Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Tuhan, Bentangkan Langit (Karya Mh. Rustandi Kartakusuma)

Puisi "Tuhan, Bentangkan Langit" karya Mh. Rustandi Kartakusuma menggambarkan ketidakpastian hidup dan keterbatasan manusia dalam menggapai tujuan ...
Tuhan, Bentangkan Langit

Tuhan,
Bentangkan langit di atasku
Jernih!
Bangkit badanku ke negara-Mu,

Tempat Engkau termenung
Melihat aku dalam baju ini.
Lama sudah lonceng Kau bunyikan,
Gapura ternganga:

Aku boleh naik!
Tapi kenapa denyar dan gema
Masih saja Kau biarkan memperebutkan aku,

Hingga piala yang penuh
Tertumpah, darah meleleh
Dan tangan-tulang mengapai-gapai?

Analisis Puisi:

Puisi "Tuhan, Bentangkan Langit" karya Mh. Rustandi Kartakusuma menyajikan gambaran mendalam tentang pergulatan batin dan pencarian makna dalam kehidupan manusia. Dalam karya ini, sang penyair mengungkapkan perasaan keterbatasan manusia dalam menghadapi kehidupan yang penuh dengan tantangan dan permasalahan. Dengan menggunakan gambaran simbolik dan metaforis, puisi ini mengeksplorasi hubungan manusia dengan Tuhan, pengharapan yang tinggi, serta rasa keterasingan dan perasaan terperangkap dalam realitas yang penuh dengan konflik dan penderitaan.

Menggambarkan Pencarian Spiritual yang Mendalam

Puisi ini diawali dengan sebuah permohonan yang tulus, "Tuhan, Bentangkan langit di atasku," yang menggambarkan suatu bentuk permintaan agar Tuhan memberi petunjuk atau jalan terang dalam hidup. "Bentangkan langit" bisa dimaknai sebagai sebuah ajakan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih luas dan lebih dalam tentang hidup dan makna keberadaan itu sendiri. Langit dalam puisi ini tidak hanya sekedar sebagai simbol alam, tetapi juga sebagai representasi dari keterbukaan spiritual yang diinginkan sang penyair.

Kata "Jernih!" di sini menunjukkan harapan agar kehidupan ini, yang sering kali diliputi kebingungannya, bisa dipandang dengan lebih jelas. Keinginan untuk bangkit dan menemukan jalan menuju kebenaran serta keselamatan spiritual menjadi tema yang mendalam dalam puisi ini, dengan sang penyair menyatakan keinginan untuk "bangkit badanku ke negara-Mu," yang bisa dimaknai sebagai hasrat untuk mendekatkan diri dengan Tuhan atau mencapai kedamaian spiritual.

Konflik antara Pengharapan dan Kenyataan

Namun, meskipun ada permohonan yang penuh pengharapan dalam bait pertama, puisi ini juga menampilkan sebuah perasaan ketidakpastian dan kegelisahan yang mendalam. Dalam baris berikutnya, penyair menyatakan, "Tempat Engkau termenung / Melihat aku dalam baju ini." Ini mengindikasikan perasaan kesendirian dan keterasingan, di mana sang penyair merasa dilihat oleh Tuhan dalam kondisi manusiawi yang terbatas, dalam "baju ini" yang bisa jadi merujuk pada tubuh fisik dan keterbatasan jasmani yang mengikat.

Ada juga gambaran tentang peringatan atau tanda yang sudah lama datang, "Lama sudah lonceng Kau bunyikan," yang mungkin merujuk pada panggilan atau peringatan dari Tuhan, yang sudah lama terdengar namun tidak bisa sepenuhnya dipahami atau direspon dengan baik oleh manusia. "Gapura ternganga" menambahkan kesan sebuah pintu yang terbuka, seolah memberi kesempatan bagi manusia untuk memasuki sebuah keadaan yang lebih mulia atau lebih dekat dengan Tuhan, namun pada kenyataannya, manusia sering kali merasa terhalang atau tidak siap untuk memasuki "negara" Tuhan tersebut.

