Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Ngopi Tiap Hari: Lifestyle, Gengsi, atau Pelarian?

Di tengah hiruk-pikuk kota dan tekanan hidup yang makin kompleks, coffee shop menjadi tempat “pelarian” yang menawarkan rasa nyaman dan koneksi ...

Kopi bukan sekadar minuman tetapi telah menjelma jadi gaya hidup, simbol status sosial, bahkan pelarian dari penatnya hidup kota. Kita bisa lihat sendiri: dari mahasiswa sampai eksekutif muda, dari tukang ojek online hingga influencer, semua punya ritual ngopi yang tak bisa ditawar. Tapi… pernahkah kita bertanya: kenapa kita ngopi setiap hari?

Apakah karena memang suka rasa pahitnya? Atau sekadar mengejar ambience estetik coffee shop? Atau jangan-jangan… karena takut ketinggalan tren?

Ngopi sebagai Lifestyle

Di tengah hiruk-pikuk kota dan tekanan hidup yang makin kompleks, coffee shop menjadi tempat “pelarian” yang menawarkan rasa nyaman dan koneksi sosial. Kata siapa ngopi cuma buat ngilangin kantuk? Sekarang, ngopi adalah bagian dari identitas diri.

Ngopi sebagai Lifestyle

Tak sedikit orang memilih kopi sesuai karakternya: ada yang setia pada espresso, ada yang manis dengan caramel latte, ada juga yang edgy dengan kopi susu gula aren. Bahkan muncul istilah: “You are what you brew.”

Ngopi bukan cuma soal rasa, tapi suasana. Interior industrial, aroma biji kopi yang baru digiling, playlist lagu di latar belakang—semua jadi paket lengkap yang bikin orang rela bayar dua kali lipat daripada bikin kopi sendiri di rumah.

Ngopi dan Gengsi Sosial

Tidak bisa dipungkiri, tren ngopi kini lekat dengan citra diri. Upload story lagi di tempat ngopi hits? Wajib. Pegang gelas kopi dengan logo brand terkenal? Simbol status.

Fenomena ini melahirkan perilaku yang disebut “coffee consumerism”, yaitu kebiasaan mengonsumsi kopi bukan karena butuh, tapi karena ingin terlihat relatable, aesthetic, dan up to date.

Sebuah riset kecil dari University of Cambridge bahkan menyebutkan bahwa generasi muda lebih rela memotong pengeluaran makan demi bisa “nongkrong ngopi” demi eksistensi sosial. Menggelitik? Ya. Tapi nyata.

Ngopi sebagai Pelarian

Di sisi lain, ngopi juga jadi bentuk pelarian. Banyak orang menjadikan ngopi sebagai momen “me time”, jeda dari padatnya rutinitas, atau bahkan pelampiasan emosi. Stres kerja, patah hati, burnout, atau sekadar bosan di rumah, semua seolah bisa diselesaikan dengan satu kalimat ajaib: “Ngopi yuk?”

Tapi, ketika ngopi jadi pelarian yang terlalu sering sampai lupa dompet tipis, tugas numpuk, dan badan kurang tidur, mungkin sudah waktunya bertanya “apa yang sebenarnya kita cari dari secangkir kopi itu?”

Di Antara Nikmat dan Kecanduan

Satu hal yang tak bisa dilewatkan yaitu kafein itu adiktif. Konsumsi berlebih bisa bikin jantung berdebar, susah tidur, bahkan gangguan kecemasan. Tapi ironisnya, justru dalam kondisi tertekan itulah banyak orang “butuh” kopi. Ngopi tiap hari sah-sah saja. Tapi kalau sudah merasa tidak bisa fokus, semangat, atau berpikir jernih tanpa kopi, mungkin ada alarm bahaya yang harus mulai didengar.

Akhirnya, kopi tetaplah kopi. Ia tak salah apa-apa. Yang memberi makna adalah kita. Ia bisa jadi lifestyle yang menyenangkan, media bersosialisasi yang hangat, atau pelarian sementara dari realita. Namun, penting juga untuk sesekali refleksi.

Apakah kita benar-benar menikmati kopinya, atau hanya butuh pengakuan bahwa kita “ngopi”?

Jadi… kamu ngopi karena apa?

Toni Wibisono

Biodata Penulis:

Toni Wibisono saat ini aktif sebagai mahasiswa, Prodi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, di Universitas Sebelas Maret.

© Sepenuhnya. All rights reserved.