Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Tepi Tamblingan (Karya Wayan Jengki Sunarta)

Puisi "Di Tepi Tamblingan" karya Wayan Jengki Sunarta menggambarkan suasana melankolis dan reflektif di sekitar Danau Tamblingan, Bali.
Di Tepi Tamblingan

setelah halimun
parasmu pupus
di pias danau

bara pada unggun kayu
masih sisakan birahi semalam
namun canda perkemahan
nyurutkan darah
yang ngalir deras ke urat malu

di pias danau
apa yang gagu
selain waktu
yang nunggu
kepulanganmu

pagi itu, embun di pucuk pakis, benalu,
anggrek bulan, cemara dan danau
menduga telah terjadi sekutu
antara kau dan aku

lalu dari bongkah kerak kayu
kau ulurkan kenangan layu

"kayu itu suatu waktu
akan jadi perahu
yang mengantar ruhmu
ke tengah danau,"
bisik nelayan tua itu

namun parasmu
telah pupus
sebelum mengaduh danau
setelah halimun
bergulung turun

pengayuh perahu tiba
menjenguk cemas kita
tanpa suara
ia menuntunmu
ke atas perahu
lalu mengayuhnya
makin jauh
makin jauh…
entah tiba
di mana

2002

Sumber: Impian Usai (2007)

Analisis Puisi:

Puisi "Di Tepi Tamblingan" karya Wayan Jengki Sunarta merupakan sebuah karya yang menggambarkan suasana melankolis dan reflektif di sekitar Danau Tamblingan, Bali. Dengan bahasa yang puitis dan simbolik, puisi ini membawa pembaca ke dalam suasana penuh misteri, keheningan, serta perpisahan yang tak terelakkan.

Tema Puisi

Puisi ini mengusung tema utama tentang perpisahan dan kematian. Penggambaran alam yang sunyi, perahu yang menjauh, serta kehadiran nelayan tua yang berbicara tentang perjalanan ruh, semua mengarah pada makna perpisahan terakhir yang mendalam. Selain itu, ada juga tema kenangan dan keterikatan emosional antara aku-lirik dan sosok yang menjadi objek dalam puisi.

Makna Puisi

Puisi ini menggambarkan suasana sendu setelah sebuah perpisahan yang mungkin terkait dengan kematian seseorang. Kehadiran embun, pakis, benalu, dan cemara di pagi hari menciptakan kesan tenang namun mengandung duka yang dalam.

Bagian puisi yang menyebutkan "kayu itu suatu waktu akan jadi perahu yang mengantar ruhmu ke tengah danau" mengisyaratkan tradisi Bali yang erat kaitannya dengan kematian dan perjalanan roh ke alam lain. Perahu dalam puisi ini menjadi simbol perjalanan terakhir seseorang menuju ketidaktahuan atau keabadian.

Makna Tersirat

Di balik deskripsi perpisahan yang tenang, terdapat makna tersirat bahwa kehidupan adalah sebuah siklus yang tak terhindarkan. Setiap yang hidup pasti akan mengalami perpisahan, dan alam menjadi saksi bisu dari peristiwa itu.

Selain itu, puisi ini juga menyiratkan bahwa kenangan akan terus hidup meskipun seseorang telah pergi. "Lalu dari bongkah kerak kayu, kau ulurkan kenangan layu" menunjukkan bahwa meskipun seseorang telah tiada, jejaknya tetap ada dalam ingatan orang-orang yang ditinggalkannya.

Puisi ini bercerita tentang sebuah momen di tepi Danau Tamblingan, di mana seorang aku-lirik menyaksikan perpisahan yang menyayat hati. Suasana pagi yang tenang, embun yang menggantung, serta bayangan perahu yang menjauh menggambarkan perjalanan seseorang menuju alam lain.

Dengan metafora yang kuat dan suasana yang syahdu, puisi "Di Tepi Tamblingan" bukan hanya sekadar puisi tentang perpisahan, tetapi juga refleksi tentang kehidupan, kenangan, dan takdir yang tak bisa dielakkan.
Wayan Jengki Sunarta
Puisi: Di Tepi Tamblingan
Karya: Wayan Jengki Sunarta

Biodata Wayan Jengki Sunarta:
  • Wayan Jengki Sunarta lahir pada tanggal 22 Juni 1975 di Denpasar, Bali, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.