Monolog Gerimis
nafasku angin yang mengaliri rambutmu
biarkan menggerai seperti tetes gerimis
memercik lembut di bulu matamu
walau sekejap, biarkan nafasku menjadi angin
seperti ruh-ruh kehidupan yang penuh warna
nafasku angin yang mengaliri rambutmu
dan dengan bahasa lain
menggapai kecemasan demi kecemasan
seperti mimpi kita membangun langit yang lain
dengan segenggam rindu
nafasku angin yang mengaliri rambutmu
dan bakal memutih di perjalanan waktu.
1999
Analisis Puisi:
Puisi "Monolog Gerimis" karya Tri Astoto Kodarie menggambarkan sebuah perjalanan emosional yang mendalam melalui monolog penuh perasaan dan metafora yang kaya. Puisi ini menggambarkan perasaan seseorang yang terhubung dengan seseorang yang begitu spesial, meskipun ada kekhawatiran yang mendalam tentang waktu dan jarak. Melalui repetisi kata "nafasku angin yang mengaliri rambutmu," pengarang berhasil menyampaikan perasaan yang penuh kerinduan dan keinginan untuk tetap bersama, meskipun segala sesuatu yang terjadi di dunia ini bersifat sementara.
Nafas Sebagai Simbol Kehidupan dan Kerinduan
Kalimat pertama dalam puisi ini, "nafasku angin yang mengaliri rambutmu," menggunakan metafora yang sangat kuat. Nafas, yang merupakan bagian penting dari kehidupan, digambarkan sebagai angin yang mengaliri rambut orang yang disayangi. Angin, dalam konteks ini, bisa dipahami sebagai sesuatu yang ringan namun tak terlihat—seperti perasaan cinta atau kerinduan yang tak terucap namun tetap ada. Rambut, yang lembut dan penuh makna, menjadi simbol kedekatan fisik yang mendalam.
Di sini, angin yang mengaliri rambut juga bisa dipahami sebagai sebuah perasaan yang menyentuh hati dan pikiran, tetapi dalam bentuk yang sangat halus. Sebuah kenangan yang mungkin tidak selalu terlihat jelas namun tetap hadir dalam pikiran. Dalam setiap desahan angin, ada kenangan, ada perasaan yang mengalir begitu saja, seperti tetes gerimis yang menyentuh hati.
Perjalanan Waktu dan Kecemasan yang Menghantui
Di bait kedua puisi ini, pengarang menggambarkan "menggapai kecemasan demi kecemasan" yang mengingatkan kita pada ketakutan dan keraguan yang menyelimuti kehidupan. Kecemasan ini bisa merujuk pada ketidakpastian hidup, hubungan, atau masa depan yang tidak dapat diprediksi. Walaupun demikian, ada juga harapan yang lebih besar, yaitu "mimpi kita membangun langit yang lain dengan segenggam rindu."
Mimpi ini mengindikasikan harapan yang melambung tinggi—sebuah impian bersama, yang penuh dengan kerinduan, yang meskipun terkadang terhalang oleh kecemasan, tetap menjadi tujuan. Rindu menjadi elemen yang menyatukan keduanya, memberi arah dan tujuan yang lebih kuat dari sekadar kecemasan dan ketakutan yang ada. Sebuah janji di tengah keraguan, yang dibangun oleh angin dan nafas yang menyatu.
Gerimis dan Waktu yang Tak Pernah Kembali
Pada bait terakhir, kita diperkenalkan dengan gagasan bahwa "nafasku" yang tadi angin itu akan "memutih di perjalanan waktu." Memutih di sini bisa diartikan sebagai perubahan yang tak terhindarkan, yaitu perjalanan waktu yang akan mempengaruhi segalanya, termasuk perasaan dan kenangan. Nafas, yang sebelumnya mengalirkan kehidupan dan kerinduan, akan memutih, mungkin karena bertambahnya usia atau berlalunya waktu, yang mengubah segalanya.
Gerimis di sini bisa dipahami sebagai hujan atau tetesan air yang halus, namun membawa perubahan. Gerimis adalah simbol dari waktu yang terus berjalan, dari perubahan yang terus terjadi. Namun, meskipun semuanya berubah, tetap ada perasaan yang abadi—seperti angin yang mengaliri rambut, seperti kenangan yang selalu hidup di dalam hati.
Keindahan Monolog dalam Puisi Ini
Monolog dalam puisi ini berfungsi untuk mengungkapkan perasaan yang mendalam dan rumit. Monolog ini tidak hanya berbicara kepada diri sendiri, tetapi juga kepada orang lain yang ada dalam imajinasinya. Dalam bentuk yang sangat pribadi, pengarang mencoba berbicara tentang perasaan, kerinduan, dan kecemasan yang dihadapi. Kata-kata yang digunakan dalam puisi ini sangat puitis, penuh dengan simbolisme yang menggugah, sehingga memberi kesempatan kepada pembaca untuk menginterpretasikan makna puisi ini dengan cara mereka sendiri.
Simbolisme Gerimis dan Angin dalam Konteks Kehidupan
Gerimis dalam puisi ini berfungsi sebagai simbol dari perasaan yang datang perlahan, sesuatu yang tidak tergesa-gesa tetapi tetap memberikan dampak. Gerimis adalah hujan yang lembut, yang bisa menenangkan sekaligus melankolis. Begitu juga dengan angin yang menyentuh rambut—sesuatu yang membawa perubahan halus tetapi tidak bisa dilihat langsung. Perubahan itu ada, namun tidak selalu mudah untuk dipahami. Sama halnya dengan perjalanan hidup yang sering kali dipenuhi dengan rasa cemas, kerinduan, dan perubahan yang datang begitu saja.
Puisi "Monolog Gerimis" karya Tri Astoto Kodarie menggambarkan dengan indah betapa perasaan bisa mengalir seperti angin yang tak terlihat namun tetap hadir, memberikan kehidupan, dan membawa perasaan yang mendalam. Melalui repetisi kata-kata yang sederhana namun penuh makna, pengarang berhasil menyampaikan sebuah cerita tentang kerinduan, kecemasan, dan harapan di tengah perjalanan waktu.
Puisi ini tidak hanya sekadar monolog, tetapi juga sebuah perjalanan batin yang mengajak pembaca untuk merasakan perasaan yang terkandung di dalamnya. Setiap kata dan metafora yang digunakan dalam puisi ini membuat kita merenung tentang kehidupan, hubungan, dan perjalanan waktu yang terus bergulir tanpa henti. Gerimis dan angin, sebagai simbol kehidupan, membawa kita kembali pada kenyataan bahwa dalam setiap detik yang berlalu, kita selalu dihadapkan pada perubahan, kerinduan, dan harapan yang tak pernah usai.
Puisi: Monolog Gerimis
Karya: Tri Astoto Kodarie
Biodata Tri Astoto Kodarie:
- Tri Astoto Kodarie lahir di Jakarta, pada tanggal 29 Maret 1961.
