Sekarang Langit Lain
sekalian cemeti
berguruh di langit itu
melecut sekawanan kuda
ketepak-ketepak dari utara.
cuaca pun pecah-pecah
seperti bibir-bibir ini
ketika menggamit doa
tuhanku, hujankan panah-panahmu
pada peta langit itu.
gerbang pertama
tugu kedua
berkepullah asap.
kemudian
gumpal-gumpal awan lain
gemerayap debu di angkasa itu
di dalam mengendam perang
dari busur berkilatan api
dan langit pun terbakar.
1971
Sumber: Horison (Agustus, 1973)
Analisis Puisi:
Puisi "Sekarang Langit Lain" karya Halis LS adalah sebuah penggalan perenungan penuh daya ledak emosional dan simbolik. Ia bukan sekadar rangkaian kata-kata yang indah, melainkan jeritan batin yang mencerminkan kecemasan zaman, ketakutan kolektif, dan kegelisahan spiritual. Dari awal hingga akhir, puisi ini mengalir seperti ledakan yang tertahan lama, lalu pecah menjadi gambaran apokaliptik yang mengguncang.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kehancuran dan perang. Namun, secara lebih mendalam, puisi ini juga berbicara tentang keputusasaan manusia di tengah kekacauan, serta kerinduan akan intervensi ilahi dalam dunia yang telah kehilangan arah. Ada juga nuansa pencarian spiritual ketika sang penyair menyeru kepada Tuhan untuk turun tangan terhadap situasi yang digambarkan.
Puisi ini bercerita tentang perubahan drastis pada dunia—diumpamakan dengan “langit lain”—yang dipenuhi oleh kekerasan, kehancuran, dan kemarahan. Kiasan tentang langit yang bergemuruh, cemeti yang melecut kuda, dan hujan panah menunjukkan adanya pergolakan besar yang bukan hanya fisik, tetapi juga batiniah. Ini adalah puisi yang berbicara tentang perang, baik secara harfiah maupun simbolik: perang antarbangsa, perang antarideologi, atau bahkan perang internal dalam diri manusia.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini mengarah pada kritik terhadap kondisi sosial-politik yang penuh kekerasan dan kehilangan kemanusiaan. Penyair menggambarkan langit sebagai simbol keadaan global atau eksistensial yang telah berubah menjadi medan tempur. Doa dalam puisi—"tuhanku, hujankan panah-panahmu pada peta langit itu"—bukanlah permohonan keselamatan, melainkan semacam harapan atas keadilan atau penghakiman terhadap kekacauan yang telah melanda. Ini menunjukkan kerinduan akan tatanan baru yang lebih adil, setelah kerusakan yang meluas.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini sangat mencekam, tegang, dan apokaliptik. Ada intensitas yang dibangun dari awal: bunyi cemeti di langit, sekawanan kuda yang dikejar, cuaca yang pecah, dan akhirnya langit yang terbakar. Semuanya menghadirkan nuansa ketakutan, kepanikan, dan kehancuran total. Tidak ada ketenangan di dalam puisi ini—semuanya bergerak menuju puncak ledakan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat dari puisi ini adalah peringatan terhadap kondisi dunia yang kian rusak, penuh peperangan, dan kehilangan nilai-nilai spiritualitas. Halis LS seolah menyuarakan kegelisahan kolektif umat manusia yang hanya bisa berharap pada kekuatan transenden—Tuhan—untuk menyeimbangkan kembali tatanan yang telah hancur. Dalam konteks ini, puisi ini bisa dimaknai sebagai seruan moral dan spiritual agar manusia kembali ke arah yang benar sebelum semuanya benar-benar terlambat.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji visual dan auditif yang sangat kuat:
- “berguruh di langit itu” membangun suara guntur yang menakutkan,
- “melecut sekawanan kuda” menghadirkan adegan dramatis seperti dalam medan perang,
- “cuaca pun pecah-pecah seperti bibir-bibir ini” adalah gambaran penderitaan yang dirasakan secara fisik dan emosional,
- “berkepullah asap”, “gumpal-gumpal awan lain”, dan “langit pun terbakar” menciptakan suasana kehancuran total.
Imaji-imaji ini berhasil membawa pembaca membayangkan adegan yang sangat hidup—seperti sebuah film bencana dalam bentuk puisi.
Majas
Halis LS menggunakan beragam majas yang memperkuat efek dramatis puisinya:
- Metafora: Langit dijadikan simbol dari situasi dunia atau tatanan yang sedang dilanda kekacauan.
- Personifikasi: “cuaca pun pecah-pecah seperti bibir-bibir ini” memanusiakan elemen alam untuk menyampaikan penderitaan.
- Hiperbola: “langit pun terbakar” adalah bentuk dramatisasi untuk menggambarkan dampak dari perang dan kekacauan.
- Simile: “seperti bibir-bibir ini” digunakan untuk menyampaikan kesamaan antara penderitaan cuaca dan manusia.
Majas-majas ini menambah kedalaman makna dan kekuatan puisi dalam menyampaikan pesan-pesannya secara emosional dan artistik.
Puisi "Sekarang Langit Lain" karya Halis LS adalah puisi yang menyuguhkan perenungan mendalam tentang dunia yang dilanda kehancuran dan pencarian spiritual dalam suasana krisis. Lewat simbol langit yang terbakar dan doa yang menggugat, penyair menyampaikan kritik sosial dan kerinduan akan keadilan Tuhan dalam dunia yang terlanjur luka. Dengan tema tentang kehancuran, makna tersirat yang filosofis, serta dukungan imaji dan majas yang tajam, puisi ini menjadi salah satu karya yang menyentuh sekaligus mengganggu kesadaran kita akan arah yang sedang ditempuh umat manusia.
Karya: Halis LS
Biodata Halis LS:
- Halis LS lahir pada tanggal 28 Oktober 1944 di Mayong.
