Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Hujan di Balik Jendela (Karya Moh Akbar Dimas Mozaki)

Puisi "Hujan di Balik Jendela" karya Moh Akbar Dimas Mozaki bercerita tentang seseorang yang merenungi kepergian seseorang yang pernah hadir dalam ...

Hujan di Balik Jendela


Titik-titik kecil jatuh di kaca,
Menghapus bayangan wajahmu yang semu,
Setiap tetes, serupa kisah yang gugur.

Aku duduk, menggenggam cangkir sunyi,
Hangat kopi menyisakan pahit yang akrab,
Seperti kenangan yang tak jua reda.

Dalam diam aku paham akhirnya,
Bahwa tidak semua yang datang harus tinggal,
Seperti hujan yang hanya mampir.

Analisis Puisi:

Puisi berjudul "Hujan di Balik Jendela" karya Moh Akbar Dimas Mozaki adalah potret emosional dari seseorang yang sedang memaknai kepergian dalam sunyi. Disusun dengan diksi yang halus dan penuh simbolisme, puisi ini menyentuh tema universal tentang kehilangan dan keikhlasan. Hujan, dalam puisinya, bukan sekadar fenomena alam, melainkan lambang dari kenangan, perpisahan, dan proses melepas dengan tenang.

Tema

Puisi ini mengangkat tema tentang kehilangan, kenangan, dan penerimaan. Melalui citra hujan yang menetes di balik jendela, penyair menggambarkan proses menyadari dan menerima bahwa tidak semua yang hadir dalam hidup akan menetap. Tema ini tidak hanya relevan dalam konteks cinta, tetapi juga dalam pengalaman hidup lainnya—persahabatan, harapan, bahkan impian yang tak sempat mekar.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang merenungi kepergian seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya. Sosok yang dulu bermakna kini hanya menjadi bayangan samar, perlahan memudar seiring turunnya hujan. Puisi ini tidak sekadar narasi tentang rasa kehilangan, melainkan juga tentang proses berdamai—menerima bahwa tidak semua cerita harus berakhir bersama.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini sangat menyentuh: kehadiran seseorang dalam hidup bisa saja hanya sementara, dan hal itu adalah bagian dari realitas yang harus dipahami dan diterima. Penyair tidak menggunakan nada putus asa; sebaliknya, ada ketenangan dalam cara ia merangkul kenyataan tersebut. Hujan menjadi metafora dari peristiwa-peristiwa yang datang untuk sementara namun meninggalkan jejak emosional yang dalam.

Selain itu, baris-baris puisi ini juga memberi kesan bahwa kenangan pahit sekalipun memiliki sisi hangat, seperti kopi yang dinikmati dalam kesunyian. Pahitnya diterima bukan sebagai beban, tetapi sebagai bagian dari perjalanan emosional.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini melankolis, tenang, namun dalam. Terdapat nuansa kesendirian yang tak menyedihkan, melainkan reflektif. Penyair menciptakan atmosfer sunyi yang intim, di mana hanya hujan, kopi, dan diam yang menemani. Suasana ini memperkuat emosi kontemplatif dan rasa ikhlas yang muncul secara perlahan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan pesan bahwa tidak semua yang datang dalam hidup dimaksudkan untuk tinggal selamanya. Ada hal-hal, termasuk orang-orang, yang hanya hadir sementara untuk memberi pelajaran atau pengalaman. Seperti hujan yang turun lalu pergi, begitu juga perasaan dan hubungan. Kuncinya adalah memahami, menerima, dan melepaskan dengan tenang. Puisi ini mengajarkan kedewasaan emosional dan kebijaksanaan dalam menyikapi perpisahan.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan perasa yang memperkuat kedalaman maknanya:
  • “Titik-titik kecil jatuh di kaca” menghadirkan imaji visual hujan di jendela, menciptakan suasana yang tenang namun menggugah.
  • “Menghapus bayangan wajahmu yang semu” memunculkan imaji visual dan emosional, memperlihatkan kenangan yang mulai pudar.
  • “Aku duduk, menggenggam cangkir sunyi” adalah imaji kinestetik dan emosional yang kuat—kesepian, refleksi, dan kehangatan yang tetap terasa dingin.
  • “Hangat kopi menyisakan pahit yang akrab” menciptakan imaji rasa yang menyatu dengan emosi—sebuah pengalaman personal yang menyiratkan bahwa rasa pahit itu bisa dikenali, bahkan dipahami dan diterima.

Majas

Beberapa majas dalam puisi ini memperkaya ekspresi dan keindahan bahasa:
  • Metafora: “Titik-titik kecil… serupa kisah yang gugur”: membandingkan tetesan hujan dengan kenangan yang jatuh satu per satu. “Cangkir sunyi”: cangkir sebagai simbol dari kesendirian dan introspeksi, bukan hanya wadah minuman.
  • Personifikasi: “Tetes… serupa kisah yang gugur” memberi nyawa pada hujan seolah membawa kisah hidup yang berguguran. “Bayangan wajahmu yang semu” memberi kesan bahwa bayangan bisa memiliki eksistensi yang nyaris nyata.
  • Simile: “Seperti kenangan yang tak jua reda”: membandingkan rasa pahit kopi dengan kenangan yang menetap, memberikan dimensi perasaan yang lebih dalam.
"Hujan di Balik Jendela" adalah puisi yang halus dan menyentuh tentang proses mengikhlaskan seseorang yang pernah berarti. Dengan memanfaatkan metafora hujan, kopi, dan kesunyian, Moh Akbar Dimas Mozaki menghadirkan refleksi mendalam yang dekat dengan kehidupan banyak orang. Puisi ini tidak hanya bicara tentang kehilangan, tapi lebih dari itu: tentang ketenangan dalam melepaskan dan kedewasaan dalam mencintai tanpa menggenggam.

Dengan suasana melankolis yang damai, puisi ini mengajarkan bahwa tidak semua perpisahan menyakitkan jika diterima dengan hati yang lapang. Seperti hujan, yang meskipun hanya mampir, tetap memberi kesegaran dan makna pada hari yang dilewatinya.

Moh Akbar Dimas Mozaki
Puisi: Hujan di Balik Jendela
Karya: Moh Akbar Dimas Mozaki

Biodata Moh Akbar Dimas Mozaki:
  • Moh Akbar Dimas Mozaki, mahasiswa S1 Sastra Indonesia, Universitas Andalas.
© Sepenuhnya. All rights reserved.