Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kita Orang-Orang yang Tak Mau Jadi Budak (Karya Mawie Ananta Jonie)

Puisi "Kita Orang-Orang yang Tak Mau Jadi Budak" bercerita tentang sekelompok orang—mungkin generasi, mungkin kelas sosial, mungkin komunitas kecil ..
Kita Orang-Orang yang Tak Mau Jadi Budak

Kita adalah orang orang yang pernah dicap sebagai pembangkang,
maka sekali diberi tanda gelar ini jangan ragu jangan bimbang.
Mari kita terus mengayunkan langkah untuk tidak dijadikan budak,
di negeri sendiri kita punya kewajiban dan punya hak.
Aku pernah kehilangan, kehilangan sanak saudara,
kau kehilangan ayah bunda dan cintanya.
Tapi di atas segala galanya itu,
kita masih punya tinju!

Terkadang memang kehilangan yang tak tahu hutan rimbanya ini,
tidak ada tempat mengadu, menyakitkan hati sakit sekali
tapi apakah kita akan berhenti di perjalanan,
atau tidak berbuat apa-apa atas kematian.
Kau tidak, aku tidak, kita sekalian tidak,
karena kita tak mau jadi budak.
Masih punya laut dan tanah,
darahnya merah!

Amsterdam, 17 Januari 2008

Analisis Puisi:

Di tengah hiruk-pikuk dunia yang terus berubah dan kekuasaan yang tak selalu berpihak pada keadilan, muncul suara-suara yang mencoba melawan diam. Suara yang lahir dari luka, dari kehilangan, dari perlawanan yang terus membara bahkan saat segalanya terasa musnah. Salah satu suara itu, lantang dan jujur, hadir dalam puisi "Kita Orang-Orang yang Tak Mau Jadi Budak" karya Mawie Ananta Jonie. Sebuah puisi yang tidak hanya bersajak, tapi juga berdetak seperti jantung perlawanan.

Puisi ini bercerita tentang sekelompok orang—mungkin generasi, mungkin kelas sosial, mungkin komunitas kecil—yang pernah dicap sebagai pembangkang. Label “pembangkang” dalam konteks sosial-politik selalu identik dengan mereka yang tak tunduk pada sistem, mereka yang menyuarakan kritik, dan mereka yang menolak pasrah. Mawie tidak menyebutkan secara eksplisit siapa “kita” dalam puisinya, namun dari diksi yang digunakan, bisa dibaca bahwa “kita” merujuk pada orang-orang tertindas yang kehilangan, yang dirampas haknya, tapi tetap punya satu hal: semangat juang yang tak padam.

Puisi ini tidak hanya menghadirkan narasi kehilangan, tapi juga membangun sebuah manifesto: kami tidak akan tunduk. Kami tidak akan jadi budak. Frasa itu seperti mantra, sekaligus pengingat bahwa manusia selalu punya pilihan untuk tidak menyerah.

Tema: Perlawanan dan Identitas Diri

Kalau kita bicara tentang tema, puisi ini mengangkat dua hal besar: perlawanan dan identitas. Perlawanan di sini bukan sekadar aksi fisik, melainkan bentuk penolakan terhadap penindasan dan ketidakadilan yang membungkam. Sedangkan identitas yang dimaksud adalah bagaimana sekelompok orang (mungkin representasi rakyat kecil) tetap memegang martabatnya, tetap menyebut dirinya sebagai manusia merdeka, meskipun dunia menolak mereka.

Tema ini terasa sangat relevan dengan situasi sosial-politik banyak negara, termasuk Indonesia, di mana suara-suara minoritas atau kelompok marginal kerap kali dibungkam atau diberi label negatif. Mawie, melalui puisi ini, menyuarakan bahwa label tersebut tidak akan memadamkan perjuangan.

Makna Tersirat: Tinju, Darah Merah, dan Laut yang Luas

Puisi ini menyimpan makna tersirat yang kuat dan penuh daya ledak. Misalnya, ketika penyair menulis:

"Tapi di atas segala galanya itu, kita masih punya tinju!"

