Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Hikayat Kesunyian (Karya Wiratmadinata)

Puisi “Hikayat Kesunyian” karya Wiratmadinata bercerita tentang bagaimana semua aspek kehidupan—baik yang bersifat emosional (suka dan duka), ...
Hikayat Kesunyian

Akhir semua perjalanan, adalah kesunyian.
Ujung setiap nyanyian,
ialah gema kesunyian.
Akhir seluruh suka dan duka kita,
Juga kesunyian.
Muara seluruh ruang dan waktu,
lautan kesunyian.

Keriuhan segala bunyi,
Berakhir di kesunyian,
Dan kesunyian segala sunyi,
berlabuh di kesunyian.

Sajakku yang datang dari jiwa yang sunyi,
Kembali ke dalam sunyimu,
Ialah sunyi dari segala kesunyian.

Banda Aceh, Januari 2014

Analisis Puisi:

Puisi “Hikayat Kesunyian” karya Wiratmadinata adalah sebuah meditasi mendalam tentang sunyi—bukan sekadar kondisi tanpa suara, melainkan sebagai entitas eksistensial yang menyelimuti hidup, bahkan melampaui suka, duka, bunyi, ruang, dan waktu. Dengan struktur repetitif dan diksi yang padat makna, puisi ini menjadi semacam elegi, atau bahkan mantra yang membawa pembacanya ke ujung kesadaran: bahwa pada akhirnya, semua akan kembali kepada kesunyian.

Tema: Kesunyian sebagai Titik Akhir Kehidupan

Puisi ini secara tegas mengangkat tema tentang kesunyian sebagai tujuan akhir dari segala sesuatu. Sunyi tidak hanya dilihat sebagai latar belakang kehidupan, melainkan sebagai muara dari seluruh pengalaman manusia: suka, duka, waktu, ruang, dan bahkan bunyi.

Dengan kalimat pembuka:

“Akhir semua perjalanan, adalah kesunyian” penyair langsung menetapkan nada utama puisinya—sebuah kesadaran yang tenang namun menggetarkan bahwa hidup manusia akan bermuara pada keheningan yang absolut.

Puisi ini bercerita tentang bagaimana semua aspek kehidupan—baik yang bersifat emosional (suka dan duka), fisikal (perjalanan), temporal (waktu), spasial (ruang), hingga ekspresif (bunyi, nyanyian, sajak)—pada akhirnya akan berhenti dan larut dalam kesunyian.

Puisi ini seperti ingin mengisahkan bahwa betapa riuhnya hidup kita, betapa kuatnya emosi yang kita rasakan, semuanya akan terpadamkan dan tenggelam dalam sunyi. Seolah-olah hidup hanyalah seberkas cahaya yang pada akhirnya akan menyatu kembali dengan gelap.

Makna Tersirat: Sunyi sebagai Kesadaran dan Penerimaan

Di balik repetisi kata “kesunyian” yang memenuhi hampir setiap larik puisi ini, ada makna tersirat yang sangat mendalam: bahwa manusia harus menyadari dan menerima kesunyian sebagai bagian dari dirinya sendiri. Kesunyian bukan hanya sebagai akhir hidup (kematian), tetapi juga sebagai ruang batin, tempat berpulangnya pikiran, perasaan, dan pencarian spiritual.

“Sajakku yang datang dari jiwa yang sunyi,
Kembali ke dalam sunyimu,
Ialah sunyi dari segala kesunyian.”

Bagian ini bisa dibaca sebagai pengakuan sang penyair bahwa kata-kata yang ia lahirkan, betapapun berasal dari sunyi, tetap akan kembali dan hilang dalam sunyi yang lebih besar. Sunyi sebagai asal dan tujuan.

Suasana dalam Puisi: Hening, Melankolis, dan Filosofis

Suasana dalam puisi ini terasa sangat hening, melankolis, dan filosofis. Tidak ada satu pun larik yang mengarah pada kegembiraan atau kemarahan—semuanya bersifat kontemplatif, seperti sebuah renungan yang dibisikkan dalam ruangan kosong. Pembaca diajak menanggalkan kebisingan dunia luar untuk masuk ke dunia sunyi yang lebih murni dan universal.

Amanat / Pesan yang Disampaikan: Terimalah Kesunyian sebagai Keniscayaan

Jika ditarik sebagai amanat, puisi ini mengajak pembaca untuk:
  • Menerima kesunyian sebagai kenyataan paling hakiki dalam hidup
  • Memahami bahwa semua hal, betapa pun besar atau kecilnya, akan berlalu dan larut dalam sunyi
  • Belajar berdamai dengan kesunyian, bukan melawannya
Dalam zaman yang serba cepat, bising, dan hiruk-pikuk seperti sekarang, pesan ini justru terasa sangat relevan. Puisi ini adalah pengingat bahwa sunyi bukan musuh, melainkan rumah terakhir tempat semua akan kembali.

Imaji: Imaji Abstrak tentang Kesunyian yang Meluas

Puisi ini tidak menampilkan imaji konkret seperti pemandangan atau objek tertentu. Namun, ia sangat kaya dengan imaji abstrak, seperti:
  • “muara seluruh ruang dan waktu”
  • “lautan kesunyian”
  • “sunyi dari segala kesunyian”
Imaji-imaji tersebut membentuk gambaran tentang sunyi yang tidak lagi bersifat pasif, melainkan aktif menyerap, menerima, dan melingkupi segalanya. Kesunyian dipersonifikasikan sebagai ruang maha luas, tak berujung.

Majas: Repetisi, Personifikasi, dan Hiperbola

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Repetisi: Hampir setiap baris mengulang kata “kesunyian” — majas ini digunakan untuk menekankan gagasan sentral dan membentuk suasana meditatif. Repetisi ini juga menciptakan ritme khas seperti mantra.
  • Personifikasi: “Sajakku... kembali ke dalam sunyimu” Sunyi digambarkan seperti sosok atau entitas yang bisa menerima dan menjadi tempat kembali. Ini memberi kesunyian ciri-ciri manusiawi atau spiritual.
  • Hiperbola: “Sunyi dari segala kesunyian” — adalah bentuk hiperbola yang memperkuat ide bahwa ada bentuk sunyi yang begitu mutlak, absolut, bahkan melampaui pengertian biasa tentang kesunyian.

Sunyi Adalah Takdir, Tapi Juga Keheningan yang Damai

Puisi “Hikayat Kesunyian” tidak hanya bicara tentang kesepian atau sepi, tetapi tentang sunyi sebagai keadaan tertinggi dari siklus kehidupan manusia. Dengan repetisi yang terstruktur dan filosofi yang dalam, Wiratmadinata menyuguhkan sebuah puisi yang bisa dibaca sebagai renungan spiritual, meditatif, bahkan eksistensial.

Bagi siapa pun yang pernah bertanya tentang akhir dari semua ini, puisi ini memberi jawabannya secara lirih namun pasti: akhir semua perjalanan adalah kesunyian.

Wiratmadinata
Puisi: Hikayat Kesunyian
Karya: Wiratmadinata
© Sepenuhnya. All rights reserved.