ke arah
entah
langit kaurebut bumi kaududuki
dengan damai dalam semadi
langit dan bumi lebur menyatu
dalam debur jantungmu
dalam utuh
ruh
dan tubuh
langit aku rindu langit biru terbentang jauh di atas sana
bumi yang kuhuni bumi yang tak kutahu peta urat nadinya
langit tetap teka-teki di atas ubun-ubunku
bumi tetap menggerutu di bawah telapak kakiku
debar jantungku deburnya sendiri
cemasnya sendiri
kurasakan sendiri
karena pecah
jiwa
dan raga
di matamu bulan memancar
bila malam terkapar
di wajahmu muncul matahari
ketika pagi menanti
mataku adalah jendela dari sukma yang compang-camping
wajahku adalah cuaca siang ketika matahari hilang
adalah cuaca malam ketika bulan tak datang
Budha
alangkah bedanya
kita
kau
adalah batu
batu yang diam
batu yang hening
batu yang semadi
dalam stupa

dalam diammu
dalam heningmu
dalam semadimu
dalam stupa
aku merasa
seperti kausindir
sebab kutahu
dari mulutku
telah mengalir
beribu kata
tanpa
sebutir
makna
sedang dari kau
yang batu itu
yang diam itu
yang hening itu
yang semadi itu
dalam stupa itu
telah memberi
beribu makna
tanpa
sebuah
kata

Budha
kita alangkah
beda

25 Oktober 1979

Sumber: Bulan Luka Parah (1986)

Analisis Puisi:

Husni Djamaluddin melalui puisi "Budha dalam Stupa" menciptakan sebuah karya yang menggugah perenungan mendalam tentang eksistensi manusia, perbedaan antara keheningan dan kegaduhan, serta kedamaian yang ditemukan dalam semadi dibandingkan dengan kekhawatiran hidup sehari-hari. Puisi ini mengungkapkan kontras antara figur Budha yang damai dalam keheningan stupa dengan manusia modern yang terjebak dalam kebisingan batin dan kecemasan eksistensial.

Kontras Antara Budha dan Aku: Simbol Ketenteraman dan Kegelisahan

Puisi ini dibangun di atas perbandingan antara Budha yang dilambangkan sebagai figur keheningan dan ketenteraman, dan aku sebagai manusia biasa yang hidup dalam kegelisahan. Penulis dengan indah menggambarkan perbedaan ini melalui diksi-diksi yang kuat dan penuh makna.
  1. Budha dalam Stupa, Simbol Keheningan dan Kedamaian: Figur Budha dalam puisi ini adalah lambang ketenteraman yang sempurna. Baris seperti "alangkah tenteram dalam stupa, alangkah mantap dalam pengap" mencerminkan ketenangan yang paradoks—bahwa meskipun dalam ruang sempit dan sunyi, Budha tetap memancarkan kedamaian. Keheningan Budha bukanlah kehampaan, melainkan ruang penuh makna, seperti yang dinyatakan dalam "dalam diammu, dalam heningmu, dalam semadimu, telah memberi beribu makna tanpa sebuah kata."
  2. Aku, Simbol Kegelisahan dan Ketidaktenteraman: Sebaliknya, aku dalam puisi ini adalah representasi manusia modern yang penuh keraguan dan kecemasan. Baris seperti "alangkah sangsi dalam berdiri, alangkah khawatir dalam getir hidup sehari-hari" menggambarkan jiwa manusia yang tercerai-berai, berlawanan dengan ketenangan Budha. Manusia yang terjebak dalam kebisingan hidup sering kali kehilangan makna dan arah, seperti yang diungkapkan dalam "debar jantungku deburnya sendiri, cemasnya sendiri, kurasakan sendiri."

Keheningan Budha sebagai Sindiran bagi Manusia

Puisi ini juga menawarkan kritik halus terhadap manusia yang terlalu banyak berkata-kata namun kehilangan substansi. Baris "dari mulutku telah mengalir beribu kata tanpa sebutir makna" adalah refleksi atas kegagalan manusia dalam menemukan esensi kehidupan. Sebaliknya, Budha yang diam dan hening justru memberikan makna yang mendalam tanpa harus berkata-kata.

Sindiran ini menunjukkan bahwa kedamaian dan makna tidak ditemukan dalam kebisingan atau ekspresi yang berlebihan, melainkan dalam keheningan yang penuh kesadaran. Ini adalah pengingat bahwa manusia perlu belajar dari ketenangan Budha, baik dalam tindakan maupun pemikiran.

