Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Kasablanka (Karya Esha Tegar Putra)

Puisi "Di Kasablanka" karya Esha Tegar Putra bercerita tentang pengalaman sang aku liris yang berada di Kasablanka—kemungkinan merujuk pada sebuah ...
Di Kasablanka

Di Kasablanka, aku dengar juga dendang saluang
tentang orang berumah di tepi rimba, hendak membeli garam
tapi garam jauh di Pariaman, hendak membeli asam tapi asam
jauh di Paninjauan. Dan aku pegang tepi-tepi kain bajuku
agar aku paham, bahwa di Kasablanka, gadis-gadis dengan dada
jilah tersumbul ituakan membeli roti hambar dan mengosokkan
pada pangkal lengan mengkal mereka. bahwa serombongan orang
alim berjanggut panjang akan menepuk-nepuk kening mereka
dengan kitab tentang cara mengobat kurap bertahun. Dan bahwa
serombongan lelaki berbadan besar berbaju merah jambu akan
memesan sup kepiting dan bertanya-tanya khasiat jus pinang.

Aku dengar juga dendang saluang di Kasablanka
duduk di kedai kopi, di ketinggian plaza, entah lantai berapa

Aku pegang tepi kain bajuku dan terus mengutuk sebatang 
pohon kerambil buatan yang dibenam dalam tanah

Jakarta, 2015

Analisis Puisi:

Puisi "Di Kasablanka" karya Esha Tegar Putra adalah representasi tajam, ironis, dan reflektif tentang benturan antara budaya tradisional dan dunia modern. Dengan gaya yang kaya imaji dan kritik sosial yang halus namun menggigit, penyair menghadirkan suasana urban yang absurd melalui perpaduan antara tradisi Minangkabau dan realitas konsumtif metropolitan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah konflik antara budaya tradisional dan gaya hidup modern, serta kegelisahan eksistensial yang timbul dari pergeseran nilai. Puisi ini menyoroti bagaimana simbol-simbol tradisi dibawa ke ruang modern namun kehilangan makna aslinya, dan bagaimana identitas menjadi kabur dalam ruang-ruang konsumtif seperti pusat perbelanjaan.

Puisi ini bercerita tentang pengalaman sang aku liris yang berada di Kasablanka—kemungkinan merujuk pada sebuah pusat perbelanjaan modern—dan merasakan kerinduan atau keterasingan budaya. Ia mendengar dendang saluang (alat musik tradisional Minang) yang bercerita tentang kehidupan sederhana dan kebutuhan dasar yang sulit dijangkau (garam dan asam), lalu membandingkannya dengan pemandangan absurd dan penuh kontras di kota: gadis-gadis yang memoles diri secara artifisial, kaum alim dengan kitab di tangan, dan lelaki berpenampilan flamboyan yang memesan makanan mewah sambil membicarakan khasiat jus.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah sindiran terhadap hilangnya esensi budaya dan kegelisahan terhadap kemunafikan modernitas. Penyair mengkritik bagaimana kehidupan urban telah menjadi ruang pamer, tempat segala sesuatu disimulasikan—dari pohon kelapa plastik hingga ritual konsumsi yang kehilangan makna. Ada juga sentuhan kritik sosial terhadap religiusitas yang kehilangan substansi, serta perilaku konsumtif yang berlebihan dan dangkal.

Unsur Puisi

Unsur-unsur puisi yang menonjol dalam karya ini antara lain:
  • Diksi: Pilihan kata seperti "dendang saluang", "beli garam di Pariaman", atau "jus pinang" menciptakan jalinan antara budaya lokal dan ruang modern.
  • Struktur: Puisi ini disusun dengan alur naratif bebas, tanpa keterikatan pada bait konvensional.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah kontras, ironis, dan absurd. Di satu sisi ada nostalgia terhadap budaya yang “jujur dan sederhana”, di sisi lain ada ketidakteraturan dan kekosongan makna dalam lingkungan modern yang gemerlap.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan pesan tentang pentingnya kesadaran budaya dan kritik terhadap alienasi identitas dalam dunia modern. Penyair mengingatkan bahwa hidup yang terjebak dalam simbol-simbol palsu dan konsumerisme akan membawa kehampaan, menjauhkan manusia dari nilai-nilai yang lebih mendalam.

Imaji

Puisi ini sangat kaya akan imaji visual dan simbolik, seperti:
  • “Gadis-gadis dengan dada jilab tersumbul” — menciptakan gambaran ironi tentang cara tubuh dikomodifikasi di ruang modern.
  • “Kitab tentang cara mengobat kurap bertahun” — menciptakan kontras antara citra religius dan kenyataan banal.
  • “Pohon kerambil buatan yang dibenam dalam tanah” — menjadi simbol kuat dari artifisialitas dan kehilangan akar budaya.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini meliputi:
  • Ironi: Menyandingkan dendang saluang dengan suasana mall di Kasablanka menghasilkan ironi kultural yang kuat.
  • Simbolisme: Pohon kerambil buatan melambangkan keartifisilan modernitas.
  • Repetisi: “Aku dengar juga dendang saluang…” diulang untuk menegaskan kerinduan dan kontras suasana.
  • Sarkasme halus: Melalui penggambaran tokoh-tokoh di mall, penyair menyisipkan kritik sosial secara tidak langsung.
Puisi "Di Kasablanka" merupakan karya satiris yang tajam dan reflektif, mempertemukan suara tradisi dengan kegaduhan modernitas. Dalam balutan bahasa yang puitis namun penuh sindiran, Esha Tegar Putra menyuarakan keresahan terhadap alienasi budaya dan absurditas hidup konsumtif. Ini adalah puisi yang mengajak pembaca tidak hanya merenung, tetapi juga bertanya ulang: siapa kita dalam lanskap yang terus berubah ini?

Esha Tegar Putra
Puisi: Di Kasablanka
Karya: Esha Tegar Putra

Biodata Esha Tegar Putra:
  • Esha Tegar Putra lahir pada tanggal 29 April 1985 di Saniang Baka, Kabupaten Solok, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.