Sebelah Rumah
burung bermain di kaki atap
apa tau ada lacur montoki nafsu di muka cermin
apa tau bilikku kerut sebelah kakus
burung berkisah untuk sendiri
apa tau suara datang membisu rasa
bersambut di tepi senyum di tepi tangis
bila lampu malam memanggil cicak
tak mau menyimak
sampai sekali tertawa
ribut pencari lampu terbawa
habis burung bermain
lampu di kaki atap memanggil cicak
apa tau bilikku kerut sebelah kakus
memburu
Sumber: Mimbar Indonesia (17 September 1955)
Analisis Puisi:
Puisi "Sebelah Rumah" karya Gerson Poyk menggambarkan dunia yang penuh simbol dan metafora, menggugah pembaca untuk merenung lebih dalam tentang kehidupan, interaksi, dan kenyataan sehari-hari. Melalui lensa imaji yang tampak sederhana—seperti burung, cicak, dan lampu—penyair mengajak kita untuk memikirkan dunia batin yang tersembunyi di balik keseharian.
Kesederhanaan dan Kehidupan Sehari-hari
Gerson Poyk menyoroti kehidupan sehari-hari dengan menghadirkan elemen-elemen yang akrab bagi banyak orang: burung bermain di atap, cicak yang tertarik pada cahaya, dan lampu yang menyala di malam hari. Imaji-imaji ini membangun suasana rumah tangga yang biasa, namun di balik kesederhanaannya, puisi ini menyiratkan perasaan mendalam tentang kesendirian dan keterasingan.
Burung yang "bermain di kaki atap" mengawali puisi dengan gambaran yang tenang dan damai, tapi kemudian puisi segera membawa kita ke realitas yang lebih gelap, seperti "lacur montoki nafsu di muka cermin"—frase ini mengindikasikan sesuatu yang lebih kelam, mungkin kehidupan yang penuh dengan kepalsuan atau dorongan-dorongan yang tak tersampaikan. Hal ini menggambarkan kontras antara alam yang bebas (burung yang bermain) dengan kehidupan manusia yang sering kali dibelenggu oleh nafsu dan kepalsuan.
Simbolisme Burung dan Cicak
Burung dalam puisi ini bisa dipahami sebagai simbol kebebasan dan ketidakpedulian terhadap kekacauan dunia manusia. Mereka bermain di atap tanpa menyadari—atau mungkin tanpa peduli—dengan apa yang terjadi di dalam rumah. Burung "berkisah untuk sendiri," yang bisa dimaknai sebagai tanda kesendirian atau keacuhan. Ini menggambarkan bagaimana makhluk-makhluk alam hidup dalam dunianya sendiri, tanpa perlu memperhatikan kekhawatiran atau konflik batin manusia.
Di sisi lain, cicak yang tertarik pada cahaya lampu di malam hari bisa dilihat sebagai simbol ketertarikan pada sesuatu yang bersifat dangkal atau sesaat. Cicak yang "tak mau menyimak" menggambarkan makhluk yang mengikuti nalurinya, terjebak dalam keinginan atau kebutuhan sesaat (dalam hal ini, mengejar cahaya). Dalam kehidupan manusia, hal ini bisa diartikan sebagai metafora tentang bagaimana manusia sering kali terjebak dalam godaan-godaan duniawi yang sesaat, tanpa menyadari hal-hal yang lebih dalam atau bermakna.
Keterasingan dan Kesendirian
Puisi ini juga mengekspresikan rasa keterasingan yang mendalam. Frase seperti "suara datang membisu rasa" menunjukkan bahwa meskipun ada komunikasi atau suara di sekitar kita, seringkali makna atau emosi yang sebenarnya hilang atau tidak tersampaikan. Ada perasaan bahwa interaksi manusia telah kehilangan kedalaman, di mana komunikasi tidak lagi menghubungkan perasaan yang sejati.
Tema keterasingan ini semakin diperkuat dengan gambaran tentang "bilikku kerut sebelah kakus." Kata "kerut" bisa diartikan sebagai simbol keausan, kelelahan, atau kemerosotan, menunjukkan bahwa ruang pribadi atau batin seseorang mungkin telah menjadi kusut dan terbebani oleh kehidupan sehari-hari. Frasa ini menggambarkan betapa rapuhnya kehidupan batin seseorang di tengah hiruk-pikuk dunia luar.
Kritik terhadap Kehidupan Modern
Secara implisit, puisi ini juga bisa dilihat sebagai kritik terhadap kehidupan modern yang terjebak dalam rutinitas dan kesia-siaan. Dengan menyoroti elemen-elemen seperti burung dan cicak yang tetap mengikuti naluri alaminya, Gerson Poyk seolah-olah menunjukkan bahwa manusia, yang seharusnya memiliki kedalaman emosi dan pikiran, telah kehilangan arah dalam kehidupan yang serba materialistis dan dangkal.
Manusia, seperti cicak yang mengejar cahaya lampu, sering kali mengejar hal-hal yang tidak memberikan makna sejati dalam hidup. Perjuangan untuk mencari kebahagiaan atau kepuasan sering kali hanya berakhir dengan kekecewaan, karena kita terlalu fokus pada hal-hal duniawi tanpa merenungkan makna yang lebih dalam.
Puisi "Sebelah Rumah" karya Gerson Poyk adalah karya yang menggugah pemikiran, menampilkan gambaran kehidupan sehari-hari yang tampak sederhana namun penuh dengan makna tersembunyi. Melalui simbol burung, cicak, lampu, dan kehidupan sehari-hari di rumah, puisi ini menyampaikan pesan tentang keterasingan, kehilangan makna dalam komunikasi, dan kritik terhadap kehidupan yang terjebak dalam kesia-siaan materialistis.
Dengan bahasa yang penuh metafora dan imaji yang kuat, Gerson Poyk berhasil menyampaikan perasaan kesendirian dan kerinduan akan sesuatu yang lebih bermakna dalam kehidupan manusia. Ini adalah pengingat bagi kita semua untuk lebih memperhatikan kehidupan batin kita, agar tidak terjebak dalam rutinitas dangkal yang menenggelamkan makna sejati dari keberadaan kita.
Karya: Gerson Poyk
Biodata Gerson Poyk:
- Gerson Poyk (nama lengkap Herson Gubertus Gerson Poyk dan nama panggilan Be'a) lahir pada tanggal 16 Juni 1931 di Namodele, Pulau Rote (Timur), Nusa Tenggara Timur.
- Gerson Poyk meninggal dunia pada tanggal 24 Februari 2017 di Rumah Sakit Hermina, Depok, Jawa Barat.
