Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kultus Doa (Karya Weni Suryandari)

Puisi "Kultus Doa" karya Weni Suryandari mengajak pembaca untuk merenung tentang keberadaan manusia dalam konteks yang lebih luas.
Kultus Doa


Di sini kita masih menghitung jarak, bersama air mata,
hara bagi bumi yang hampir kering dan puisi hening
dari talun. Sedang kesunyian mengalun di tengah ombak purnama
            Mekarlah kau puisi yang tak terlihat, menarilah
Sementara kata-kata berbuah dari pokok zaitun
Berkalung rantai bulan yang meninabobokkan jiwa
dalam rahasia langit, sejarak tatapan bintang dari
kaki samudera, putih menyala-nyala
            Cahayamu kultus doa bagi jiwa patah
Bumi kini semakin mengecil, kita seperti ikan-ikan
dan kematian adalah hitungan yang terabaikan.
            Oh bunga kudus, kembang kata, ombak purnama!
Robeklah jarak lempang hipokrasi elastis, tempat teori-teori
diperdagangkan, tempat kursi-kursi dipermalukan
topeng-topeng kertas terpasang di pohon bendera
            bukankah ini bumi manusia?

2014

Sumber: Media Indonesia (25 Januari 2015)
Analisis Puisi:
Puisi "Kultus Doa" karya Weni Suryandari menciptakan gambaran yang indah dan mendalam tentang hubungan manusia dengan alam, spiritualitas, dan kehidupan sehari-hari. Melalui bahasa yang kaya akan metafora dan simbol, penyair mengajak pembaca merenung tentang eksistensi, keheningan, dan perjalanan manusia dalam hubungan dengan alam dan kehidupan.

Hitungan Jarak dan Air Mata: Puisi dimulai dengan penekanan pada perhitungan jarak bersama air mata. Ini menciptakan atmosfer kepedihan dan introspeksi. Air mata di sini dapat diartikan sebagai simbol kesedihan atau kehilangan dalam perjalanan hidup.

Puisi Hening dari Talun: Ketidakterlihatan puisi yang sedang mekar di tengah hening talun mengeksplorasi keindahan dan kelembutan dalam kata-kata yang tak terucapkan. Puisi dianggap sebagai bunga yang tumbuh dalam kesunyian alam, memberikan gambaran tentang kekuatan dan kecantikan yang terpendam dalam keheningan.

Rantai Bulan dan Cahaya sebagai Kultus Doa: Penggunaan metafora rantai bulan menggambarkan kekuatan spiritual yang memberikan ketenangan dan kebijaksanaan. Cahaya yang menyala-nyala melambangkan kultus doa yang menjadi harapan dan inspirasi bagi jiwa yang patah.

Ikan-Ikan dan Kematian yang Terabaikan: Penyair menggunakan gambaran ikan-ikan dan kematian sebagai hitungan yang terabaikan. Ini mungkin mencerminkan kurangnya perhatian manusia terhadap perjalanan hidup dan kehidupan sekitar, terutama terhadap kematian yang sering diabaikan.

Bunga Kudus, Kembang Kata, Ombak Purnama: Gambaran ini menciptakan nuansa sakral dan penuh makna. Bunga kudus dan kembang kata menghadirkan keindahan dan keagungan, sementara ombak purnama melambangkan siklus kehidupan dan kegelapan yang dialami manusia.

Robeklah Jarak dan Hipokrasi Elastis: Puisi mengecam hipokrasi dan jarak yang ada dalam masyarakat. Permintaan untuk merobek jarak dan hipokrasi elastis menunjukkan hasrat untuk menyatukan dan membersihkan lingkungan sosial dari ketidakjujuran dan ketidakadilan.

Pohon Bendera dan Bumi Manusia: Metafora pohon bendera dan bumi manusia menciptakan gambaran tentang masyarakat dan politik. Topeng-topeng kertas dan permainan kursi menyoroti kecenderungan manusia untuk berpura-pura dan mengorbankan prinsip-prinsipnya.

Puisi "Kultus Doa" karya Weni Suryandari adalah karya yang memadukan keindahan alam dengan kritik sosial. Melalui penggunaan gambaran alam, spiritualitas, dan kehidupan sehari-hari, penyair menciptakan lapisan makna yang dalam dan mengajak pembaca untuk merenung tentang keberadaan manusia dalam konteks yang lebih luas. Puisi ini memadukan keindahan linguistik dengan pesan filosofis yang mendalam.

Weni Suryandari
Puisi: Kultus Doa
Karya: Weni Suryandari

Biodata Weni Suryandari:
  • Weni Suryandari lahir pada tanggal 4 Februari 1966 di Surabaya, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.