Analisis Puisi:
Puisi “Di Muka Candi” karya F. Aziz Manna merupakan sebuah karya puitik yang kaya akan simbol, nada kontemplatif, dan sindiran sejarah. Mengangkat latar yang mengacu pada candi—sebuah artefak dari masa lampau—puisi ini membawa pembaca menyusuri lorong waktu, menggugat peradaban, dan merenungkan relasi manusia dengan sejarah, mitos, serta kenyataan sosial yang hari ini kita warisi.
Tema: Keterputusan Sejarah dan Kehilangan Arah Zaman
Puisi ini mengusung tema besar keterputusan sejarah dan kehilangan arah dalam peradaban modern. Lewat penyebutan tokoh-tokoh mitologis seperti Bharada, Kertapati, dan Kilisuci, penyair menghadirkan lapisan narasi tentang identitas dan warisan budaya yang terabaikan. Simbol-simbol seperti “kendimu telah pecah” dan “peta tak lagi terbaca” mengisyaratkan bahwa masyarakat kini tengah mengalami krisis orientasi karena tidak mampu lagi membaca peta sejarahnya sendiri.
Puisi ini bercerita tentang sebuah perenungan atau gugatan yang terjadi di hadapan candi—tempat yang secara simbolik menyimpan jejak sejarah dan spiritualitas Nusantara. Di sanalah, sang penyair berbicara kepada tokoh-tokoh masa lalu seperti Bharada dan Kilisuci, memanggil paranata (para pengatur negeri) dan menyoroti kebisuan mereka dalam menghadapi “jerit sejarah”.
“Bandul itu telah menemu titik awalnya, tangis tumpah” merupakan simbol bahwa sejarah tengah berulang, dan luka-luka lama kembali terbuka. Ada semacam siklus penderitaan yang tidak selesai karena ketidakmampuan manusia masa kini menegakkan keadilan dan menafsir jejak masa lalu.
Makna Tersirat: Kerapuhan Bangsa karena Melupakan Akar Sejarah
Makna tersirat dari puisi ini menyampaikan bahwa peradaban kita kini goyah karena telah melupakan akar dan nilai yang diwariskan oleh para leluhur. Keterputusan antara “langit dan bumi”—antara spiritualitas dan kenyataan sosial—membuat keseimbangan hidup terguncang. Dalam frasa “garis airmu meliar tak tentu arah”, tergambar bagaimana kehidupan hari ini telah kehilangan saluran moral dan arah tujuan.
Puisi ini juga menyentil kegagalan penguasa atau masyarakat dalam menjaga dan memaknai warisan sejarah. Diamnya “paranata” saat mendengar jerit sejarah adalah bentuk kritik terhadap pengabaian nilai-nilai luhur demi kepentingan sesaat.
Suasana dalam Puisi: Suram, Penuh Tegangan, dan Reflektif
Suasana dalam puisi terasa muram dan reflektif, dengan nada kontemplatif yang kuat. “Mendung kian tebal tapi kemarau kian panjang” membuka puisi dengan suasana yang kontras dan penuh ketegangan. Ada rasa getir dan putus asa, seakan-akan cuaca alam pun menyuarakan krisis batin dan moral yang tengah dialami bangsa.
Amanat / Pesan yang Disampaikan:
Puisi ini menyampaikan amanat yang kuat tentang perlunya bangsa ini kembali membaca sejarahnya dengan jernih, menjaga warisan leluhur, dan tidak membiarkan krisis moral dan identitas merajalela. “Bandul yang kembali ke titik awal” bukan hanya simbol waktu yang berputar, tapi juga pertanda bahwa luka lama belum sembuh, dan bisa meledak jika tidak ditanggapi secara bijak.
Imaji: Cuaca, Lumpur, Goa, dan Bandul
Puisi ini dipenuhi imaji-imaji kuat dan konkret yang membawa pembaca ke lanskap yang gelap namun sarat makna:
- “Mendung kian tebal tapi kemarau kian panjang” memberikan kontras visual yang menciptakan kesan kekeringan yang paradox, suasana tegang yang tak menemukan pelepasan.
- “Lumpur tak kenyal tak jua mengkal” menggambarkan kondisi tanah atau dasar yang tidak kokoh—simbol kondisi sosial atau moral yang rapuh.
- “Goa garba” (rahim bumi) memberi imaji spiritual dan mistik, seolah mengacu pada pusat dari alam bawah sadar peradaban.
- “Bandul itu telah menemu titik awalnya” adalah simbol waktu, sejarah, dan pengulangan peristiwa dalam siklus yang tak terbendung.
Majas: Personifikasi, Metafora, dan Alegori
Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi: “Tangis tumpah” dan “jerit sejarah” memberikan sifat manusia pada entitas abstrak, menciptakan kedekatan emosional pembaca dengan peristiwa sejarah.
- Metafora: “Kendimu telah pecah” adalah metafora kerusakan nilai atau saluran spiritual. “Peta tak lagi terbaca” adalah metafora dari hilangnya panduan hidup atau arah bangsa.
- Alegori: Seluruh puisi bisa dibaca sebagai alegori bangsa yang kehilangan jejak sejarah, dan sedang dipanggil kembali untuk menafsir ulang identitasnya di hadapan simbol warisan (candi).
Panggilan untuk Menafsir Ulang Sejarah dan Identitas Bangsa
Puisi “Di Muka Candi” karya F. Aziz Manna adalah karya kontemplatif yang menyentuh persoalan sejarah, spiritualitas, dan kebangsaan dengan cara yang puitik dan simbolik. Melalui dialog imajinatif dengan tokoh-tokoh masa lalu dan latar candi yang sakral, penyair mengajak kita untuk menyimak ulang jerit sejarah yang mungkin telah kita abaikan.
Di tengah dunia yang gamang dan penuh kekacauan arah, puisi ini hadir sebagai pengingat: bahwa yang dahulu diam, kini menangis. Dan tugas kitalah untuk tidak hanya menjadi saksi, tetapi juga pembaca dan penjaga warisan yang dahulu diletakkan dengan tangan dan harapan yang luhur.