Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Menyebrangi Selat Sunda (Karya Wayan Jengki Sunarta)

Puisi "Menyebrangi Selat Sunda" karya Wayan Jengki Sunarta mengajak kita untuk meresapi perjalanan ini dengan segala kebingungannya, karena dalam ...
Menyebrangi Selat Sunda

/1/  Keberangkatan

yang menggoda adalah peluit perahu
melengking pilu
dan daratan perlahan menjelma detak nadi
gemetar di ujung buritan
kompas tak terbaca
dan peta tak punya garis lintang
masih adakah yang aku tuju?

tapi di lubuk jiwa
masih tersimpan getir debar
hari akan tahu apa yang dirasa hati
mungkin camar-camar menunjuk arah
menuntunku meraba celah indah pulaumu

muli, muli, muli
jangan biarkan impianku usai
di helai-helai rambutmu
yang gemetar dibelai angin ganggang
sesekali kita perlu bercermin
pada rasa cemas yang getas

karena angin aku menderita angina
lampu mercusuar tak menyala
dan angan jadi pucat di pucuk tiang layar
di anjungan mualim tafakur
meresapi lautan baru

sedikit regukan arak
tentu pelayaran jadi lebih indah
lumba-lumba bermata mutiara
mengikuti impianku yang menyerap buih lautan
tak ada lagi lokan-lokan buta
yang merayap di batu-batu itu

krakatau sudah lama menunggu
serupa ragu dan rindu di dada
gemuruhnya yang samar
pastilah kau rasa

muli, muli, muli
apakah kau menungguku di bakauheni
atau kau menginginkan aku menyusuri
jejak-jejak pejalan penyair sepi
hingga kaki dan hatiku penuh duri
dan kau tiada mau lagi dinanti

hanya ada bayang cemburu kelapa tua
dan begitulah daratan
selalu meminta lebih
dari yang diinginkannya


/2/ Kepulangan

telah kutinggalkan pulau kasihku yang galau
gugusan bukit, anak-anak ombak, tugu air,
dan putih pasir yang dibasuh purnama

kembali lagi kuseberangi selat
yang rindu pada dirinya sendiri
krakatau masih termangu di dasar laut
sebab amuk purba yang melemparkan serpih perahu
dan bongkahan  mercusuar hingga ke kota para muli

begitulah mercusuar
masih saja nglangut sendiri
di terik hari di dalam detak nadi
tapi malam dan kegelapan adalah kuasanya
berkah bagi perahu-perahu yang tersesat
ketika menuju pulaumu

selat sunda yang rahasia
tenung ombakmu yang kulayari
adalah kegaiban masa lalu
hingga menggapai mulus tubuhmu
atau aku hanya berkubang di mata purnama
yang menyimpan telaga
dan igau malam-malam tanjungkarang

camar menari sendiri
di atas pucuk mercusuar
yang ragu menunggu senja
perahu kecil yang muram muncul
dari celah indah pulaumu
apakah impian baru
akan rekah di akhir titahmu

tapi aku hanya rindu tetirah
dalam jiwamu yang serupa haiku
atau pada matamu
yang memeram benih lautan

garis cakrawala adalah bayangan hampa
pada akhir senja yang terlunta
bongkah-bongkah pulaumu masih samar dan asing
deru cerobong tungku makin mendera jiwa
sempurnalah pertemuan

kelak anak-anak ombak
akan mengajariku
cara hanyut yang tidak hanyut
sebab dermaga hanya penipuan diri
tak ada tempat berlabuh
untuk perahu yang dijelang maut
perahu yang membawa mesiu dan sekutu
bagi jiwa-jiwa galau

lalu dimana sesungguhnya akhir igau nelayan
apakah cinta akan lengkap jadi terumbu karang
tempat bermain ikan-ikan molek yang kesepian

matahari, bakauheni
mati hari di puting pagi
lesap sudah rasa cuka
pada luka
dan kita pun sepakat
untuk saling berkhianat
sebab pasir dan pantai
dua sejoli yang mengingkari diri

muli, muli, muli
aku kini mengarungi pelayaranmu,
hingga ke tepi paling sepi
dari duka dan duri
sebab puisi lahir
dari sunyi perjalanan

aku rebahkan diri
di hampar biru mushola
di atas laut yang hening
mencoba merasakan lirih angin
dalam tangis bayi dan tempias garam
getar adzan membelai-belai
helai-helai rambutku

