Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Merangkai Kesunyian (Karya Dianing Widya Yudhistira)

Puisi "Merangkai Kesunyian" karya Dianing Widya Yudhistira bercerita tentang seseorang yang menyaksikan sosok yang dirindukannya dari kejauhan.
Merangkai Kesunyian

Terdengar sembilu alunan serulingmu
Ditingkahi gemericik air
Seperti merangkai kesunyian yang sempurna

Aku menatapmu dari kejauhan
Seperti menatap ujung pantai
Gelisahnya memintal hati dan sangsai

Jakarta, Juli 2000

Analisis Puisi:

Dalam puisi "Merangkai Kesunyian", penyair Dianing Widya Yudhistira menyuguhkan sebuah gambaran puitis yang lembut namun menggetarkan. Kesunyian, yang biasanya diasosiasikan dengan kehampaan atau kehampaan, justru disulap menjadi sebuah pengalaman batin yang penuh bunyi, emosi, dan kerinduan. Puisi ini pendek, namun tiap lariknya menggenggam nuansa dalam yang patut direnungkan.

Tema: Kesunyian yang Indah dan Menyiksa

Puisi ini mengangkat tema tentang kesunyian sebagai ruang yang penuh perasaan. Tidak ada keramaian dalam puisi ini, namun justru dalam sepi itulah hadir getaran-getaran yang menyayat. Kesunyian di sini bukan hampa, melainkan “dirangkai” oleh suara alam dan emosi yang mengalir pelan namun menusuk.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang menyaksikan sosok yang dirindukannya dari kejauhan. Tak ada interaksi langsung, hanya pengamatan dari jauh, namun dari situ justru muncul gelisah, sangsai, dan ketidakberdayaan. Kesunyian dalam puisi ini bukan kesepian karena ketiadaan, melainkan kesepian karena tidak bisa mendekap sesuatu yang sangat diinginkan.

Larik-larik seperti:

“Aku menatapmu dari kejauhan”
“Seperti menatap ujung pantai”

menunjukkan adanya jarak fisik dan emosional, sesuatu yang sulit dijangkau namun terus mengundang perhatian dan hasrat.

Makna Tersirat: Kesunyian adalah Bentuk Lain dari Cinta yang Tak Terucap

Di balik metafora yang sederhana, puisi ini mengandung makna tersirat bahwa rasa cinta atau rindu tak selalu bisa diungkapkan secara langsung. Kadang, ia justru tumbuh dalam diam, dalam pengamatan sunyi, dalam suara seruling dan gemericik air yang menjadi simbol dari perasaan yang mengalir namun tertahan.

Kata “merangkai kesunyian” bukan berarti menciptakan kehampaan, melainkan mengisi kesunyian itu dengan perasaan, suara, dan kenangan.

Suasana dalam Puisi: Hening, Puitis, dan Mengharukan

Suasana dalam puisi ini sangat hening dan puitis. Tidak ada hiruk-pikuk, hanya suara seruling dan gemericik air yang menambah kesyahduan. Namun dalam keheningan itu, kita justru bisa merasakan gejolak batin yang sangat kuat—gelisah yang tidak berteriak, tetapi terasa seperti sembilu yang mengiris perlahan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan: Kadang Kesunyian Lebih Jujur dari Ucapan

Jika puisi ini ditarik pada tingkat amanat, maka ia mengajarkan bahwa:
  • Kesunyian bukan berarti tidak merasakan apa-apa,
  • Justru dalam diam, seseorang bisa menyimpan perasaan paling dalam dan paling tulus.
  • Dan bahwa tidak semua kerinduan perlu diungkapkan secara langsung; ada kekuatan dalam pengamatan dan kesunyian.

Imaji: Imaji Suara dan Penglihatan yang Lembut

Puisi ini kaya dengan imaji auditif (pendengaran) dan visual (penglihatan) yang lembut:
  • “Terdengar sembilu alunan serulingmu” – imaji suara yang tajam namun indah.
  • “Ditingkahi gemericik air” – suara air menambah nuansa alami dan syahdu.
  • “Aku menatapmu dari kejauhan” dan “Seperti menatap ujung pantai” – imaji visual yang memperlihatkan jarak, keterpautan, dan kerinduan.
Imaji ini membantu pembaca masuk ke dalam atmosfer kesunyian yang bukan kosong, tetapi penuh emosi.

Majas: Metafora, Simile, dan Personifikasi

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora: “Merangkai kesunyian” adalah metafora yang kuat. Kesunyian disamakan dengan sesuatu yang bisa dirangkai seperti untaian bunga atau nada—sebuah tindakan aktif terhadap sesuatu yang pasif.
  • Simile (Perbandingan langsung): “Seperti menatap ujung pantai” – menunjukkan kerinduan dan keterpautan melalui perbandingan yang konkret dan imajinatif.
  • Personifikasi (Jika diinterpretasikan): “Sembilu alunan serulingmu” memberi sifat menyayat (sembilu) pada suara seruling, seolah-olah suara itu hidup dan punya daya untuk menyakiti atau menyentuh jiwa.

Kesunyian Bisa Penuh Suara, dan Cinta Bisa Penuh Diam

Puisi “Merangkai Kesunyian” mengajak kita memahami bahwa sunyi tidak selalu berarti kosong. Justru dalam sunyi, seseorang bisa benar-benar mendengar hatinya sendiri, merasakan gelisah yang tak bisa diucapkan, dan menatap sesuatu yang tak bisa dijangkau.

Dianing Widya Yudhistira berhasil menyusun larik-larik yang sederhana namun tajam, membuat puisi ini menyentuh ruang-ruang batin yang paling halus. Kita diajak untuk menghargai diam sebagai bentuk komunikasi, kesunyian sebagai ruang rasa, dan jarak sebagai penguat cinta.

Puisi: Merangkai Kesunyian
Puisi: Merangkai Kesunyian
Karya: Dianing Widya Yudhistira

Biodata Dianing Widya Yudhistira:
  • Dianing Widya Yudhistira adalah seorang sastrawati Indonesia.
  • Dianing Widya Yudhistira lahir di Batang, Jawa Tengah, pada tanggal 6 April 1974.
© Sepenuhnya. All rights reserved.