Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sakelore Kali Lusi (Karya Suripan Sadi Hutomo)

Puisi “Sakelore Kali Lusi” karya Suripan Sadi Hutomo bercerita tentang seseorang—kemungkinan seorang ayah atau figur tua—yang berbicara kepada ...
Sakelore Kali Lusi

sakelore kali lusi
ngedhangkrang wit randhu lan mahoni
atikah! atikah!
apa kowe wis tega ninggal tegal lan sawah
nyambut gawe ing negara mekah?

suket pancen wis padha garing
watu-watu wis padha gemlindhing
o, atikah, anakku
tak eklasne kowe ngrakit lagu
panguripan kang kebak madu

sakelore kali lusi
wis ora ana maneh sing ditanduri
sakelore kali lusi
alas jati mung arane kang peni
dudu darbeke si bibi
apa maneh kang arep dirungkebi
yen tlatah wutah getih ra nduweni yoni?

Jayabaya, 1996

Sumber:  Antologi Puisi Jawa Modern Jawa Timur 1981-2008 (2011)

Analisis Puisi:

Puisi “Sakelore Kali Lusi” karya Suripan Sadi Hutomo merupakan puisi lirikal yang sarat akan kesedihan, kerinduan, sekaligus sindiran terhadap perubahan sosial dan budaya yang terjadi di tanah Jawa. Seperti puisi-puisi Suripan lainnya, karya ini memadukan kepekaan batin dengan kesadaran sejarah dan kritik sosial yang dalam.

Tema

Tema utama dari puisi ini adalah perubahan sosial dan kehilangan identitas kultural akibat migrasi dan modernisasi. Lewat sosok “Atikah”, penyair memperlihatkan bagaimana kehidupan agraris dan keterikatan dengan tanah leluhur tergeser oleh kebutuhan ekonomi dan pergeseran nilai.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kerinduan dan kekecewaan terhadap tanah kelahiran yang kehilangan makna sakral dan spiritualnya. Kali Lusi, yang dulunya mungkin sakral dan subur, kini tinggal nama. Lahan-lahan tidak lagi ditanami, dan hutan jati hanya tinggal kenangan (“alas jati mung arane kang peni”).

Selain itu, keberangkatan Atikah bekerja ke luar negeri (“nyambut gawe ing negara Mekkah”) menyiratkan situasi sosial ekonomi yang memaksa seseorang meninggalkan kampung halaman, bahkan ketika hati belum sepenuhnya rela. Ini menggambarkan realitas banyak perempuan Jawa yang menjadi pekerja migran, meninggalkan tradisi dan keluarga demi nafkah.

Puisi ini bercerita tentang seseorang—kemungkinan seorang ayah atau figur tua—yang berbicara kepada Atikah, anak atau kerabatnya yang telah meninggalkan desa untuk bekerja di negeri orang (Mekkah). Sementara itu, alam di sekeliling mereka (sungai Lusi, sawah, tegal, hutan jati) mengalami degradasi dan keterlantaran. Di tengah ketidakhadiran Atikah, tanah itu kehilangan sentuhannya, seakan tak memiliki roh lagi.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah sendu, kehilangan, dan hampa. Kata-kata seperti “suket wis padha garing”, “wis ora ana maneh sing ditanduri”, dan “alas jati mung arane kang peni” menciptakan suasana kehampaan dan kerusakan, yang disertai kerinduan mendalam dari tokoh liris.

Imaji

Puisi ini menyuguhkan imaji visual dan emosional yang kuat:
  • “ngedhangkrang wit randhu lan mahoni” — menciptakan bayangan pohon tua yang sepi.
  • “suket garing”, “watu-watu gemlindhing” — menggambarkan tanah kering dan tak subur.
  • “ngrakit lagu panguripan kang kebak madu” — imaji harapan akan kehidupan yang lebih baik.
Imaji ini memperkuat kontras antara tanah kelahiran yang ditinggalkan dan kehidupan baru yang diharapkan lebih manis, namun terasa getir dari sudut pandang yang ditinggalkan.

Majas

Beberapa majas yang tampak dalam puisi ini antara lain:
  • Apostrof: pemanggilan langsung kepada Atikah, meski ia tidak hadir secara fisik.
  • Metafora: “ngrakit lagu panguripan kang kebak madu” — kehidupan yang dirangkai seperti lagu manis.
  • Ironi: Hutan jati yang dulunya megah kini hanya tinggal nama (“mung arane kang peni”), menyiratkan kehilangan nilai atau warisan budaya.
  • Personifikasi: Tanah yang “ora nduweni yoni” — seolah-olah tanah tidak memiliki daya hidup atau roh spiritual.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan dari puisi ini adalah peringatan tentang kehilangan jati diri budaya dan spiritualitas tanah air akibat pergeseran ekonomi dan sosial. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan: apakah pembangunan dan migrasi yang dikejar-kejar itu sepadan dengan kehilangan akar budaya, kehampaan tanah leluhur, dan kehancuran alam?

Puisi “Sakelore Kali Lusi” bukan sekadar elegi untuk sebuah sungai atau tempat, melainkan ratapan untuk nilai-nilai yang terlupakan. Suripan Sadi Hutomo, melalui sosok Atikah dan lanskap yang ditinggalkan, menggambarkan betapa mahalnya harga sebuah “kepergian”—baik secara fisik maupun maknawi. Puisi ini menjadi cermin bagi masyarakat yang terjebak antara ikatan tradisi dan tekanan zaman.

Puisi Sakelore Kali Lusi
Puisi: Sakelore Kali Lusi
Karya: Suripan Sadi Hutomo

Biodata Suripan Sadi Hutomo:
  • Suripan Sadi Hutomo lahir pada tanggal 5 Februari 1940 di Ngawen, Blora.
  • Suripan Sadi Hutomo meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 2001 di Surabaya.
© Sepenuhnya. All rights reserved.