Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Siapakah yang Berkata-kata dalam Diriku (Karya R.S. Rudhatan)

Puisi "Siapakah yang Berkata-kata dalam Diriku" karya R.S. Rudhatan mengundang pembaca untuk merenung lebih dalam tentang identitas, hubungan ...

Siapakah yang Berkata-kata dalam Diriku

antara aku dan kau
adakah sebelumnya sunyi namaku
ketika ada dalam ruangmu
dan kata belum lagi ada
kemudian sepikah menjemputmu
untuk sedia pasrah dan menerima
atas diriku kau dan aku

marilah sebab engkau telah ada
dengan berpakaian apik
ketika rindu berkibar memanggil-manggil
di halaman
rindu musim sunyi
ya, dan siapa menapat waktu
aku di muka cermin
kau itu
adalah aku
anak sunyi di mukamu

Sumber: Horison (Agustus, 1974)

Analisis Puisi:

Puisi "Siapakah yang Berkata-kata dalam Diriku" karya R.S. Rudhatan mengundang pembaca untuk merenung lebih dalam tentang identitas, hubungan antara diri dengan orang lain, serta bagaimana rindu dan sunyi saling berkelindan dalam kehidupan manusia. Dengan gaya bahasa yang puitis dan penuh metafora, Rudhatan membuka ruang untuk interpretasi yang kaya, mengajak kita menelusuri hubungan antara "aku" dan "kau", serta makna keberadaan masing-masing dalam ruang-ruang yang penuh kesunyian dan pencarian diri.

Pertanyaan Tentang Keberadaan dan Identitas

Puisi ini dimulai dengan pertanyaan mendalam:

"antara aku dan kau adakah sebelumnya sunyi namaku"

Kalimat ini seakan menantang pembaca untuk memikirkan apakah "aku" (diri penulis atau subjek dalam puisi) sebelumnya ada dalam kesunyian, sebelum bertemu dengan "kau". Pertanyaan ini menggambarkan pencarian makna dan identitas dalam diri seseorang, sebelum kehadiran orang lain yang memberi warna atau bahkan membentuk diri itu sendiri. Dalam hal ini, bisa diartikan bahwa kehadiran "kau" memberikan arti pada "aku", yang mungkin sebelumnya berada dalam keadaan hampa atau tanpa suara.

Saling Mengisi dalam Kesunyian

Puisi ini juga menciptakan suasana kesunyian yang penuh dengan pertanyaan. Ketika kata-kata belum ada dan "ada" pun baru menjadi mungkin setelah bertemu, kesunyian itu menyelimuti hubungan antara "aku" dan "kau".

"kemudian sepikah menjemputmu untuk sedia pasrah dan menerima atas diriku kau dan aku"

Kalimat ini menggambarkan hubungan yang saling menerima, antara satu individu dengan individu lain. Pasrah di sini bukan berarti menyerah, tetapi lebih kepada kesediaan untuk menerima segala aspek diri, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Kedua pihak saling mengisi dan menerima tanpa syarat, meskipun hubungan mereka bermula dari kesunyian dan ketidakpastian.

Keberadaan yang Tersirat dalam Rindu

Rindu dalam puisi ini memiliki peran yang signifikan. Rindu bukan hanya sekadar perasaan ingin bertemu atau dekat dengan seseorang, tetapi lebih sebagai simbol dari kebutuhan untuk memahami dan mengisi kekosongan dalam diri.

"marilah sebab engkau telah ada dengan berpakaian apik ketika rindu berkibar memanggil-manggil di halaman"

Keberadaan "kau" yang "berpakaian apik" menggambarkan sisi yang indah dan terhormat, yang hadir dengan segala pesona dan daya tariknya. Di sisi lain, "rindu" yang "berkibar" di halaman menggambarkan kerinduan yang menghantui, yang terus-menerus mengingatkan akan adanya ruang yang belum terisi, sebuah pencarian tanpa henti.

Sebuah Tautan Tak Terpisahkan

Pada bagian berikutnya, puisi ini semakin memperlihatkan keterikatan yang tak terpisahkan antara "aku" dan "kau".

"ya, dan siapa mendapat waktu aku di muka cermin kau itu adalah aku"

Cermin di sini berfungsi sebagai metafora untuk refleksi diri. "Aku" yang melihat dirinya sendiri di cermin akan menemukan bahwa "kau" sebenarnya adalah bagian dari dirinya. Hal ini menggambarkan konsep keberadaan yang tidak terpisahkan; bahwa "kau" adalah bagian dari "aku", dan sebaliknya, keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Anak Sunyi dalam Diri

Bagian terakhir puisi ini, "anak sunyi di mukamu", memberikan kesan bahwa ada bagian dari diri yang tersembunyi, yang hanya dapat ditemukan dalam diam. "Anak sunyi" bisa dimaknai sebagai bagian dari diri yang murni, mungkin bagian yang terlupakan atau belum sepenuhnya ditemukan. "Muka" dalam hal ini bisa merujuk pada wajah atau bahkan pada wajah dunia yang lebih luas, tempat di mana "anak sunyi" itu bersembunyi. Dalam keheningan, bagian yang paling sejati dari diri ini muncul, menunjukkan bahwa kesunyian adalah bagian dari proses pemahaman diri yang lebih dalam.

Simbolisme Rindu dan Sunyi dalam Kehidupan Manusia

Secara keseluruhan, puisi ini mengajak pembaca untuk melihat betapa pentingnya kesunyian dan rindu dalam perjalanan hidup manusia. Kesunyian bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, melainkan ruang yang memberikan kita kesempatan untuk menemukan diri dan bertemu dengan orang lain yang mungkin memberikan arti baru dalam hidup kita. Rindu, di sisi lain, adalah bentuk keinginan yang tak terucapkan, yang memanggil kita untuk mencari makna dalam hidup yang lebih besar, yang terkadang ditemukan dalam diri orang lain.

Puisi "Siapakah yang Berkata-kata dalam Diriku" karya R.S. Rudhatan adalah sebuah karya yang indah dan penuh makna. Lewat pertanyaan-pertanyaan dan metafora-metafora yang digunakannya, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan hubungan antara identitas diri, orang lain, dan bagaimana kesunyian dan rindu membentuk dunia batin kita. Dengan bahasa yang puitis dan penuh kedalaman, Rudhatan menyampaikan pesan bahwa dalam setiap pertemuan, baik itu dengan diri sendiri maupun dengan orang lain, ada proses panjang pencarian, penerimaan, dan transformasi yang mengubah kita menjadi lebih utuh.

Rosandi Rudhatan
Puisi: Siapakah yang Berkata-kata dalam Diriku
Karya: R.S. Rudhatan

Biodata R.S. Rudhatan:
  • Rosandi Rudhatan lahir pada tanggal 30 Oktober 1952 di Yogya.
  • Rosandi Rudhatan meninggal dunia pada tanggal 22 Agustus 2017.
© Sepenuhnya. All rights reserved.