Keterbatasan Manusia dalam Menghadapi Dunia yang Penuh Pertarungan

Di tengah harapan yang menggebu-gebu untuk mencapai pencerahan, puisi ini juga menggambarkan sisi gelap dari realitas dunia, yakni konflik dan kekerasan yang terus memperebutkan perhatian manusia. "Aku boleh naik! / Tapi kenapa denyar dan gema / Masih saja Kau biarkan memperebutkan aku," menggambarkan sebuah situasi di mana meskipun ada panggilan menuju kebaikan atau kebenaran, dunia masih dipenuhi oleh kekerasan, pertarungan, dan perpecahan yang menyulitkan manusia untuk mencapai kedamaian.

Penyair menggambarkan sebuah kondisi yang penuh dengan kekacauan dan penderitaan, "Hingga piala yang penuh / Tertumpah, darah meleleh / Dan tangan-tulang mengapai-gapai." Gambarannya yang tragis ini bisa diartikan sebagai simbol dari pertarungan dan kekerasan yang tak pernah selesai dalam kehidupan manusia. "Piala yang penuh" bisa merujuk pada impian atau harapan yang tertunda, yang akhirnya jatuh dan tumpah, menyebabkan penderitaan dan kehancuran.

Simbolisme dan Makna yang Tersirat

Secara keseluruhan, puisi "Tuhan, Bentangkan Langit" karya Mh. Rustandi Kartakusuma mengandung simbolisme yang kaya dan menggambarkan pergulatan spiritual manusia. Langit yang diminta untuk dibentangkan menjadi simbol dari pemahaman yang jernih dan terbuka tentang hidup dan Tuhan. Namun, kenyataannya, meskipun ada panggilan menuju kebaikan dan pencerahan, dunia ini dipenuhi dengan konflik, kekerasan, dan ketidakpastian yang sering kali membuat manusia merasa terjebak dalam kebingungannya sendiri.

Puisi ini juga menyentuh tema penting tentang harapan dan kenyataan yang sering kali tidak sejalan. Manusia mungkin berharap untuk mencapai kedamaian dan pemahaman yang lebih tinggi, tetapi sering kali harus berhadapan dengan dunia yang penuh dengan penderitaan dan pertarungan. Dalam konteks ini, puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang arti kehidupan dan pencarian spiritual yang tidak pernah berhenti, meskipun terkadang terasa penuh dengan rintangan dan kekecewaan.

Puisi "Tuhan, Bentangkan Langit" karya Mh. Rustandi Kartakusuma adalah karya yang mendalam dan penuh refleksi tentang pencarian makna hidup, pengharapan, dan perjuangan batin manusia dalam menghadapi dunia yang penuh dengan konflik. Dengan simbolisme yang kuat, puisi ini menggambarkan ketidakpastian hidup dan keterbatasan manusia dalam menggapai tujuan spiritual yang lebih tinggi. Namun, di balik perasaan kesulitan dan kegelisahan yang digambarkan, terdapat harapan yang tak pernah padam untuk menemukan kedamaian dan pencerahan. Melalui puisi ini, pembaca diundang untuk merenung dan bertanya-tanya tentang perjalanan hidup mereka sendiri, serta pencarian mereka akan kebenaran dan kedekatan dengan Tuhan.

Puisi: Tuhan, Bentangkan Langit
Puisi: Tuhan, Bentangkan Langit
Karya: Mh. Rustandi Kartakusuma

Biodata Mh. Rustandi Kartakusuma:
  • Mh. Rustandi Kartakusuma atau Muhammad Rustandi Kartakusuma (akrab dipanggil Uyus) lahir pada tanggal 27 April 1921 di Ciamis, Provinsi Jawa Barat.
  • Mh. Rustandi Kartakusuma meninggal dunia pada hari Jumat 11 April 2008 pukul 06.15 WIB di Panti Jompo Ria Pembangunan, Cibubur.
© Sepenuhnya. All rights reserved.