Sumber: Buku Tentang Ruang (2016)
Analisis Puisi:
Puisi "Buku Harian" karya Avianti Armand adalah karya yang kaya nuansa, penuh kesadaran akan waktu, relasi manusia yang retak, dan refleksi eksistensial. Disusun dalam format tanggal-tanggal seperti catatan jurnal, puisi ini mengajak pembaca menyelami hubungan dua manusia yang rapuh namun bertahan dalam senyap. Liris, kontemplatif, dan metaforis, puisi ini menampilkan sisi emosional yang dalam namun tak meledak-ledak, seperti luka lama yang dibiarkan menggumpal dalam kata-kata.
Tema
Tema utama puisi ini adalah keretakan relasi emosional dalam hubungan yang tak selesai, yang ditangkap dalam fragmen-fragmen waktu yang membekas. Ada pula tema tentang keterasingan, ketiadaan jawaban dalam hubungan, dan kesadaran akan kefanaan waktu dan manusia. Cinta dalam puisi ini tidak hadir sebagai romansa yang hangat, melainkan sebagai bayang-bayang masa lalu yang gentayangan, ambigu, dan tidak tuntas.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini mengungkap perasaan kehilangan yang ditahan, penundaan keputusan, dan kesepakatan diam untuk tidak menyelesaikan sesuatu yang menyakitkan. Kalimat seperti "tidak sekarang" dan "kita belum gila" menunjukkan adanya kesadaran akan masalah yang menggantung namun dibiarkan. Kata-kata seperti "kita adalah sepasang roh yang dikutuk gentayangan selamanya" menyiratkan bahwa hubungan mereka seperti hantu dari masa lalu yang terus menguntit dan tak bisa dilepaskan.
Puisi ini bercerita tentang dua orang yang pernah (atau masih) memiliki hubungan emosional yang kuat, namun kini hanya tersisa bayang-bayangnya. Melalui tanggal-tanggal acak dalam bulan Desember dan Oktober, penyair menyusun catatan peristiwa yang tampak biasa namun sarat makna emosional: makan malam, hujan, film batal ditonton, percakapan ringan yang menyimpan luka. Semua ini menunjukkan dinamika hubungan yang mengalami stagnasi dan peluruhan secara perlahan.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi sangat kuat dan melankolis, dingin, sepi, serta hampa. Cahaya lampu yang “ragu”, gelap yang “menggosokkan tubuh ke jendela”, dan tirai hujan yang menyembunyikan pelangi menambah aura sendu. Suasana ini memperkuat kesan hubungan yang nyaris mati namun masih dijalani dalam kebisuan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah bahwa hubungan yang tidak diselesaikan hanya akan menjadi luka yang menua dalam diam. Selain itu, puisi ini juga menyiratkan bahwa cinta membutuhkan kejelasan dan keberanian untuk menghadapi kenyataan, bukan sekadar bertahan dalam rutinitas yang dingin. Kalimat “tidak akan ada waktu yang baik” menjadi refleksi pahit bahwa penundaan keputusan adalah keputusan itu sendiri.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji visual dan suasana:
- "Cahaya lampu menua": imaji visual yang menggambarkan waktu yang terus berjalan.
- "Jalan-jalan bercabang seperti argumen yang membosankan": imaji kognitif yang menghubungkan bentuk jalan dengan percakapan yang tidak membawa solusi.
- "Shawl yang melingkar di lehermu sudah menumbuhkan jamur yang subur": imaji sensorik yang menyiratkan waktu lama dan kelapukan.
- "Tangga yang sambung-menyambung, dinding-dinding yang saling berdesak": imaji ruang yang sempit, penuh tekanan, dan sesak, cocok dengan tema keterasingan dan klaustrofobia emosional.
Majas
Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini adalah:
Metafora:
- "Cinta adalah tentang waktu",
- "Langit yang tak berwarna",
- "Hurufnya luka",
- "Mimpi atau bukan, aku melihat bayanganku mengendap-endap".
Semua ini membentuk citraan kuat akan batin yang meragu dan gentayangan.
Personifikasi:
- "Gelap menggosokkan tubuh ke jendela",
- "Cahaya lampu menua",
- "Jalan-jalan bercabang seperti argumen yang membosankan".
Simile (perbandingan eksplisit):
- "Akar-akar pohon menjalar seperti ular",
- "Hujan mengubah jalanan musim kemarau semacam cermin",
- "Cermin yang mengganti namaku jadi Biru".
Ironi:
- "Santa Klaus yang tak datang" dan pernyataan bahwa mungkin "kita adalah salah" menghadirkan ironi dalam suasana Natal yang seharusnya hangat.
Puisi "Buku Harian" adalah potret puitik tentang hubungan yang tenggelam dalam kebisuan dan kenangan. Dengan format naratif yang menyerupai catatan harian, Avianti Armand berhasil menghadirkan pengalaman emosional yang sangat personal namun bisa dirasakan universal: tentang mencintai dalam sunyi, menua bersama kesendirian, dan bertahan di antara kata-kata yang tak pernah sempat diucapkan. Ini adalah puisi tentang cinta yang tak sempat selesai, dan waktu yang terus mencatat luka.
