Film merupakan salah satu media hiburan yang paling lekat dengan manusia. Meskipun begitu, film tidak hanya dibuat untuk menghibur, ada juga film yang dibuat untuk menyampaikan pesan yang menyangkut kehidupan manusia. Baik itu tentang kehidupan sebagai individu maupun kehidupan sebagai bagian dari masyarakat, salah satunya film Budi Pekerti.
Budi Pekerti merupakan film yang disutradarai dan ditulis oleh Wregas Bhanuteja, produksi Rekata Studio serta Kaninga Pictures. Empat karakter utama dalam film ini dibintangi oleh Sha Ine Febriyanti, Dwi Sasono, Angga Yunanda, dan Prilly Latuconsina.
Film ini tayang perdana di TIFF (Toronto International Film Festival) pada 9 September 2023 lalu, dan baru kemudian tayang di bioskop Indonesia pada 2 November 2023.
Mengambil latar ketika pandemi Covid-19 masih berlangsung, Budi Pekerti menceritakan kisah Bu Prani (Sha Ine Febriyanti), seorang guru SMP yang diserang di media sosial melalui videonya yang viral. Video berdurasi 20 detik itu memperlihatkan Bu Prani seperti sedang marah-marah di depan penjual kue putu legendaris Mbok Rahayu.
Bu Prani dituduh mengatakan umpatan kepada Mbok Rahayu yang memang sudah tua. Ia dikecam oleh netizen karena dianggap tidak sabar dan tidak mau mengantri. Bu Prani yang pada saat itu sedang dalam proses penilaian untuk menjadi calon wakil kepala sekolah membuat video klarifikasi di akun media sosialnya.
Bukannya meredakan asumsi netizen, video klarifikasi ini malah memunculkan masalah lain yang ikut menyeret keluarganya. Anaknya Muklas (Angga Yunanda) yang memiliki lebih dari seratus ribu pengikut di TikTok, disebut anak durhaka karena tidak mengakui ibunya ketika ditanya oleh salah satu pengikutnya di kolom komentar.
Kemudian Tita (Prilly Latuconsina) yang berniat membantu ibunya dengan mengupload video balasan atas hoaks tentang ibunya, malah dikeluarkan oleh anggota bandnya.
Keadaan semakin memburuk ketika sang suami, Didit (Dwi Sasono) menghilang ketika masalah sedang memuncak dan ia sendiri sedang dalam masa pemulihan akibat depresi.
Saya tahu film ini karena diperankan oleh Angga Yunanda, dan sejujurnya, ketika berniat menonton film ini, saya tidak memiliki ekspektasi apapun. Saya sendiri sangat jarang menonton cuplikan sebelum menonton suatu film atau serial, biasanya saya hanya akan mencari premis atau pemain filmnya. Jadi, ketika menonton Budi Pekerti saya benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi di dalam film.
Selama menonton filmnya saya cukup terkesan dengan pemeran yang bisa menggunakan aksen Jawa dengan baik meskipun mereka bukan keturunan Jawa. Pengambilan latar tempat di Jogja dan pemilihan lokasi syuting yang tepat membuat film ini terasa nyata dan mampu membawa saya seperti berada langsung di lokasi. Dimulai dari rumah keluarga Bu Prani yang sangat sederhana dan bahkan tidak memiliki pintu dengan keamanan yang terjamin, hingga tempat wisata yang turut hadir dalam film.
Selama menonton film, saya merasa Budi Pekerti menggambarkan kehidupan nyata pada zaman sekarang. Bagaimana orang-orang melakukan hal seenaknya, memvideokan orang asing dan mengunggahnya ke media sosial tanpa izin. Video-video itu dijadikan konten dengan menambahkan narasi yang cenderung menggiring opini netizen, lalu mengambil keuntungan ketika video itu viral.
