Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Hidup atau Maut (Karya Zainal Arifin Thoha)

Puisi “Hidup atau Maut” karya Zainal Arifin Thoha bercerita tentang perjalanan hidup manusia yang penuh bahaya, penderitaan, dan kekosongan makna, ...
Hidup atau Maut

Perjalanan ini begitu mencengangkan
Pendakian ini begitu mengerikan
Berenang ke laut tak berpantai
Menyelam ke dasar samudera tak bertanda
Bergayut di pohon tak berdaun
Kehidupan adalah pengejaran
Dari huruf-huruf kematian
Kematian adalah mata-rantai
Yang selalu membelenggu dan mengintai
Pengembangan hanya menatah
Langkah-langkah maut yang tercecer
Sedang kerongkongan kita
Selalu dahaga akan rasa dan laba
Apa makna serta hakikat rumput-rumput kering
Dan bebatuan lebur jadi kerikil
Sedang lautan dan gunung-gunung tak pernah akrab
Dan menyapa pada langit
Bintang planit serta gugusan bimasaksi
Hanya selalu kita uji tanpa taburan maknawi
Hidup atau mautkah ini.

Analisis Puisi:

Puisi “Hidup atau Maut” karya Zainal Arifin Thoha merupakan refleksi filosofis yang dalam mengenai eksistensi manusia. Melalui metafora dan pertanyaan retoris, penyair membawa pembaca ke dalam pergulatan batin antara hidup dan kematian—dua kutub yang selalu hadir, membayangi langkah, dan menciptakan ketegangan abadi dalam perjalanan manusia.

Tema

Tema utama puisi ini adalah eksistensi dan makna kehidupan dalam bayang-bayang kematian. Penyair mempertanyakan hakikat hidup: apakah ia benar-benar bernilai atau sekadar rentetan menuju akhir? Tema ini tidak hanya filosofis, tapi juga kontemplatif dan spiritual.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kegelisahan eksistensial manusia dalam menghadapi hidup yang penuh tantangan dan kematian yang selalu mengintai. Segala upaya manusia untuk "menatah", "mengejar", atau "mengembangkan" hidup, tampak tidak terlepas dari cengkeraman kematian. Bahkan segala pencarian manusia akan “rasa dan laba” sering kali hampa makna, karena dunia hanya diukur tanpa makna spiritual atau nilai sejati.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan hidup manusia yang penuh bahaya, penderitaan, dan kekosongan makna, sementara kematian membayang di setiap langkah. Segala upaya manusia untuk bertahan dan mencari arti sering kali berujung pada kehampaan dan kebingungan akan makna sejati dari eksistensi itu sendiri.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang tercipta dalam puisi ini adalah mencekam, gelisah, dan penuh ketegangan batin. Kata-kata seperti "mengerikan", "membelenggu", dan "tanpa taburan maknawi" menghidupkan nuansa pesimistik, bahkan tragis. Namun, pada saat yang sama, suasana itu juga mengajak pembaca untuk merenung secara serius.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi ini adalah bahwa manusia harus menyadari keterbatasan hidup dan mencari makna sejati di balik segala pencarian duniawi. Penyair mengingatkan bahwa hidup bukan hanya tentang pencapaian materi atau rasa, tetapi juga tentang pemahaman akan tujuan dan makna spiritual. Tanpa itu, hidup bisa menjadi tidak lebih dari perjalanan menuju maut.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji ekstrem dan metaforis yang menggambarkan kegelisahan eksistensial:
  • "Berenang ke laut tak berpantai" dan "menyelam ke dasar samudera tak bertanda" menciptakan gambaran kesesatan dan kebingungan.
  • "Bergayut di pohon tak berdaun" menghadirkan visual ketidakpastian dan harapan yang nyaris nihil.
  • "Kerongkongan kita selalu dahaga akan rasa dan laba" menampilkan imaji manusia yang selalu haus akan kenikmatan duniawi, namun tak pernah puas.
  • "Gunung-gunung tak pernah akrab dan menyapa pada langit" menyiratkan jarak antara dunia nyata dan dunia spiritual yang tak pernah bersentuhan.

Majas

Beberapa majas menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora: Hampir setiap baris menggunakan metafora. Misalnya, "huruf-huruf kematian", "langkah-langkah maut yang tercecer", dan "kerongkongan dahaga akan laba" adalah perumpamaan yang menggambarkan hidup sebagai sesuatu yang rumit, mengarah pada kematian, dan diliputi hasrat duniawi.
  • Personifikasi: "kematian adalah mata-rantai yang membelenggu dan mengintai" mempersonifikasikan kematian sebagai entitas yang aktif dan jahat.
  • Pertanyaan retoris: "Hidup atau mautkah ini?" menutup puisi dengan mempertanyakan realitas dan membiarkan pembaca mencari jawabannya sendiri.
Puisi “Hidup atau Maut” karya Zainal Arifin Thoha bukan sekadar rangkaian kata-kata puitis, melainkan sebuah perenungan mendalam tentang arti hidup. Puisi ini mengajak kita bertanya: apakah hidup benar-benar hidup, atau hanya ilusi sebelum maut? Dengan bahasa metaforis dan suasana yang menggetarkan, penyair menyuguhkan pertanyaan paling hakiki yang bisa ditanyakan manusia tentang eksistensinya sendiri. Jawabannya tidak selalu ada di akhir puisi, tetapi di dalam perenungan tiap pembaca.

Zainal Arifin Thoha
Puisi: Hidup atau Maut
Karya: Zainal Arifin Thoha

Biodata Zainal Arifin Thoha:
  • KH. Zainal Arifin Thoha lahir di Kediri, pada tanggal 5 Agustus 1972.
  • KH. Zainal Arifin Thoha meninggal dunia pada 14 Maret 2007.
© Sepenuhnya. All rights reserved.