Simbolisme dalam Puisi

Husni Djamaluddin menggunakan simbolisme yang kaya untuk menggambarkan perbedaan antara Budha dan manusia. Beberapa simbol penting dalam puisi ini meliputi:
  1. Stupa: Stupa melambangkan tempat semadi, ruang suci yang menjadi pusat ketenangan Budha. Stupa adalah simbol keabadian, keutuhan, dan keheningan, kontras dengan dunia manusia yang penuh hiruk-pikuk dan keraguan.
  2. Langit dan Bumi: Langit dan bumi menjadi metafora bagi kerinduan manusia akan kedamaian yang abadi. Baris "langit tetap teka-teki di atas ubun-ubunku, bumi tetap menggerutu di bawah telapak kakiku" menunjukkan keterasingan manusia dari dunia sekitarnya.
  3. Batu: Budha digambarkan sebagai batu yang diam, batu yang hening, batu yang semadi. Batu adalah simbol keteguhan dan ketenangan yang abadi, menggambarkan bagaimana Budha tetap tak tergoyahkan oleh kebisingan dunia.

Kritik terhadap Manusia Modern

Puisi ini tidak hanya menggambarkan kontras antara Budha dan manusia, tetapi juga menyampaikan kritik terhadap manusia modern yang terlalu sibuk dengan aktivitas dan ucapan yang kosong. Baris "mataku adalah jendela dari sukma yang compang-camping" menunjukkan bagaimana manusia sering kehilangan keutuhan jiwa mereka, terpecah oleh kecemasan, keraguan, dan ambisi duniawi.

Kritik ini mengajak pembaca untuk merenungkan kembali makna hidup, mencari kedamaian dalam keheningan, dan menghentikan kebisingan yang tidak berarti.

Relevansi Puisi dalam Kehidupan Modern

Dalam konteks modern, puisi ini relevan sebagai pengingat akan pentingnya introspeksi dan kedamaian batin. Dunia yang semakin sibuk dan penuh distraksi membuat manusia sering kali kehilangan koneksi dengan diri mereka sendiri. Figur Budha dalam puisi ini menjadi simbol ideal yang mengajarkan nilai-nilai berikut:
  1. Keheningan sebagai Sumber Kekuatan: Dalam dunia yang penuh kebisingan, keheningan adalah cara untuk menemukan makna sejati. Meditasi atau refleksi diri dapat membantu manusia kembali pada esensi kehidupan.
  2. Makna dalam Kesederhanaan: Budha dalam stupa mengajarkan bahwa makna tidak ditemukan dalam aktivitas yang berlebihan, melainkan dalam kesederhanaan dan kesadaran penuh akan momen saat ini.
  3. Kesatuan Jiwa dan Raga: Baris "langit dan bumi lebur menyatu dalam debur jantungmu" menggambarkan harmoni antara jiwa dan raga, yang menjadi tujuan manusia untuk mencapai kedamaian sejati.
Puisi "Budha dalam Stupa" karya Husni Djamaluddin adalah karya yang kaya akan makna, menggambarkan kontras antara kedamaian Budha dan kegelisahan manusia. Puisi ini tidak hanya mengajak pembaca untuk merenungkan perbedaan tersebut, tetapi juga memberikan kritik terhadap kehidupan manusia modern yang sering kehilangan arah dan makna.

Melalui figur Budha yang hening dalam stupa, penulis mengajarkan pentingnya introspeksi, keheningan, dan kesadaran penuh untuk menemukan kedamaian sejati. Dalam dunia yang semakin sibuk, pesan ini menjadi semakin relevan, mengingatkan kita untuk berhenti sejenak, merenungkan makna hidup, dan belajar dari keheningan yang penuh makna. Puisi ini adalah ajakan untuk kembali pada esensi kemanusiaan yang sejati.

Husni Djamaluddin
Puisi: Budha dalam Stupa
Karya: Husni Djamaluddin

Biodata Husni Djamaluddin:
  • Husni Djamaluddin lahir pada tanggal 10 November 1934 di Tinambung, Mandar, Sulawesi Selatan.
  • Husni Djamaluddin meninggal dunia pada tanggal 24 Oktober 2004.
© Sepenuhnya. All rights reserved.