Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Saat, Gerimis Malam, Kesendirian (Karya Kusnin Asa)

Puisi “Saat, Gerimis Malam, Kesendirian” karya Kusnin Asa bercerita tentang momen kesendirian di malam hari saat hujan turun, di mana seseorang ...

Saat, Gerimis Malam, Kesendirian


Warna yang cermat
Menulis rintik hujan
Di Horison
Dan Awan
Longsong kesendirian

Dingin pun beranjak seketika
Sangsi hanya lusuh
Dalam mimpi — mengapa malam
Berbaring dengan pulas dan duka
Bertimbun tak mau lepas.

Bingkai dinding segitiga
Menjerat usia tanpa batas
Tanpa ingin pergi — lalu
Tinggal kata-kata

Demikian hari pun merekam saat
Dalam pita kembang kertas — gusar
Kembali mempermainkan kunang-kunang
Demikian sebelum kita berangkat
Seluruh teka teki tersingkir
Sampai bayang itu lenyap

1971

Sumber: Horison (Mei, 1974)

Analisis Puisi:

Puisi “Saat, Gerimis Malam, Kesendirian” karya Kusnin Asa adalah ekspresi puitik yang dalam dan atmosferik, membungkus emosi dalam lapisan imaji dan simbol yang tidak langsung. Puisi ini membawa pembaca menyusuri suasana malam yang sunyi dan hujan, serta kesendirian eksistensial yang menyelinap di antara waktu, bayangan, dan kenangan. Melalui larik-larik yang penuh kehati-hatian, penyair menggambarkan relasi antara alam, waktu, dan perasaan terdalam manusia.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kesendirian eksistensial dalam relasi dengan waktu dan kenangan. Hujan, malam, dan suasana dingin menjadi latar yang menggambarkan perenungan batin, keheningan, dan perasaan duka yang tertahan. Puisi ini juga menyentuh tema ketiadaan, perjalanan waktu, serta kenangan yang perlahan menghilang.

Makna Tersirat

Puisi ini mengandung makna tersirat tentang kesendirian sebagai bagian dari perjalanan hidup yang tak terhindarkan. Melalui hujan dan malam, penyair menyampaikan bagaimana kesedihan dan keraguan perlahan meresap ke dalam jiwa, membentuk semacam penerimaan akan waktu yang terus berjalan. “Bingkai dinding segitiga / menjerat usia tanpa batas” mungkin merujuk pada waktu yang terbatas namun terasa tak berujung dalam kesendirian. Sementara larik “tinggal kata-kata” menunjukkan bahwa pada akhirnya hanya memori atau jejak tulisan yang tertinggal, seolah kehidupan telah surut dan hanya menyisakan catatan atau puing-puing kata.

Puisi ini bercerita tentang momen kesendirian di malam hari saat hujan turun, di mana seseorang terjebak dalam perenungan akan waktu, kenangan, dan makna hidup. Kata-kata seperti “gerimis”, “mimpi”, “duka”, “bayang”, dan “lenyap” menekankan perjalanan batin sang tokoh liris dalam menghadapi kesendirian dan upaya memahami keberadaan diri di tengah kehampaan. Dalam ketiadaan aktivitas fisik, ada semacam pengembaraan batin yang penuh kontemplasi terhadap hidup dan waktu yang terus bergerak maju.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi terasa murung, dingin, dan reflektif. Hujan dan malam memperkuat nuansa kesepian yang mendalam. Kata-kata seperti “dingin”, “duka”, “gusar”, dan “lenyap” menciptakan atmosfer yang senyap namun sarat emosi. Ada juga nuansa magis dan melankolis, terutama ketika disebutkan kunang-kunang dan bayang yang hilang. Suasana puisi ini seperti mengajak pembaca berdiri di jendela, menyaksikan hujan turun, sambil dihantui bayang-bayang masa lalu yang perlahan memudar.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah tentang penerimaan terhadap kesendirian, waktu, dan ketidakpastian hidup. Melalui perenungan dalam sunyi, seseorang mungkin menyadari bahwa hidup adalah proses meninggalkan dan dilupakan. Namun di balik semua itu, selalu ada makna dalam setiap momen yang terekam, bahkan dalam gerimis dan malam. Puisi ini mengajarkan bahwa meski dunia bisa terasa gelap dan penuh teka-teki, ada ketenangan dalam memahami bahwa semuanya akan berlalu, dan hanya kenangan serta kata-kata yang bisa bertahan.

Imaji

Puisi ini sarat dengan imaji visual dan imaji suasana, di antaranya:
  • “Menulis rintik hujan di horison dan awan” menciptakan gambaran alam yang puitis dan hening.
  • “Dingin pun beranjak seketika” adalah imaji yang menghidupkan perasaan tubuh dan suasana malam.
  • “Bingkai dinding segitiga menjerat usia” memunculkan citra geometris dan simbolik terhadap waktu dan kehidupan.
  • “Pita kembang kertas” menghadirkan kesan kenangan masa kecil atau hadiah, yang kemudian menjadi ironi dalam suasana sedih.
  • “Kunang-kunang” memberi cahaya simbolis yang bermain-main di tengah kegelapan malam, seolah harapan kecil yang muncul dan hilang kembali.
Imaji-imaji ini memperkuat pengalaman batin pembaca dalam menghayati puisi yang padat makna ini.

Majas

Puisi ini kaya dengan penggunaan majas, yang memberi kedalaman makna dan keindahan gaya bahasa:
  • Personifikasi: Contohnya pada “dingin pun beranjak seketika” — dingin digambarkan seperti makhluk hidup yang bisa bergerak, menunjukkan betapa kuat pengaruh suasana terhadap kondisi batin.
  • Metafora: “Bingkai dinding segitiga menjerat usia” mengibaratkan ruang atau waktu sebagai penjara tak terlihat bagi kehidupan, menegaskan perasaan terperangkap dalam waktu.
  • Simbolisme: “Kunang-kunang” sebagai simbol kenangan, harapan kecil, atau kilasan masa lalu yang datang dan pergi.
  • Repetisi: Pengulangan struktur seperti “Demikian…” menekankan kesinambungan waktu dan keterikatan perasaan pada peristiwa yang telah lewat.
Puisi “Saat, Gerimis Malam, Kesendirian” karya Kusnin Asa adalah karya kontemplatif yang menyentuh lapisan terdalam jiwa manusia dalam hubungannya dengan waktu, kesunyian, dan kenangan. Dengan tema kesendirian dan renungan eksistensial, puisi ini menghadirkan makna tersirat yang kompleks, memperlihatkan bahwa dalam keheningan malam dan rintik hujan, ada dunia batin yang kaya dan menyimpan banyak cerita. Imaji yang kuat dan majas yang padu memperkuat kesan bahwa kesepian bukan sekadar ketiadaan, melainkan ruang untuk memahami hidup secara lebih mendalam.

Kusnin Asa
Puisi: Saat, Gerimis Malam, Kesendirian
Karya: Kusnin Asa

Biodata Kusnin Asa:
  • Kusnin Asa lahir pada tanggal 15 Desember 1946 di Batang, Pekalongan.
© Sepenuhnya. All rights reserved.