Yang Kupunya Hanya Ketulusan akan Kematian
yang kupunya hanya ketulusan akan kematian
atau burung-burung gagak yang melintas tengah malam
sebagai pertanda dari sebuah cerita penantian
kemudian perlahan-lahan tenggelam
di balik kelam
yang kupunya hanya ketulusan akan kematian
dari bau kembang sampai bau tanah di kerinduan
akan cinta yang telah lama memberi pengaduan
tapi hanya menatap kesia-siaan
yang kupunya hanya ketulusan akan kematian
entah esok atau lusa
bakal kusampaikan kabar itu
lewat sang waktu.
2006
Analisis Puisi:
Puisi "Yang Kupunya Hanya Ketulusan akan Kematian" karya Tri Astoto Kodarie adalah sebuah karya yang menggali kedalaman perasaan manusia terkait kematian, penantian, dan ketulusan. Melalui penggunaan simbol-simbol yang kuat, puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang makna hidup, kematian, dan perjalanan batin yang tidak terhindarkan. Dengan kata-kata yang lugas dan penuh makna, puisi ini menawarkan gambaran tentang ketulusan dalam menghadapi kematian yang datang dengan pasti, namun dengan cara yang penuh penantian dan perasaan yang mendalam.
"Yang Kupunya Hanya Ketulusan akan Kematian"
Pembukaan puisi ini dengan kalimat "yang kupunya hanya ketulusan akan kematian" langsung membawa kita pada inti dari puisi ini—yaitu ketulusan dalam menghadapi kematian. Ketulusan yang dimaksud di sini bukanlah sebuah ketakutan atau penolakan terhadap kematian, melainkan sebuah penerimaan yang penuh dengan penghayatan dan kedamaian. Penyair menggambarkan bahwa yang dimilikinya hanyalah ketulusan ini, seolah kematian bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti, melainkan bagian dari perjalanan hidup yang harus diterima dengan lapang dada.
Kematian, yang bagi banyak orang merupakan hal yang menakutkan dan penuh misteri, dihadirkan dalam puisi ini sebagai sesuatu yang diterima dengan ketulusan, sebagai takdir yang akan datang pada waktunya. Penyair menggunakan kata "ketulusan" untuk menekankan bahwa menerima kematian adalah sebuah proses yang penuh dengan ketenangan dan penerimaan.
Burung-Burung Gagak: Simbol Penantian
Kalimat selanjutnya, "atau burung-burung gagak yang melintas tengah malam / sebagai pertanda dari sebuah cerita penantian", membawa simbolisme yang kuat. Burung gagak sering kali dikaitkan dengan simbol kematian atau pertanda yang misterius dalam berbagai tradisi. Kehadiran gagak yang melintas di tengah malam menggambarkan kesendirian dan keheningan, serta perasaan terjaga dalam penantian yang tidak pasti.
Malam adalah waktu yang identik dengan keheningan, kegelapan, dan refleksi diri. Melalui simbol burung gagak yang terbang di tengah malam, penyair menggambarkan sebuah penantian yang penuh makna, meskipun tidak jelas apa yang sedang ditunggu. Penantian ini bisa merujuk pada kematian itu sendiri, atau bisa juga menggambarkan kehidupan yang dilalui dengan rasa ketidakpastian, di mana kematian selalu ada di horizon yang menanti.
Bau Kembang dan Tanah: Cinta dan Kehilangan
Pada bagian berikutnya, "dari bau kembang sampai bau tanah di kerinduan / akan cinta yang telah lama memberi pengaduan / tapi hanya menatap kesia-siaan", puisi ini menggambarkan kontras antara kehidupan dan kematian melalui dua aroma yang sangat berhubungan dengan dunia fisik: bau bunga dan bau tanah.
Bau bunga biasanya diasosiasikan dengan keindahan, kehidupan, dan cinta. Sebaliknya, bau tanah seringkali dikaitkan dengan kematian, tanah kuburan, dan kepulangan seseorang ke alamnya. Penyair menggambarkan perasaan kerinduan yang lama terpendam, namun pada akhirnya hanya menemukan kesia-siaan. Ini menunjukkan bahwa meskipun cinta dan kerinduan itu ada, pada akhirnya ia harus diterima dalam kesendirian, sebagai bagian dari proses kehidupan yang penuh dengan kehilangan dan ketidakpastian.
Ketulusan dalam Menyambut Kematian
Kalimat "yang kupunya hanya ketulusan akan kematian / entah esok atau lusa / bakal kusampaikan kabar itu / lewat sang waktu" kembali mengingatkan kita pada tema utama puisi ini, yaitu ketulusan dalam menghadapi kematian. Penyair mengakui bahwa kematian bisa datang kapan saja, dan ia siap untuk menghadapinya dengan penuh penerimaan. "Sang waktu" di sini berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan kabar tentang kematian, yang pada akhirnya akan datang juga, terlepas dari seberapa lama atau cepat waktu itu berlalu.
Penyair tidak mempermasalahkan kapan kematian akan datang. Yang ada hanyalah ketulusan untuk menerima dan menyambutnya. Melalui kalimat ini, kita diajak untuk memahami bahwa waktu adalah hal yang tak terhindarkan, dan kematian adalah bagian dari siklus waktu yang akan terus berputar, meskipun kita tidak bisa menentukan kapan ia akan datang.
Puisi "Yang Kupunya Hanya Ketulusan akan Kematian" karya Tri Astoto Kodarie merupakan sebuah karya yang sangat introspektif dan menggugah. Dengan bahasa yang penuh dengan simbolisme dan makna yang mendalam, puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang ketulusan dalam menghadapi kematian. Kematian bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, tetapi sebuah perjalanan yang harus diterima dengan penuh ketulusan, sebagaimana kita menerima datangnya waktu yang pasti.
Burung gagak yang melintas tengah malam, bau kembang dan bau tanah, serta penantian yang penuh kerinduan, semuanya menggambarkan perasaan batin yang dalam terhadap kematian dan hidup itu sendiri. Dalam kesendirian dan keheningan, penyair menunjukkan bagaimana ketulusan adalah sikap yang dapat membawa kedamaian dalam menghadapi apa yang pasti datang—yaitu kematian.
Melalui puisi ini, Tri Astoto Kodarie mengajak kita untuk memikirkan ulang bagaimana kita melihat kematian. Bukannya sebagai akhir yang menakutkan, tetapi sebagai bagian dari perjalanan hidup yang seharusnya diterima dengan lapang dada, dengan penuh ketulusan.
Puisi: Yang Kupunya Hanya Ketulusan akan Kematian
Karya: Tri Astoto Kodarie
Biodata Tri Astoto Kodarie:
- Tri Astoto Kodarie lahir di Jakarta, pada tanggal 29 Maret 1961.
