Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Ungkap Tren: Lengah Dikit Pembayaran Berhasil

Kebiasaan belanja di internet Gen Z mengungkapkan upaya mereka untuk mengelola stres dan gangguan emosional melalui perilaku spontan yang tampaknya ..

Melansir dari CNBC, "doom spending" merupakan salah satu istilah yang terlahir dari tren di media sosial. Sebutan itu merujuk pada kondisi anak-anak muda yang justru lebih memilih untuk menghabiskan uang demi mendapatkan kesenangan daripada menabung. "Doom spending" juga erat kaitannya dengan keputusan seseorang yang tidak berpikir panjang untuk mengeluarkan uang pribadi.

Hal itu tak lain bisa dilakukan anak muda dengan dalih menenangkan diri dari berbagai hal di depan mata. Beberapa di antaranya seperti kondisi perekonomian hingga masa depan demikian dikutip dari Psychology Today. Menurut dosen senior bidang keuangan di King's Business School dan mantan bankir, Ylva Baeckstrom, tindakan yang bisa berujung pada kebiasaan ini bukan suatu hal yang sehat dan dapat bersifat fatal.

Di Indonesia, fenomena "doom spending" semakin terlihat dan sulit untuk disangkal. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), kelompok kelas menengah di Indonesia saat ini didominasi oleh generasi produktif seperti milenial, Gen Z, dan generasi alpha. Masalah ini tidak bisa dianggap remeh, terutama di era digital yang berkembang pesat.

Lengah Dikit Pembayaran Berhasil

Kehidupan sehari-hari Gen Z sekarang berputar di sekitar perdagangan online. Mereka dapat bertransaksi kapan saja dan dari mana saja berkat akses mudah ponsel ke berbagai platform e-commerce. Belanja, bagaimanapun, sering kali berfungsi sebagai pengalihan dari masalah emosional yang lebih serius selain memenuhi kebutuhan material.

Misalnya, saya sendiri seorang mahasiswa baru yang merasakan kesal dan kecapaian gara-gara tugas yang banyak. Di sela istirahat, saya membuka aplikasi belanja di ponsel dan mulai melihat-lihat berbagai barang untuk mengalihkan perhatian. Sebelumnya saya tidak memiliki rencana untuk membeli namun setelah melihat teman-temannya membagikan foto mereka mengenakan sepatu baru di Instagram. Meskipun saya sebenarnya tidak benar-benar membutuhkan sepatu itu akhirnya saya memutuskan untuk membelinya dalam upaya mencari kebahagiaan atau setidaknya mengalihkan perhatiannya dari kesedihan yang saya rasakan.

Proses transaksi yang cepat dan mudah memberikan rasa kontrol dan kepuasan yang sering kali hilang dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun hanya sesaat, notifikasi "pembayaran berhasil" yang muncul di layar ponselnya adalah petunjuk bahwa sesuatu yang baik sedang terjadi dalam hidupnya. Ini adalah ilustrasi yang jelas tentang bagaimana membeli bisa menjadi cara untuk menghindari kesedihan.

Faktor penting lainnya dalam situasi ini adalah media sosial. Ada banyak iklan produk yang menarik perhatian dan promosi yang menggoda di platform seperti Instagram. Gen Z merasa tertekan untuk berpartisipasi ketika mereka melihat teman-teman mereka membagikan foto-foto perjalanan belanja mereka atau barang-barang baru yang mereka beli. Perilaku ini melibatkan lebih dari sekadar melakukan pembelian tetapi juga melibatkan mencari persetujuan dan pengakuan sosial dari orang lain.

Hal yang sama berlaku untuk banyak pengguna Gen Z lainnya. Mereka sering menjadi korban siklus pembelian impulsif sebagai mekanisme penanggulangan untuk perasaan tidak menyenangkan. Mereka sering mencari hal-hal baru sebagai pelarian ketika mereka merasa sedih atau tidak bahagia. Ini mengarah pada pola perilaku di mana sumber utama mereka untuk mengurangi stres dan mendapatkan kebahagiaan sementara adalah dengan berbelanja.

Belanja online dapat menawarkan pelarian jangka pendek dari masalah emosional, tetapi penting untuk memahami bahwa itu bukan solusi yang berkelanjutan. Perilaku impulsif semacam ini dapat menyebabkan penyesalan di kemudian hari, terutama jika pembelian tersebut tidak perlu atau jika kebiasaan belanja yang tidak terkendali menyebabkan masalah keuangan.

Tetapi bagi banyak anggota Generasi Z, momen "pembayaran berhasil" mengembalikan perasaan yang baik. Ini memberi mereka kesan bahwa, bahkan dalam keadaan yang sulit, mereka mengendalikan hidup mereka. Dalam situasi ini, berbelanja dapat dilihat sebagai strategi koping—teknik yang diterima secara sosial untuk mengelola stres dan perasaan tidak menyenangkan.

Penting untuk diingat bahwa meskipun membeli bisa menawarkan kepuasan instan, mungkin tidak ada banyak manfaat jangka panjang. Setelah melakukan pembelian impulsif, banyak orang mungkin merasa bersalah atau menyesal, terutama jika hal itu mempengaruhi situasi keuangan mereka.

Kesimpulannya, kebiasaan belanja di internet Gen Z mengungkapkan upaya mereka untuk mengelola stres dan gangguan emosional melalui perilaku spontan yang tampaknya sederhana namun memiliki konsekuensi psikologis yang besar. Momen "pembayaran berhasil" lebih dari sekadar transaksi uang tetapi juga mewakili harapan dan jalan keluar dari keadaan yang tidak menyenangkan.

Generasi muda disarankan untuk mempelajari lebih lanjut tentang efek psikologis dari aktivitas pembelian ini dan menemukan strategi pengurangan stres lainnya, seperti mengobrol dengan orang terkasih, berolahraga, atau mengambil hobi baru. Selain itu, sangat penting bagi penyedia layanan e-commerce untuk memahami tanggung jawab mereka dalam membantu kesehatan mental pengguna mereka sambil menciptakan pengalaman pembelian yang menyenangkan.

Oleh karena itu, meskipun belanja online dapat menawarkan pelarian sementara dari patah hati, Gen Z harus menemukan mekanisme koping yang lebih tahan lama dan sehat untuk kesulitan emosional mereka. Mereka dapat mencapai keseimbangan antara memenuhi kebutuhan konsumsi mereka dan menjaga kesehatan mental umum mereka dengan menggunakan teknologi secara bijak. Dengan memanfaatkan teknologi secara bertanggung jawab, mereka dapat mencapai keseimbangan antara memenuhi kebutuhan konsumsi mereka dan menjaga kesehatan mental mereka secara keseluruhan.

Biodata Penulis:

Istiqomah, lahir pada tanggal 15 Mei 2006 di Batang, saat ini aktif sebagai mahasiswa.

© Sepenuhnya. All rights reserved.