Pelabuhan
mengapa tinggal tubuh kapal yang membatu
di sini, sementara —
kuli kuli berdaki bergerak bersama laut
riuh disibuki sejuta kerja
serta panas siang yang dilupakan
demikianlah,
memunggah atau membongkar
jiwa keras kan mengombak, angin kering
membuang duka kecewa di tiap pantai berkarang
maka harap di sini
saling lintas melintas, di antara
jari-jari dan rambut kusut berdebu
mendukung keletihan atau menebus kekalahan
bagi anak dan istri
Sumber: Horison (Oktober, 1968)
Analisis Puisi:
Puisi "Pelabuhan" karya Husain Landitjing adalah potret lirih dari kehidupan keras para pekerja pelabuhan yang terlukis dalam baris-baris puitis yang padat makna. Dalam puisi ini, penyair tidak hanya menghadirkan gambaran visual tentang aktivitas fisik di pelabuhan, melainkan juga mengundang pembaca untuk merenungi makna tersirat di balik kerja dan keringat yang jarang diperhatikan oleh banyak orang. Karya ini bercerita tentang dunia yang keras namun sarat harapan—dunia mereka yang hidup di garis batas antara laut dan daratan.
Tema yang Diangkat
Tema utama dalam puisi ini adalah perjuangan hidup kaum pekerja dan ketegaran mereka menghadapi kerasnya realitas. Penyair menggambarkan betapa rutinitas fisik di pelabuhan, dari memunggah hingga membongkar, menjadi simbol keteguhan jiwa. Ada juga irisan tema sosial di dalamnya, tentang kelas pekerja yang tak terlihat, namun menopang peradaban dengan kerja tanpa jeda.
Makna Tersirat: Di Balik Batu dan Keringat
Jika ditelaah lebih dalam, puisi ini menyimpan makna tersirat tentang keterasingan dan ketegaran. Kalimat pembuka "mengapa tinggal tubuh kapal yang membatu" seakan mempertanyakan kenapa kapal, simbol pergerakan dan perdagangan, justru terdiam dan membeku, seolah kehilangan jiwa. Di sisi lain, para kuli berdaki justru bergerak aktif, menyatu dengan laut, seolah mereka lah yang sebenarnya menghidupkan pelabuhan itu.
Puisi ini seolah menolak romantisasi pelabuhan sebagai tempat eksotis, dan justru mengungkap kenyataan bahwa pelabuhan adalah tempat keringat, duka, dan kerja keras. Dalam tiap bait, pembaca diajak melihat dunia yang tidak ditampilkan dalam brosur wisata: dunia yang dipenuhi keletihan namun tetap dijalani karena cinta dan tanggung jawab terhadap anak dan istri.
Imaji dalam Puisi
Meski padat dan singkat, puisi ini kuat dalam menghadirkan imaji visual dan perasaan. Imaji seperti:
- "kuli-kuli berdaki bergerak bersama laut" – menggambarkan kelekatan fisik antara tubuh manusia dengan alam, khususnya laut.
- "angin kering membuang duka kecewa di tiap pantai berkarang" – menghadirkan sensasi alam yang kasar dan keras, seperti perasaan yang ingin dilupakan atau diusir.
- "jari-jari dan rambut kusut berdebu" – imaji tubuh manusia yang lelah namun tetap bekerja, penuh debu dan kusut, menjadi lambang realitas kehidupan kelas bawah.
Semua imaji ini tidak hanya menghadirkan visual, tetapi juga membangun suasana batin pembaca: rasa lelah, duka, dan ketabahan.
Majas dan Gaya Bahasa
Puisi ini menggunakan beberapa majas (gaya bahasa) yang memperkuat efek emosional dan puitisnya:
- Personifikasi: "tubuh kapal yang membatu" – seolah kapal adalah makhluk hidup yang kini diam membeku, kehilangan daya hidupnya.
- Metafora: "jiwa keras kan mengombak" – menyamakan keteguhan jiwa dengan ombak yang tak pernah lelah, penuh dinamika.
- Hiperbola: "riuh disibuki sejuta kerja" – melebih-lebihkan banyaknya aktivitas sebagai cara menekankan betapa sibuk dan melelahkan kehidupan di pelabuhan.
Amanat atau Pesan yang Disampaikan
Puisi ini mengandung amanat tentang ketegaran dan nilai kehidupan para pekerja keras, khususnya mereka yang sering tak terlihat dalam sorotan masyarakat. Di tengah panas, lelah, dan rutinitas fisik yang berat, mereka tetap menjalani hidup karena tanggung jawab pada orang-orang tercinta.
Ada juga pesan eksistensial yang kuat—bahwa dalam kehidupan yang keras sekalipun, harapan tetap bisa tumbuh. Kalimat penutup "bagi anak dan istri" menjadi titik paling manusiawi dari puisi ini: kerja keras bukan untuk ambisi pribadi, tapi untuk orang-orang yang dicintai.
Puisi "Pelabuhan" karya Husain Landitjing bukan sekadar puisi tentang tempat. Ini adalah potret jiwa, tentang bagaimana kerja keras membentuk makna, tentang tubuh-tubuh manusia yang tak henti bergerak demi harapan. Dengan tema perjuangan hidup, makna tersirat tentang ketabahan, serta kekuatan imaji dan majas yang membangun realitas emosional, puisi ini mengajak kita melihat ulang arti "pelabuhan" dalam hidup kita masing-masing: tempat singgah, tempat berjuang, dan tempat kembali.
Karya: Husain Landitjing
Biodata Husain Landitjing:
- Husain Landitjing lahir pada tanggal 23 September 1938 di Makale, Dati II Tana Toraja, Sulawesi.