Salah satu kunci penting dalam membangun peradaban Islam yang maju dan berdaya saing adalah dengan menyatukan antara ilmu agama dan ilmu umum. Sayangnya, selama ini banyak sistem pendidikan di dunia Islam yang masih memisahkan keduanya. Ilmu agama kerap dipandang semata sebagai urusan akhirat, sementara ilmu umum dianggap terbatas pada kebutuhan duniawi. Pandangan terpisah inilah yang menjadi salah satu hambatan dalam memajukan umat Islam, terutama dalam bidang sains dan teknologi.
Untuk mengatasi hal tersebut, para pemikir Muslim seperti Ismail Raji al-Faruqi dan Yusuf Qardhawi menggagas konsep integrasi ilmu. Al-Faruqi menekankan pentingnya Islamisasi ilmu pengetahuan modern agar ilmu tidak hanya mengantar pada kemajuan material, tetapi juga manfaat spiritual. Sementara Qardhawi menyoroti pentingnya kurikulum terintegrasi yang menggabungkan ilmu agama dan sains secara seimbang. Pandangan ini juga diperkuat oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas yang memandang bahwa pendidikan Islam harus memurnikan jiwa sekaligus mengembangkan intelektualitas manusia.
Konsep ini sejatinya bukanlah hal baru. Dalam sejarah peradaban Islam, para ilmuwan seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, dan Al-Farabi telah mengembangkan berbagai cabang ilmu dengan menjadikan nilai-nilai Islam sebagai fondasi. Mereka melihat ilmu bukan hanya alat, melainkan amanah untuk kemaslahatan umat. Tak heran, warisan ilmu dari dunia Islam masa lalu menjadi fondasi kemajuan Eropa di masa Renaissance.
Dalam Islam, ilmu bukan sekadar pengetahuan teknis, tetapi jalan menuju kebenaran. Ilmu membantu manusia memahami makna kehidupan dan mendekat kepada Sang Pencipta. Islam mengajarkan bahwa ilmu bersumber dari tiga hal: wahyu (Al-Qur'an dan Hadis), akal (rasio), dan ilham (intuisi). Ketiganya saling melengkapi. Wahyu membimbing akal agar tidak tersesat, sementara ilham menyempurnakan akal saat logika tak lagi memadai. Islam juga menegaskan bahwa ilmu dan iman harus berjalan bersama. Ilmu yang benar akan membawa seseorang kepada takwa. Dalam QS. Fathir: 28, disebutkan bahwa orang-orang yang paling takut kepada Allah adalah mereka yang berilmu. Maka, ilmu dalam Islam bukan alat untuk kesombongan, melainkan untuk menumbuhkan kerendahan hati dan tanggung jawab.
Konsep interkoneksi ilmu hadir sebagai jawaban atas dikotomi keilmuan. Interkoneksi ilmu adalah pendekatan yang menyatukan ilmu agama dan ilmu umum ke dalam satu sistem keilmuan yang saling terhubung. Filsafat dalam hal ini menjadi jembatan antara nilai (agama) dan rasionalitas (sains). Dalam sejarah, pemisahan ilmu terjadi karena pengaruh kolonialisme, sekularisme Barat, dan perubahan sistem pendidikan Islam sendiri. Akibatnya, banyak lembaga pendidikan Islam hanya fokus pada ilmu-ilmu agama tanpa memperhatikan perkembangan sains modern. Hal ini memicu munculnya generasi yang sangat religius namun tidak memiliki literasi sains yang memadai, atau sebaliknya.