Netizen juga sering kali membuat asumsi, bahkan tidak jarang orang yang terkena asumsi negatif dari konten itu marah dan stres karena dituduh yang tidak-tidak.
Seperti halnya ketika Bu Prani sedang menegur bapak berbaju elang dan direkam sembarangan oleh warga lain, lalu diunggah hanya pada bagian saat Bu Prani mengatakan umpatan. Hal ini cenderung menggiring opini publik yang tidak tahu konteks kejadian sebenarnya.
Lalu ketika Gora (Omara Esteghlal) mengunggah video dengan maksud membela Bu Prani, media massa Gaung Tinta malah membuat konten yang terkesan menuduh. Gora merasa marah karena hal tersebut, hingga ia mengundurkan diri dari tempat kerjanya itu.
Contoh di kehidupan nyata, ketika ada orang yang sedang memakai baju yang kurang rapi sedang makan di restoran mewah, kemudian direkam dan diunggah di media sosial dengan tulisan "beruntunglah kalian bisa makan makanan mewah setiap hari." Hal ini seakan menggiring asumsi bahwa orang di video itu termasuk orang yang kurang mampu, padahal bisa saja orang itu memang sedang malas pakai baju rapi.
Atau ketika ada seorang ayah dan anak sedang pergi bersama, direkam dan diunggah dengan tulisan "beruntunglah kalian yang masih bisa pergi keluar bersama ayah," padahal mereka hanya sedang membeli makanan.
Akhir-akhir ini fenomena ini semakin memburuk, orang-orang makin sering merekam orang asing sembarangan. Diam-diam rekam video, lalu dijadikan konten bahan bersyukur, atau diunggah dengan tujuan menjatuhkan hingga menyebar hoaks.
Film Budi Pekerti mengingatkan betapa kacaunya dunia sekarang, dengan memperlihatkan masalah yang dihadapi Bu Prani yang tidak kunjung selesai. Suatu masalah viral, yang bersangkutan membuat klarifikasi, dibalas oleh pihak lain, kemudian dibalas lagi oleh yang bersangkutan, begitu terus hingga masalah itu memberikan dampak buruk pada kehidupan nyata.
Pada bagian akhir film ketika Bu Prani dijumpai dan diantar pulang bersama murid-muridnya, saya menangis. Saya menangis karena merasa betapa hebatnya dampak positif yang Bu Prani beri kepada muridnya hingga ia bisa disayangi sebegitunya.
Bu Prani benar-benar definisi nyata dari guru dalam filosofi bahasa Jawa; digugu lan ditiru. Ia bertanggung jawab atas masalah yang dilaluinya meskipun itu bukan kesalahannya.
Ketika Bu Prani berkata ia akan mengundurkan diri, saya merasa Bu Prani melakukannya karena telah belajar dari muridnya (Gora). Menunjukkan, meskipun ia seorang guru, yang biasanya murid yang belajar dari guru, namun Bu Prani malah belajar dari muridnya. Menurut saya, Bu Prani telah mencapai level tertinggi dalam menjadi guru.
Film ini membawa pandangan baru bagi saya, bagaimana sebuah unggahan di media sosial dapat sangat berdampak pada kehidupan. Budi Pekerti mengingatkan betapa kacau dan berantakan dunia yang kita tinggali sekarang, dengan ketidakpedulian, kapitalisme, dan mental tidak mau mengalah yang malah membawa peradaban manusia pada kemunduran.
Dibumbui dengan adegan-adegan yang tegang, menyentuh, hingga yang membuat satu studio tertawa, Budi Pekerti berhasil memenuhi ekspektasi saya yang sebenarnya tidak ada. Saya datang dengan ekspektasi nol, namun pulang dengan ekspektasi yang terpenuhi.
Identitas Penulis:
Cinta Nia Nurul Pratiwi lahir pada tanggal 22 Oktober 2004. Saat ini aktif sebagai mahasiswa, Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, di Universitas Padjadjaran.

