Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Stasiun Tua (Karya Lastri Fardani Sukarton)

Puisi "Stasiun Tua" menawarkan pandangan nostalgia terhadap sebuah stasiun kereta api yang dulu ramai dan sekarang terlupakan. Dengan menggambarkan ..
Stasiun Tua


temboknya masih perkasa
sekalipun coreng-coreng itu bertambah jua
dekil dan berbau busuk
ada tukang ronde
dan penjual kue
berteduh dari sorot matahari
sebab atapnya tak menempel lagi
dahulu
aku di situ
duduk di kursi dari besi
menanti peluit berbunyi
tanda kereta tiba
semua harus berlari
biar mendapat tempat
duduk nyaman
hingga keretaku bergerak perlahan
sangat pelan
yang berlari bersepeda
yang merayap menyewa andong tua
semuanya kusetut
dan duluan tiba
kini ketika aku dewasa
yang kupandang hanya relnya yang memanjang
seolah ingin memberitahuku
dia harus istirah
sementara colt dan bis kota merajalela
sepur hanya pagi dan sore saja
mahal upahnya

Sumber: Gunung Biru di Atas Dusunku (1988)

Catatan:
  • Kusetut = kukejar; kusalip.

Analisis Puisi:
Puisi "Stasiun Tua" karya Lastri Fardani Sukarton menciptakan gambaran nostalgia tentang sebuah stasiun kereta tua yang kini terlupakan.

Deskripsi Fisik Stasiun: Puisi dibuka dengan deskripsi fisik stasiun tua yang masih perkasa meskipun tercoreng dan berbau busuk. Ini menciptakan citra kereta api yang pernah berjaya dan sekarang melalui masa-masa terlupakan.

Tembok yang Masih Perkasa: Penggunaan istilah "tembok yang masih perkasa" dapat diartikan sebagai lambang ketahanan dan kekuatan yang masih melekat pada stasiun meskipun telah mengalami kerusakan fisik.

Atmosfir Stasiun: Puisi menyajikan atmosfir stasiun tua dengan tukang ronde dan penjual kue yang berteduh dari matahari. Ini mengevokasi suasana sibuk dan hidup di stasiun pada masa lalu.

Nostalgia Pengguna Stasiun: Puisi menciptakan gambaran masa lalu ketika penulis masih muda dan menggunakan stasiun tersebut. Penggunaan kursi besi, menanti peluit berbunyi, dan lari untuk mendapatkan tempat duduk menggambarkan pengalaman pribadi dan kehidupan di sekitar stasiun.

Perubahan dalam Waktu: Puisi menyoroti perubahan dalam waktu dengan merajalelanya kendaraan bermotor seperti colt dan bis kota. Hal ini menciptakan perbandingan antara zaman kereta api dan zaman kendaraan bermotor yang lebih modern.

Kehadiran Sepur yang Menjelaskan Kondisi Stasiun: Sepur yang "hanya pagi dan sore saja" dan "mahal upahnya" mencerminkan penurunan frekuensi layanan kereta dan mungkin juga kesulitan finansial dalam mempertahankan stasiun tersebut.

Puisi "Stasiun Tua" menawarkan pandangan nostalgia terhadap sebuah stasiun kereta api yang dulu ramai dan sekarang terlupakan. Dengan menggambarkan perubahan zaman dan kondisi fisik stasiun, puisi ini menciptakan nuansa melankolis dan refleksi terhadap masa lalu yang berubah.

Lastri Fardani Sukarton
Puisi: Stasiun Tua
Karya: Lastri Fardani Sukarton

Biodata Lastri Fardani Sukarton:
  • Lastri Fardani Sukarton lahir pada tanggal 5 Desember 1942 di Yogyakarta.
  • Lastri Fardani Sukarton dikelompokkan sebagai sastrawan Angkatan 1980–1990an.
© Sepenuhnya. All rights reserved.