selalu ada perjalanan
untuk kembali
ke dalam diri
setelah air wudhu
membasuh hati
dan juga hari

tapi yang berdenting adalah airmata
bergulir serupa kata-kata
pada kertas-kertas kusam di tanganku
sebab perahu kita melaju
saling berlawanan arah
pada hampar laut yang ragu
memaknai pelayaran

kini hanya dua jiwa
menatap hampa
pada semesta senja
satu jiwa berada di pucuk mercusuar
di pulau seberang
jiwa yang lain nglangut di atas geladak perahu

selamat jalan, pengembara…

lumba-lumba meminta airmataku
untuk dijadikannya lautan
bagi pelayaranmu kelak

tapi angin lebih dulu
mengeringkan airmata
dan matahari menyulamnya
menjadi untaian permata
berkilau di lekuk lehermu
yang kuning gading

Selat Sunda, Agustus 2007

Analisis Puisi:

Puisi "Menyebrangi Selat Sunda" karya Wayan Jengki Sunarta merupakan karya puitis yang menggabungkan tema perjalanan, kerinduan, dan pencarian makna dalam hidup. Menggunakan latar Selat Sunda, puisi ini membawa pembaca dalam sebuah perjalanan batin yang mendalam, penuh dengan simbolisme laut, pelayaran, dan hubungan antara dua individu yang terpisah oleh jarak dan waktu. Dengan dua bagian utama, yaitu Keberangkatan dan Kepulangan, Sunarta menggambarkan perasaan galau, kecemasan, dan kerinduan yang tak terucapkan, menciptakan sebuah narasi perjalanan hidup yang penuh dengan refleksi filosofis.

Keberangkatan: Memulai Perjalanan Batini

Bagian pertama puisi ini, Keberangkatan, diawali dengan penggambaran tentang peluit perahu yang "melengking pilu," mengisyaratkan suatu bentuk perpisahan yang penuh dengan kecemasan dan kesendirian. Peluit ini menjadi simbol dari keputusan untuk memulai perjalanan—baik secara fisik maupun batin—dalam pencarian sesuatu yang belum jelas.

"yang menggoda adalah peluit perahu / melengking pilu / dan daratan perlahan menjelma detak nadi / gemetar di ujung buritan."

Ketegangan ini semakin diperburuk oleh ketidakpastian arah. Kompas yang tak terbaca dan peta yang kehilangan garis lintangnya menciptakan suasana yang hampa dan terombang-ambing. Sang penyair seolah mempertanyakan tujuan hidup dan apa yang seharusnya dikejar dalam perjalanan ini.

"kompas tak terbaca / dan peta tak punya garis lintang / masih adakah yang aku tuju?"

Namun, meskipun ada rasa kehilangan arah, ada harapan yang tersisa. Camar-camar yang terbang di langit, seolah memberi petunjuk dan mengarahkan sang penyair menuju sebuah pulau yang indah—sebuah tempat yang menjadi impian. Dalam keraguan dan kecemasan ini, ada keinginan untuk terus melangkah, dan harapan agar impian itu tidak berakhir begitu saja.

"muli, muli, muli / jangan biarkan impianku usai / di helai-helai rambutmu / yang gemetar dibelai angin ganggang."

Pelayaran ini bukan hanya fisik, tetapi juga sebuah perjalanan batin yang penuh dengan ketidakpastian, seperti perahu yang bergerak di tengah laut yang luas dan bergelora. Penyair mengajak kita untuk meresapi rasa cemas yang menggetar di hati, serta menemukan makna dalam keheningan dan refleksi.

Kepulangan: Menghadapi Kerinduan dan Kenyataan

Bagian kedua puisi ini, Kepulangan, membawa kita kembali ke daratan setelah perjalanan yang panjang. Kepulangan ini bukan hanya fisik, tetapi juga perjalanan mental yang lebih dalam. Sang penyair menggambarkan betapa beratnya meninggalkan "pulau kasih" yang penuh kenangan dan kegelisahan.

"telah kutinggalkan pulau kasihku yang galau / gugusan bukit, anak-anak ombak, tugu air, / dan putih pasir yang dibasuh purnama."