Kalimat itu bukan sekadar ajakan untuk bertarung secara fisik. Tinju di sini bisa dibaca sebagai simbol keberanian, kekuatan, dan tekad. Meskipun kehilangan keluarga, cinta, bahkan rumah—masih ada tekad untuk melawan. Itu kekuatan terakhir yang dimiliki, dan kadang itulah yang cukup untuk bertahan.

Lalu di bagian akhir puisi, muncul kalimat:

"Masih punya laut dan tanah, darahnya merah!"

Kalimat ini seperti teriakan terakhir dalam medan perang. Laut dan tanah bisa ditafsirkan sebagai hak milik bersama, sesuatu yang diwariskan kepada rakyat dan tidak bisa dirampas oleh siapa pun. Sementara itu, darah yang merah menegaskan bahwa manusia yang diperlakukan seperti budak pun tetaplah manusia—berdarah, bernyawa, dan punya hak yang tidak bisa dihapuskan.

Suasana dalam Puisi: Marah, Lelah, Tapi Tidak Mati

Meski Mawie tidak bermain dengan diksi yang romantis atau penuh metafora lembut, justru di situlah kekuatan puisinya. Ia menciptakan suasana yang panas, getir, tapi tidak putus asa. Pembaca bisa merasakan kelelahan tokoh dalam puisi, bisa membayangkan luka kehilangan, namun pada saat yang sama, juga merasakan semangat dan amarah yang terus membakar.

Ini bukan puisi untuk sekadar direnungkan dalam kesunyian. Ini adalah puisi yang menggugah pembacanya untuk bergerak, atau setidaknya berpikir: “Apakah aku termasuk orang-orang yang pernah dilabeli pembangkang? Atau justru aku yang menyerah diam-diam?”

Majas dan Imaji: Realisme yang Berbicara Keras

Puisi ini menggunakan gaya bahasa yang cenderung realistis dan lugas, tapi bukan berarti miskin gaya bahasa. Majas yang paling dominan adalah metafora dan repetisi. Misalnya, kata “tinju” dan “darahnya merah” adalah metafora dari semangat perlawanan dan kehidupan. Repetisi juga hadir dalam bentuk pengulangan struktur kalimat seperti:

"Kau tidak, aku tidak, kita sekalian tidak..."

Pengulangan ini mempertegas sikap kolektif dan tekad bulat yang tidak bisa ditawar.

Dari segi imaji, puisi ini sangat visual dan terasa. Imaji kehilangan sanak saudara, ayah bunda, serta gambaran tentang “laut dan tanah” membentuk lanskap batin yang menyedihkan sekaligus kuat. Pembaca bisa melihat wajah-wajah lelah yang tetap berjalan, bisa merasakan hati yang sakit tapi tetap menggenggam harapan.

Amanat: Jangan Tunduk, Jangan Lupa

Pesan yang disampaikan puisi ini sangat jelas: jangan tunduk, jangan lupa. Kita boleh kehilangan segalanya, tapi tidak boleh kehilangan harga diri. Tidak boleh kehilangan tekad untuk melawan penindasan. Jangan biarkan sejarah mencatat kita sebagai generasi yang diam.

Mawie seolah mengingatkan kita bahwa menjadi manusia merdeka bukan hanya soal memiliki rumah atau tanah, tapi soal memegang prinsip dan tidak menjadi budak, bahkan ketika dunia menawarkan kenyamanan sebagai gantinya.

Puisi Sebagai Tindakan

Puisi "Kita Orang-Orang yang Tak Mau Jadi Budak" bukan sekadar puisi. Ini adalah bentuk perlawanan kultural. Sebuah upaya untuk mengukuhkan bahwa sastra bukan hanya hiburan, tapi juga senjata. Mawie Ananta Jonie menghadirkan sajak yang keras, jujur, dan menggugah. Ia tidak menyembunyikan amarah di balik metafora rumit—ia meletakkannya tepat di depan mata, agar kita tidak lupa: bahwa masih ada orang-orang yang tidak menyerah, dan mungkin, kita salah satunya.

Puisi Sepenuhnya
Puisi: Kita Orang-Orang yang Tak Mau Jadi Budak
Karya: Mawie Ananta Jonie
© Sepenuhnya. All rights reserved.