Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Antara Bayang-Bayang (Karya Widjati)

Puisi "Di Antara Bayang-Bayang" karya Widjati adalah refleksi terhadap kondisi sosial yang penuh dengan kekacauan dan penderitaan.
Di Antara Bayang-Bayang

Beribu sajakmu kembali membakar menghanguskan ragaku
Menjelma serpihan topan lumpur dan batu-batu
Duniamu yang belum mau sudah katamu sambil
Melukis huru-hara riuhnya pemberontakan.

Adakah yang lebih sesat di antara dentuman meriam
Barangkali bayanganmu menyimpan seribu satu letusan
Seperti lukisanmu yang mempermainkan sejuta bayang
Bersama tariannya yang menari-nari di hutan belantara.

Astaga, wajahmu wajahku berserakan di sepanjang trotoar
Beribu pasang mata kehilangan kaki-kakinya yang patah
Udara kian menyesak memasuki rongga kehidupan
Mentari kian gosong membakar tubuhmu dan tubuhku.

Wah, segala hitam segala yang legam segala yang
Tubuhmu lumer seperti lilin yang kehabisan lemak
Jangan bimbang saudara karena kita adalah aktor piawai
Yang pandai bersandiwara 'nyanyikan lagu sakitnya zaman'.

Di tengah gemuruhnya suara-suara dari seberang lautan
Masihkah suara gitarmu bergema di sela tangisnya anak-anak jalanan
Beribu mereka entah siapa entah engkau entah aku kutak tahu
Catatan hanya mengenalnya nomor-nomor mereka yang hilang.

Inikah akhir yang kaulukis rindunya sebuah sajak
Sementara awan di atas memancarkan wajahnya yang muram
Mari, habiskan mimpimu dan mimpiku sampai akhir hayat
Sebelum senja menganga di balik liang kasihmu dan kasihku.

Kemantran-Tegal, 25 Oktober 1998

Analisis Puisi:

Puisi "Di Antara Bayang-Bayang" karya Widjati merupakan karya yang sarat dengan nuansa perjuangan, penderitaan, dan ketidakpastian dalam kehidupan. Dengan bahasa yang penuh metafora dan simbolisme, puisi ini menggambarkan gambaran dunia yang kacau, penuh dengan kehancuran dan penderitaan manusia.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah kekacauan sosial dan penderitaan akibat konflik atau peperangan. Puisi ini mencerminkan ketidakpastian dan penderitaan manusia dalam menghadapi situasi penuh gejolak, seperti perang, penindasan, atau ketidakadilan sosial.

Makna Tersirat

Puisi ini menyiratkan bahwa dunia dipenuhi oleh kehancuran, dan manusia sering kali menjadi korban dari kekacauan yang tidak mereka ciptakan sendiri. Beberapa bagian yang menunjukkan makna tersirat ini antara lain:
  • "Beribu sajakmu kembali membakar menghanguskan ragaku" → Bisa diartikan sebagai luka atau penderitaan yang terus berulang, mungkin akibat konflik atau ketidakadilan sosial.
  • "Astaga, wajahmu wajahku berserakan di sepanjang trotoar" → Melambangkan kehancuran dan penderitaan manusia, seperti korban konflik yang tak terhitung jumlahnya.
  • "Beribu pasang mata kehilangan kaki-kakinya yang patah" → Menggambarkan orang-orang yang kehilangan harapan, kebebasan, atau bahkan kehidupan mereka.
  • "Mentari kian gosong membakar tubuhmu dan tubuhku" → Bisa diartikan sebagai situasi yang semakin memburuk dan penuh penderitaan.
Puisi ini bercerita tentang penderitaan manusia di tengah situasi kacau, kemungkinan akibat perang atau ketidakadilan sosial. Penyair menggambarkan bagaimana manusia menjadi korban, hidup di antara kehancuran, dan berjuang menghadapi ketidakpastian.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini kelam, tragis, dan penuh ketidakpastian. Gambaran kehancuran, luka, dan penderitaan manusia menciptakan suasana yang menyesakkan dan penuh dengan rasa duka.

Imaji

Puisi ini memiliki beberapa imaji visual dan imaji auditori yang memperkuat kesan penderitaan dan kekacauan:

1. Imaji visual:

  • "Wajahmu wajahku berserakan di sepanjang trotoar" → Menghadirkan gambaran kehancuran yang nyata.
  • "Tubuhmu lumer seperti lilin yang kehabisan lemak" → Melukiskan kondisi manusia yang semakin lemah dan tak berdaya.

2. Imaji auditori:

  • "Di tengah gemuruhnya suara-suara dari seberang lautan" → Menggambarkan suasana bising yang bisa diartikan sebagai suara peperangan atau kerusuhan.
  • "Masihkah suara gitarmu bergema di sela tangisnya anak-anak jalanan" → Menghadirkan kontras antara musik dan tangisan anak-anak yang kehilangan harapan.

Majas

Puisi ini kaya akan penggunaan majas metafora, personifikasi, dan hiperbola, antara lain:
  • Metafora: "Beribu sajakmu kembali membakar menghanguskan ragaku" → Sajak diibaratkan sebagai sesuatu yang membakar, mungkin menyimbolkan kata-kata yang menyakitkan atau kenangan pahit. "Mentari kian gosong membakar tubuhmu dan tubuhku" → Matahari yang membakar tubuh menjadi simbol penderitaan yang semakin mendalam.
  • Personifikasi: "Awan di atas memancarkan wajahnya yang muram" → Awan digambarkan seolah memiliki ekspresi kesedihan.
  • Hiperbola: "Segala hitam segala yang legam segala yang" → Pengulangan kata menekankan suasana yang suram dan kelam.
Puisi "Di Antara Bayang-Bayang" karya Widjati adalah refleksi terhadap kondisi sosial yang penuh dengan kekacauan dan penderitaan. Dengan penggunaan metafora yang kuat, suasana tragis, serta imaji yang menggugah, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang nasib manusia di tengah kekacauan, serta bagaimana mereka terus bertahan meskipun dunia tampak semakin tidak pasti.

Sepenuhnya Puisi
Puisi: Di Antara Bayang-Bayang
Karya: Widjati
© Sepenuhnya. All rights reserved.