Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Ibu (Karya Ayatrohaedi)

Puisi “Ibu” karya Ayatrohaedi bercerita tentang rasa rindu dan hormat seorang anak terhadap ibunya, yang disandingkan dengan renungan akan makna ...
Ibu

teduh tanjung wangi jadi pusat rindu
teduh ibu perbawa pantang menundung
jika di dunia cumalah ibu dan bapa
akan bisa kukuasai seluruh jagat raya

tapi ibu sebelum aku pergi memperingati
jika hidup cuma melepas nafsu sendiri
akhirnya lupa pada ibunda
menyesal menunggu balik ke asal
menyesallah yang jadi cucuku tunggal

1959

Analisis Puisi:

Puisi “Ibu” karya Ayatrohaedi adalah karya pendek yang padat makna, menggugah batin dengan suara yang bersahaja namun menyimpan kedalaman spiritual dan moral. Disusun dalam dua bait: bait pertama terdiri dari 4 baris, dan bait kedua dari 5 baris. Dalam komposisi yang ringkas ini, penyair menghadirkan puisi yang tak sekadar memuji sosok ibu, tetapi juga menyelipkan peringatan tentang pentingnya kesadaran, pengendalian diri, dan akar kehidupan yang tak boleh dilupakan.

Puisi ini bercerita tentang rasa rindu dan hormat seorang anak terhadap ibunya, yang disandingkan dengan renungan akan makna hidup. Tokoh lirik dalam puisi ini mengenang ibunya sebagai pusat keteduhan dan kekuatan, namun sekaligus menyuarakan peringatan agar manusia tidak terjebak dalam nafsu duniawi dan melupakan asal usul, terutama ibu sebagai simbol dari asal kehidupan.

Tema

Tema utama dari puisi ini adalah penghormatan dan kerinduan terhadap sosok ibu, yang disertai dengan renungan filosofis tentang asal, tujuan hidup, dan kesadaran moral.

Subtema yang muncul antara lain:
  • Pentingnya menjaga akar dan menghormati orang tua
  • Hidup sebagai perjalanan batin, bukan sekadar pemuasan nafsu
  • Penyesalan sebagai akibat lupa pada nilai-nilai dasar kehidupan

Makna Tersirat

Secara makna tersirat, puisi ini memuat pesan mendalam yang melampaui hubungan anak dan ibu secara biologis. Beberapa makna tersirat yang bisa diungkap:
  • Ibu adalah simbol asal mula kehidupan, tempat segala rindu dan kebenaran batin bermuara. Ketika hidup menjauh dari nilai-nilai ini, penyesalan tak terhindarkan.
  • Peringatan moral dan spiritual: hidup yang hanya mengikuti hawa nafsu akan mengarah pada kekosongan makna dan keterasingan dari jati diri. Penyair mengisyaratkan bahwa melupakan ibu—baik secara harfiah maupun simbolik—berarti melupakan akar kemanusiaan kita.
  • Ada juga dimensi sufistik atau kearifan lokal, di mana "ibu" bisa dimaknai sebagai lambang dari bumi, tanah leluhur, atau bahkan Tuhan sebagai sumber kasih tak bertepi.

Unsur Puisi

Unsur-unsur puisi yang menonjol antara lain:
  • Diksi yang padat dan sarat simbol: kata seperti “teduh,” “perbawa,” “jagat raya,” “nafsu,” dipilih dengan cermat untuk membangun makna yang berlapis.
  • Struktur dua bait yang berfungsi sebagai pembuka (pujian dan kekuatan ibu) dan penutup (peringatan dan penyesalan).
  • Nada reflektif dan kontemplatif, memperkuat kesan bahwa ini bukan puisi sentimental semata, tetapi juga renungan spiritual.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini cenderung hening, kontemplatif, dan menyimpan rasa rindu serta penyesalan yang dalam. Ada semacam ketenangan pada bait pertama, namun di bait kedua suasana berubah menjadi peringatan dan bayang-bayang penyesalan yang datang di akhir perjalanan hidup.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan beberapa amanat penting, antara lain:
  • Jangan lupakan asal-usul dan orang tua, terutama ibu, karena dari sanalah kehidupan dimulai.
  • Hidup bukan semata soal memenuhi nafsu pribadi, melainkan soal kesadaran akan nilai dan makna.
  • Penyesalan sering datang terlambat, terutama ketika kita sudah jauh dari nilai-nilai yang seharusnya dijaga sejak awal.

Imaji

Meski singkat, puisi ini mengandung imaji kuat:

Visual:
  • “teduh tanjung wangi” — menggambarkan suasana damai, tempat yang menjadi pusat rindu.
  • “perbawa pantang menundung” — menghadirkan sosok ibu yang kokoh dan melindungi.
Emosional:
  • “akan bisa kukuasai seluruh jagat raya” — menciptakan imajinasi bahwa dengan dukungan orang tua, dunia terasa tak terbatas.
  • “menyesal menunggu balik ke asal” — membangkitkan rasa duka atas sesuatu yang telah terlambat diperbaiki.

Majas

Puisi ini menggunakan beberapa majas khas puisi modern Indonesia:

Metafora:
  • “ibu perbawa pantang menundung” — menggambarkan ibu sebagai figur tangguh, pelindung batin.
  • “seluruh jagat raya” — bukan dunia literal, tetapi gambaran keberdayaan ketika seseorang memiliki fondasi kuat dari keluarga.
Hiperbola:
  • “kukuasai seluruh jagat raya” — melebihkan untuk menegaskan kekuatan spiritual dan moral yang berasal dari dukungan ibu dan ayah.
Personifikasi:
  • “menyesal menunggu balik ke asal” — menggambarkan penyesalan seolah makhluk yang menunggu, penuh kesabaran namun tak terhindarkan.
Puisi “Ibu” karya Ayatrohaedi adalah karya yang sederhana secara bentuk, namun padat secara makna. Ia bukan hanya sekadar puisi tentang kerinduan kepada ibu, tetapi juga refleksi mendalam tentang pentingnya menjaga nilai hidup, akar budaya, dan kesadaran spiritual.

Lewat gaya bahasanya yang khas dan simbolik, puisi ini berbicara pada kedalaman hati pembaca—menggugah kesadaran untuk tidak meninggalkan ibu, baik sebagai sosok maupun sebagai simbol nilai luhur kehidupan. Di balik kata-kata yang singkat dan bersahaja, puisi ini menyimpan pukulan emosional dan spiritual yang sangat kuat.

Ayatrohaedi
Puisi: Ibu
Karya: Ayatrohaedi
© Sepenuhnya. All rights reserved.