Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Mental Health Gen Z di Era Kerja Ekstrem

Gen Z, jangan biarkan hustle culture merampas kesehatan mentalmu! Kenali tantangannya dan temukan cara cerdas untuk tetap seimbang dan bahagia di ...

Di tengah era digital yang serba cepat, Generasi Z tumbuh dalam lingkungan yang menuntut produktivitas ekstrem dan terus-menerus terhubung dengan teknologi. Dalam kondisi seperti ini, mental health menjadi isu krusial, karena tekanan budaya kerja—yang dikenal sebagai hustle culture mendorong banyak anak muda untuk bekerja tanpa henti demi pencapaian. Paradoks pun muncul: Gen Z ingin sukses dengan cepat, namun juga mendambakan hidup yang seimbang dan sehat secara emosional. Dilema ini memperlihatkan bagaimana dunia kerja modern menghadirkan tantangan baru terhadap kesehatan psikologis generasi muda.

Mental Health Gen Z di Era Kerja Ekstrem

Ciri Gen Z Ambisius tapi Peka Emosi 

Generasi Z (1997–2012) dikenal sebagai generasi yang adaptif terhadap teknologi, kreatif, dan sangat sadar akan isu-isu sosial dan emosional. Mereka tumbuh dengan ekspektasi bahwa kesuksesan dapat dicapai lebih cepat melalui jalur digital: menjadi influencer, pengusaha muda, atau profesional yang viral karena keahliannya. Namun, di balik semangat mereka yang tinggi, terdapat juga tingkat kecemasan dan kelelahan yang signifikan. Riset oleh American Psychological Association (2020) menunjukkan bahwa Gen Z memiliki tingkat stres tertinggi dibandingkan generasi lain, terutama yang berkaitan dengan pekerjaan dan ketidakpastian masa depan. 

Budaya Hustle yaitu Glorifikasi Produktivitas Berlebihan 

Istilah “hustle culture” merujuk pada budaya kerja yang memuja produktivitas tanpa henti, bekerja lembur sebagai prestasi, dan mengorbankan waktu istirahat demi kemajuan karier. Ungkapan seperti “grind now, shine later” atau “sleep is for the weak” menjadi semboyan tak resmi dalam kehidupan profesional modern. Media sosial memperkuat budaya ini dengan membanjiri konten motivasi dan pameran pencapaian. Akibatnya, banyak Gen Z yang merasa bahwa tidak produktif berarti gagal, bahkan merasa bersalah jika beristirahat. 

Dampak Psikologis Antara Ambisi dan Burnout 

Dampak budaya kerja ekstrem ini sangat terasa dalam kehidupan Gen Z. Mereka mengalami burnout kelelahan fisik dan emosional akibat pekerjaan yang berlebihan pada usia yang relatif muda. Survei oleh Deloitte (2023) mencatat bahwa 46% Gen Z mengaku merasa stres secara konsisten dalam pekerjaan mereka, dan banyak yang mempertimbangkan untuk resign demi alasan kesehatan mental. Tekanan untuk terlihat sukses secara online memperparah kondisi ini. Di media sosial, prestasi orang lain menjadi standar pembanding internal, memicu imposter syndrome, overthinking, dan gangguan citra diri. Maka, Gen Z bukan hanya bekerja keras secara fisik, tetapi juga menghadapi pertempuran emosional dan psikologis yang intens.

Perlawanan Senyap: Self-care dan Gaya Hidup ‘Slow Work’

Di tengah tekanan, sebagian Gen Z mulai melakukan resistensi senyap terhadap budaya hustle. Mereka mempopulerkan istilah seperti “quiet quitting” bekerja sesuai tanggung jawab tanpa ambisi berlebihan dan mengutamakan kesehatan mental serta waktu pribadi. Self-care, mindfulness, dan work-life balance menjadi nilai baru yang mereka perjuangkan, meskipun kadang dianggap malas atau tidak ambisius oleh generasi yang lebih tua. Gerakan “slow work” mulai dipopulerkan sebagai bentuk perlawanan terhadap kecepatan dan tuntutan multitasking. Dalam pendekatan ini, kualitas kerja lebih diutamakan daripada kuantitas, dan proses dianggap sama pentingnya dengan hasil. 

Peran Organisasi dan Kebijakan yang Adaptif

Organisasi modern tidak bisa lagi berfokus semata pada output dan profit, tetapi juga wajib bertanggung jawab atas keberlanjutan psikososial karyawannya. Di tengah tekanan hustle culture, Gen Z membutuhkan lingkungan kerja yang fleksibel, kooperatif, dan manusiawi. Pertama, struktur kerja perlu dirancang ulang: fleksibilitas waktu dan tempat kerja harus menjadi norma, bukan pengecualian. Kedua, organisasi perlu mengintegrasikan kesehatan mental dalam kebijakan SDM bukan sekadar menyediakan layanan konseling, tetapi menciptakan budaya kerja yang peduli dan terbuka. Ketiga, kepemimpinan harus bergeser ke arah empati: pemimpin bukan hanya pengarah kerja, tapi juga fasilitator kesejahteraan tim. Tanpa adaptasi ini, organisasi berisiko kehilangan talenta muda, menurunnya produktivitas, dan tumbuhnya budaya kerja yang rapuh secara emosional.

Biodata Penulis:

Nirina Nasywa Nurfea saat ini aktif sebagai mahasiswi di Universitas Sebelas Maret, Program Studi Ilmu Lingkungan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

© Sepenuhnya. All rights reserved.