Perjalanan kembali menyeberangi selat Sunda ini diwarnai oleh kerinduan yang mendalam, namun juga kesadaran bahwa masa lalu, seperti mercusuar, tetap berdiri kokoh meski terkadang tampak kesepian dan terasing. Namun, mercusuar, dengan segala peranannya, tetap menjadi cahaya yang memandu perahu-perahu yang tersesat, memberikan harapan bagi mereka yang terombang-ambing.

"begitulah mercusuar / masih saja nglangut sendiri / di terik hari di dalam detak nadi."

Tapi, seperti halnya perjalanan hidup, ada rasa kehilangan yang tak bisa disembunyikan. Lalu, ada kesadaran bahwa meskipun kita kembali ke titik asal, tak ada jaminan kita akan menemukan kedamaian atau pemenuhan yang kita harapkan. Dalam kepulangan ini, penyair menyadari bahwa perjalanan sejati tidak memiliki tempat berlabuh yang pasti. Seperti perahu yang melaju menuju takdirnya, hidup terus berlanjut tanpa henti.

"lalu dimana sesungguhnya akhir igau nelayan / apakah cinta akan lengkap jadi terumbu karang / tempat bermain ikan-ikan molek yang kesepian."

Simbolisme Laut dan Pelayaran: Pencarian Makna dalam Hidup

Lautan dalam puisi ini bukan hanya sebagai latar geografis, tetapi juga sebagai simbol perjalanan hidup yang luas, tak terduga, dan penuh dengan keindahan serta keraguan. Selat Sunda, dengan segala rahasianya, menjadi metafora untuk pencarian diri yang tak berujung. Pelayaran yang ditempuh penuh dengan arus yang kadang membawa pada kebingungan, namun di sisi lain, ada harapan untuk menemukan tujuan yang lebih tinggi.

Penyair menggunakan berbagai simbolisme alam, seperti mercusuar, ombak, dan camar, untuk menggambarkan keadaan batin yang bergolak dan keinginan untuk menemukan jawaban atas pertanyaan hidup. Dalam perjalanan ini, ketidakpastian dan keraguan adalah bagian yang tak terpisahkan, tetapi juga memberi ruang untuk refleksi dan pemahaman yang lebih dalam tentang diri dan kehidupan.

"selat sunda yang rahasia / tenung ombakmu yang kulayari / adalah kegaiban masa lalu."

Penutupan: Rindu dan Kehilangan yang Tak Terbantahkan

Puisi ini berakhir dengan suatu perasaan yang mendalam—rindu, kehilangan, dan penyerahan diri pada kenyataan hidup yang kadang tidak pasti. Penyair menyadari bahwa dalam perjalanan ini, meskipun ada impian dan harapan, ada pula kenyataan bahwa kita mungkin tidak pernah benar-benar mencapai tujuan yang kita impikan.

"selamat jalan, pengembara… / lumba-lumba meminta airmataku / untuk dijadikannya lautan / bagi pelayaranmu kelak."

Meskipun ada rasa kecewa dan penyesalan, penyair juga menyadari bahwa perjalanan itu sendiri adalah bagian dari makna kehidupan. Puisi ini mengajak kita untuk menerima perjalanan hidup dengan segala perasaan galau, keraguan, dan ketidakpastian, karena pada akhirnya, perjalanan itu membawa kita pada pemahaman tentang diri kita yang lebih dalam.

Puisi "Menyebrangi Selat Sunda" karya Wayan Jengki Sunarta adalah karya yang sarat dengan makna filosofis. Dengan simbolisme laut, pelayaran, dan mercusuar, puisi ini menggambarkan perjalanan hidup yang penuh dengan kerinduan, kecemasan, dan pencarian makna. Melalui dua bagian, Keberangkatan dan Kepulangan, Sunarta menuntun pembaca untuk merenung tentang tujuan hidup, kenangan yang tak terlupakan, dan kenyataan bahwa setiap perjalanan, pada akhirnya, membawa kita kembali ke dalam diri kita sendiri.

Penyair mengajak kita untuk meresapi perjalanan ini dengan segala kebingungannya, karena dalam setiap perjalanan, baik yang jauh maupun yang dekat, terdapat pelajaran dan pemahaman yang membawa kita lebih dekat pada makna sejati kehidupan.

Wayan Jengki Sunarta
Puisi: Menyebrangi Selat Sunda
Karya: Wayan Jengki Sunarta

Biodata Wayan Jengki Sunarta:
  • Wayan Jengki Sunarta lahir pada tanggal 22 Juni 1975 di Denpasar, Bali, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.