Interkoneksi ilmu menawarkan pendekatan interdisipliner. Artinya, ilmu fikih, sosiologi, psikologi, bahkan teknologi, tidak diajarkan secara terpisah, tetapi saling berdialog. Misalnya, membahas hukum poligami tidak cukup dari aspek syariah saja, tetapi juga dari perspektif psikologis dan sosiologis. Atau ketika mengkaji ayat tentang penciptaan manusia, penting pula mengaitkannya dengan pengetahuan biologi modern agar siswa mendapat gambaran yang menyeluruh. Model integratif ini telah diterapkan di berbagai kampus Islam di Indonesia. UIN Sunan Kalijaga menggunakan pendekatan jaring laba-laba, UIN Malang dengan model pohon ilmu, dan UINSA Surabaya dengan simbol menara kembar. Semuanya bertujuan menghapus batas antara ilmu langit dan ilmu bumi. Dalam model ini, ilmu-ilmu agama dan umum diikat oleh prinsip tauhid, sehingga pendidikan menjadi sarana pembentukan insan kamil—manusia seimbang jasmani dan rohani.
Pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum adalah luka lama dalam dunia pendidikan Islam. Ilmu fikih, tafsir, dan akidah sering kali tidak dikaitkan dengan ilmu biologi, matematika, atau sains terapan. Padahal, pada masa kejayaan Islam, para ulama adalah juga ilmuwan yang menggabungkan teks dan observasi. Dikotomi ini muncul karena sekularisasi pendidikan Barat, kemunduran institusi keilmuan Islam, dan kegagalan mengintegrasikan nilai spiritual ke dalam sains modern. Untuk mengatasi ini, upaya dedikotomisasi perlu dilakukan dengan menyusun kurikulum integratif yang menyatukan nilai-nilai tauhid dengan ilmu sains dan sosial, mengembangkan pendidikan karakter dan adab agar ilmu membawa manfaat dunia dan akhirat, serta mendorong pendekatan interdisipliner dalam riset dan pengajaran. Melatih pendidik untuk memiliki wawasan filsafat Islam, sains, dan sejarah peradaban juga menjadi bagian penting dari transformasi ini.
Dedikotomisasi juga memerlukan dukungan kebijakan dari pemerintah dan institusi pendidikan tinggi. Program pelatihan guru, pengembangan buku teks integratif, dan penguatan riset interdisipliner adalah beberapa langkah strategis yang bisa diambil. Integrasi ilmu bukan berarti mencampur aduk, tetapi menyelaraskan. Agama memberi arah dan makna, sementara sains menyediakan bukti dan kerangka kerja. Dalam konsep tauhid, semua pengetahuan berasal dari Allah. Maka menyatukan agama dan sains adalah wujud penghambaan yang paripurna. Menurut Ian G. Barbour, hubungan antara agama dan sains bisa berada dalam empat posisi: konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Islam cenderung pada posisi keempat, yakni integrasi: dua sisi pengetahuan yang saling melengkapi. Hal ini membuat sains tidak lagi netral, tetapi bermakna, dan agama tidak lagi eksklusif, tetapi aplikatif.
Pendidikan Islam masa depan harus mampu melahirkan generasi Muslim yang tangguh secara intelektual, kuat dalam spiritualitas, dan berakhlak dalam perilaku. Bukan hanya cakap dalam sains, tetapi juga sadar akan nilai-nilai ilahi. Bukan hanya ahli teknologi, tetapi juga tahu bagaimana bersujud dengan benar. Mereka adalah generasi yang bisa berdzikir dan berpikir, bekerja sekaligus menyembah, serta membangun dunia dengan nilai-nilai langit.
Pendekatan integrasi-interkoneksi ilmu bukan sekadar strategi akademik. Ia adalah fondasi peradaban. Dalam dunia yang penuh tantangan moral dan krisis makna, Islam menawarkan solusi dengan menyatukan akal dan wahyu. Kini saatnya menghidupkan kembali semangat itu, demi membentuk peradaban Islam yang adil, cerdas, dan manusiawi. Generasi Muslim masa kini tak hanya dituntut menguasai ilmu, tetapi juga menjaga nilai, memahami makna, dan membangun masa depan dengan landasan iman dan ilmu yang harmonis.
Biodata Penulis:
Rani Pratiwi lahir pada tanggal 24 Juni 2006 di Pekalongan. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa, program studi Tadris Matematika, di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam, K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.