Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Seandainya Boleh Kutawar (Karya Wina SW1)

Puisi "Seandainya Boleh Kutawar" karya Wina SW1 bercerita tentang seseorang yang ingin membeli atau menawar dunia agar bisa mengubahnya sesuai ...
Seandainya Boleh Kutawar

Seandainya boleh kutawar
Akan kubeli dunia
Kulukis wajah tanah kelahiran di tiap sudutnya
Di mana suara angin mendo-da-i-di-kan-ku
Gunung-gunung perkasa menjaga lelapku
Laut dan pantai berpasir putih menghiasi mimpiku

Seandainya boleh kutawar
Akan ku ubah dunia
Kualirkan krueng Aceh mengitarinya
Kuhadirkan lelaki-lelaki penabuh rapa’i
Mengoyak sepi
Kubiarkan anak-anak berkaki telanjang
Berkejaran waktu
Dan perempuan-perempuan berkerudung sarung
Yang tak hentinya bersujud dan mengagungkan Allah

Seandainya boleh kutawar
Akan kupentaskan beribu hikayat
Antara keperkasaan Malahayati, Tjoet Nyak Dien, Teuku Umar
dan berjuta tubuh yang berbaring menjaga tanah ini
(duniapun terpana)
tapi sebelum sempat kutawar
Tuhan telah menawar hidupku
"cukup sampai di sini!"
duniapun terbahak, semakin erat menghimpitku.

Agustus, 1988

Catatan:
  • Rapa’i = musik perkusi tradisional Aceh
  • Malahayati = seorang wanita yang memimpin armada laut kerajaan Aceh tempo dulu, berlevel laksamana.

Analisis Puisi:

Puisi "Seandainya Boleh Kutawar" karya Wina SW1 merupakan sebuah ungkapan cinta mendalam terhadap tanah kelahiran, khususnya Aceh. Dengan nuansa historis dan kebanggaan budaya, puisi ini mengungkapkan keinginan penyair untuk mengubah dunia agar lebih menghargai dan mengenang warisan leluhur serta pahlawan dari tanah Aceh.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah kerinduan terhadap tanah kelahiran, kebanggaan terhadap sejarah dan budaya Aceh, serta keterbatasan manusia di hadapan takdir Tuhan. Penyair menggambarkan keinginannya untuk melestarikan nilai-nilai yang telah diwariskan para pahlawan, tetapi pada akhirnya ia menyadari bahwa takdir Tuhanlah yang menentukan segalanya.

Makna Tersirat

Puisi ini menyiratkan bahwa manusia sering kali memiliki impian besar untuk mengubah dunia, tetapi pada akhirnya, kehidupan ini tetap berada di bawah kendali Tuhan.
Beberapa makna tersirat lainnya dalam puisi ini antara lain:

Kecintaan yang mendalam terhadap tanah kelahiran dan keinginan untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional serta sejarahnya.

Pentingnya mengenang dan menghormati para pahlawan, seperti Malahayati, Cut Nyak Dhien, dan Teuku Umar, yang telah berjuang demi tanah air.

Kesadaran bahwa manusia memiliki keterbatasan dalam menentukan nasibnya, karena Tuhan yang memegang kuasa atas kehidupan dan kematian.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang ingin membeli atau menawar dunia agar bisa mengubahnya sesuai dengan kecintaannya terhadap tanah kelahiran, Aceh. Ia ingin menghadirkan keindahan alam Aceh, seperti sungai Krueng Aceh, serta kebudayaan khasnya, seperti musik rapa’i dan kisah para pahlawan. Namun, sebelum sempat ia mewujudkan impian itu, Tuhan telah lebih dahulu menawar hidupnya, menandakan bahwa kematian datang tanpa bisa ditawar.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini bercampur antara kebanggaan, kerinduan, dan kekecewaan.

Pada bagian awal, suasana terasa penuh harapan dan nasionalisme, dengan penggambaran keindahan alam dan budaya Aceh.

Namun, di bagian akhir, suasana berubah menjadi tragis dan pasrah, saat penyair menyadari bahwa semua mimpinya tidak dapat terwujud karena hidupnya telah ditentukan oleh Tuhan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Beberapa pesan yang dapat diambil dari puisi ini adalah:
  • Cintailah tanah kelahiran dan lestarikan budayanya.
  • Hargai sejarah dan perjuangan para pahlawan yang telah berjuang demi negeri.
  • Sebesar apa pun keinginan manusia, pada akhirnya takdir Tuhanlah yang menentukan.
  • Jangan menunda-nunda untuk melakukan sesuatu yang berharga, karena hidup ini tidak bisa ditawar.

Imaji

Puisi ini menghadirkan berbagai imaji yang kuat dan khas, seperti:
  • Imaji visual: "Gunung-gunung perkasa menjaga lelapku" memberikan gambaran tentang alam Aceh yang megah.
  • Imaji auditif: "Kuhadirkan lelaki-lelaki penabuh rapa’i mengoyak sepi" menggambarkan suara musik tradisional yang menggema.
  • Imaji kinetik: "Kubiarkan anak-anak berkaki telanjang berkejaran waktu" mencerminkan keceriaan anak-anak di kampung halaman.
  • Imaji historis: "Akan kupentaskan beribu hikayat antara keperkasaan Malahayati, Tjoet Nyak Dien, Teuku Umar" membangkitkan kenangan akan para pahlawan Aceh.

Majas

Puisi ini menggunakan beberapa majas, di antaranya:
  • Metafora: "Tuhan telah menawar hidupku" menggambarkan datangnya ajal sebagai transaksi yang tidak bisa ditawar.
  • Personifikasi: "Duniapun terbahak, semakin erat menghimpitku" memberikan sifat manusiawi pada dunia, seolah-olah dunia mengejek dan menekan si penyair.
  • Repetisi: "Seandainya boleh kutawar" diulang beberapa kali untuk menekankan keinginan penyair dalam mengubah dunia.
  • Hiperbola: "Akan kubeli dunia" menggambarkan besarnya harapan dan keinginan penyair.
Puisi "Seandainya Boleh Kutawar" karya Wina SW1 adalah sebuah refleksi mendalam tentang kecintaan terhadap tanah kelahiran, penghormatan terhadap sejarah, serta kesadaran akan keterbatasan manusia dalam menghadapi takdir. Dengan bahasa yang kuat dan imaji yang kaya, puisi ini mengajak pembaca untuk mengenang sejarah, menjaga budaya, dan menyadari bahwa hidup ini berada di tangan Tuhan.

Pada akhirnya, puisi ini mengajarkan bahwa walaupun kita memiliki impian besar untuk mengubah dunia, kita tetap harus sadar bahwa hidup ini fana, dan segalanya berada di bawah kehendak Tuhan.

Puisi Sepenuhnya
Puisi: Seandainya Boleh Kutawar
Karya: Wina SW1
© Sepenuhnya. All rights reserved.