Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kampung Terakhir (Karya Wayan Jengki Sunarta)

Puisi ini bercerita tentang perjalanan seorang pengembara yang kembali ke kampung halamannya, sebuah tempat sunyi yang dipenuhi kenangan, sepi, dan ..
Kampung Terakhir

pungguk itu tunduk di dahan waru
ada seberkas cahya purnama
memintas batas
sepi tiba-tiba
ada nyanyi dari buluh seruling
mungkin seorang pengembara
terkenang kampung halaman

di dalam bilik gubuk
hanya kita, mungkin juga cicak,
berbagi desah, resah,
dan juga lenguh
yang coba membunuh
sosok waktu yang ngalir
di kanal nadimu

aku terkenang sebatang kayu mahoni
yang terlunta dihanyutkan sungai
hingga lelaki tua yang bungkuk itu memungutnya
penuh iba
di halaman gubuk
lelaki tua menatah kayu menjadi arca dewa

arca dewa yang tua
tanpa janggut, tanpa mahkota
lebih menyerupai patung yang murung
namun pada tapak tangannya tergurat aksara

aksara pada jiwa
mendedah sembilan dewa
yang terusir dari lingkaran mandala

di dalam bilik gubuk
di tengah remang cahya pelita
kita mencipta dewa
bagi semesta jiwa

pungguk itu terkantuk
di dahan waru
alun seruling menjauh
aku tiba di kampung
terakhir.

2004

Sumber: Impian Usai (2007)

Analisis Puisi:

Tema utama puisi “Kampung Terakhir” adalah pencarian jati diri dan spiritualitas melalui kenangan masa lalu dan perjalanan batin. Puisi ini menggambarkan perjalanan seseorang yang kembali ke kampung halaman terakhir, bukan hanya secara fisik, tetapi juga sebagai perjalanan batin menuju akar budaya dan spiritual yang pernah ditinggalkan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah kerinduan mendalam terhadap akar tradisi, budaya, dan spiritual yang mulai tergerus oleh waktu. Kampung terakhir di sini bisa dimaknai sebagai tempat pulang terakhir, baik secara harfiah sebagai kampung halaman, maupun secara filosofis sebagai pulang menuju diri sendiri, menyatu kembali dengan alam, leluhur, dan spiritualitas lama yang semakin pudar.

Puisi ini juga menyiratkan bahwa manusia modern semakin terpisah dari akar budayanya, terasing di tengah peradaban yang bergerak terlalu cepat. Kembalinya sosok aku ke kampung terakhir adalah simbol pencarian makna hidup yang hakiki, di mana manusia harus berdamai dengan tradisi, alam, dan spiritualitasnya sendiri.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan seorang pengembara yang kembali ke kampung halamannya, sebuah tempat sunyi yang dipenuhi kenangan, sepi, dan bayangan masa lalu. Dalam sunyi malam, terdengar alunan seruling yang mengingatkan akan kisah-kisah lama, tentang gubuk, lelaki tua, kayu mahoni, arca dewa, dan aksara suci.

Melalui penggambaran proses menatah arca dewa, puisi ini ingin menunjukkan bagaimana tradisi, spiritualitas, dan kenangan leluhur dihidupkan kembali, meski dalam kondisi yang penuh kesederhanaan dan keterasingan. Kampung terakhir bukan sekadar lokasi fisik, tetapi ruang batin tempat manusia bertanya tentang makna hidup dan akhir dari sebuah pencarian.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini penuh keheningan, kesunyian yang magis, sekaligus mengandung aura mistis yang kuat. Ada nuansa melankolis dan reflektif, seolah kampung terakhir adalah tempat sakral yang menyimpan sejarah panjang kehidupan, tradisi, serta pencarian spiritual manusia.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Puisi ini menyampaikan pesan bahwa manusia modern tidak boleh melupakan akar tradisi dan spiritualitasnya sendiri. Perjalanan pulang ke kampung terakhir adalah simbol pencarian makna sejati dari kehidupan, di mana manusia akhirnya menyadari bahwa akar budaya, kenangan masa lalu, dan hubungan spiritual dengan semesta adalah hal-hal yang berharga dan layak dirawat.

Puisi ini juga mengajarkan bahwa dalam kesunyian, kita bisa menemukan makna yang paling jernih tentang diri sendiri dan tentang hidup.

Imaji

Puisi ini sarat dengan imaji visual, auditif, dan simbolik, di antaranya:
  • Pungguk tunduk di dahan waru — imaji kesunyian malam yang melankolis.
  • Nyanyian dari buluh seruling — imaji suara yang membawa kenangan.
  • Kayu mahoni yang dihanyutkan sungai — imaji perjalanan nasib yang tak tentu arah.
  • Lelaki tua menatah arca dewa — imaji proses spiritual dan kreatif yang sakral.
  • Aksara tergurat di tapak tangan arca — imaji kuat tentang warisan pengetahuan dan spiritualitas leluhur.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini:
  • Personifikasi: "pungguk itu tunduk", memberikan sifat manusiawi pada burung pungguk.
  • Metafora: "kampung terakhir" sebagai simbol tempat pulang yang bersifat fisik sekaligus spiritual.
  • Simbolisme: arca dewa, aksara suci, dan kayu mahoni menjadi simbol tradisi, spiritualitas, dan perjalanan hidup manusia.
  • Repetisi: "di dalam bilik gubuk" yang diulang memperkuat suasana tempat yang penuh kenangan dan makna.
Wayan Jengki Sunarta
Puisi: Kampung Terakhir
Karya: Wayan Jengki Sunarta

Biodata Wayan Jengki Sunarta:
  • Wayan Jengki Sunarta lahir pada tanggal 22 Juni 1975 di Denpasar, Bali, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.