Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Atine Grimis Neng Wayah Udan (Karya Kang Thohir)

Puisi “Atine Grimis Neng Wayah Udan” karya Kang Thohir bercerita tentang seseorang yang merasakan batinnya grimis (basah oleh kesedihan) meskipun ...

Atine Grimis Neng Wayah Udan


Wayah bedug wayah udan
Meriang atine wis ora karuan
Pan meneng tapine mripate grimis lan udan
Udan rohmate Gusti pangeran
Lamon atine lara, ya kerana oranana keadilan
Sing uwong-uwong pada moyoki lan wadan-wadanan tur omongan
Tapine ora rumangsane deweke nduwe salah
Monine wis lumrah
Dongene kepriben aku tah

Brebes-Kupu, 21 Mei 2025

Analisis Puisi:

Puisi “Atine Grimis Neng Wayah Udan” karya Kang Thohir adalah puisi pendek namun penuh makna yang mencerminkan suasana batin manusia yang terluka di tengah simbol alam: hujan. Dengan menggunakan bahasa Jawa yang lugas namun puitis, puisi ini menyampaikan pergulatan batin seseorang yang merasa terasing dan disalahkan oleh lingkungan, meskipun ia merasa tidak bersalah.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kesedihan, ketidakadilan, dan keterasingan batin di tengah kehidupan sosial. Penyair menyuarakan perasaan seseorang yang sedang merasakan tekanan psikologis akibat perlakuan masyarakat yang menilai tanpa memahami.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang merasakan batinnya grimis (basah oleh kesedihan) meskipun hujan turun secara fisik. Ia berada dalam suasana hujan dan waktu bedug (waktu salat), namun pikirannya berkecamuk karena rasa sakit dan ketidakadilan. Ia disalahkan, dicibir, dan dituding, meski ia sendiri merasa tidak bersalah. Akhir puisinya menggantung dalam pertanyaan—“Dongene kepriben aku tah” (doanya bagaimana, ya aku ini?)—sebuah refleksi keputusasaan sekaligus pencarian akan keadilan atau petunjuk Ilahi.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap masyarakat yang mudah menghakimi tanpa mengetahui kebenaran, serta gambaran penderitaan batin seseorang yang tertindas secara sosial dan emosional. Puisi ini juga mengisyaratkan kebutuhan akan keadilan dan pengakuan, yang seringkali tidak ditemukan di dunia sosial, tetapi dicari melalui spiritualitas (dalam konteks doa dan rahmat Tuhan).

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah sendu, sunyi, dan pilu, dibalut oleh hujan yang menjadi latar sekaligus metafora dari suasana hati tokohnya. Meski hujan biasanya membawa rahmat, dalam puisi ini hujan hadir sebagai kontras dengan luka yang tidak kunjung sembuh di dalam hati.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Beberapa pesan moral yang dapat dipetik dari puisi ini antara lain:
  • Jangan mudah menghakimi orang lain tanpa mengetahui kebenarannya.
  • Rasa sakit dan luka batin tidak selalu tampak secara fisik.
  • Keadilan tidak selalu hadir dalam kehidupan sosial, tetapi bisa dicari dalam hubungan spiritual dengan Tuhan.

Imaji

Puisi ini menggunakan imaji visual dan emosional dengan kuat:
  • “Mripate grimis lan udan” — memberikan gambaran mata yang menangis dalam hujan, menyatukan kesedihan pribadi dan cuaca.
  • “Wayah bedug wayah udan” — menciptakan suasana waktu sore yang hening dan berkabut oleh hujan, memberikan rasa sunyi dan reflektif.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini:
  • Metafora: “Mripate grimis” — air mata diibaratkan grimis, menyiratkan tangisan yang tertahan.
  • Personifikasi: “Atine grimis” — hati digambarkan seolah-olah bisa terkena hujan, memberi kesan batin yang benar-benar basah oleh kesedihan.
  • Ironi: meskipun hujan adalah rahmat Tuhan, di saat itu tokoh justru merasa hancur dan tidak damai.
Puisi “Atine Grimis Neng Wayah Udan” adalah sebuah refleksi liris tentang kesepian, penilaian sosial yang semena-mena, dan pencarian makna hidup di tengah luka batin. Meski singkat, puisi ini mengandung kedalaman emosional dan spiritual yang kuat, menunjukkan bagaimana penyair menggunakan bahasa Jawa sebagai media untuk menyuarakan hal-hal yang tak terkatakan secara langsung.

Kang Thohir
Puisi: Atine Grimis Neng Wayah Udan
Karya: Kang Thohir

Biodata Kang Thohir:
  • Kang Thohir, merupakan nama pena dari Muhammad Thohir/Tahir (biasa disapa Mas Tair), lahir di Brebes, Jawa Tengah.
  • Kang Thohir suka menulis sejak duduk di bangku kelas empat SD sampai masuk ke Pondok Pesantren. Ia menulis puisi, cerpen dan lain sebagainya.
© Sepenuhnya. All rights reserved.