Serat Roso
Serat roso manggon ing jiwo
Saben wengi kudanan naliko ing tumibo
Sekar tandur wis kelelep soko udan woyo wengi lan sumerepe sengenge
Wis wulan rakaton neng mripate
Aweh-aweh podo sare
Becik ngesuk tak tilikno sawahe
Eh, bolo lan sedulur elingno iki wis dadi cobaane
Lan sing sabar lan akeh syukure
Brebes, 23 Mei 2025
Analisis Puisi:
Puisi berjudul “Serat Roso” karya Kang Thohir adalah puisi kontemplatif yang menggambarkan perasaan batin seseorang di tengah cobaan hidup. Dalam kepadatan citra dan bahasa metaforisnya, puisi ini berbicara tentang pergulatan jiwa, keteguhan hati, dan ajakan untuk tidak lupa bersyukur dalam kondisi apa pun.
Tema
Tema utama puisi ini adalah keteguhan hati menghadapi cobaan hidup. Melalui suasana hujan yang turun di malam hari dan ladang yang tergenang, penyair menggambarkan situasi yang sulit, namun tetap dihadapi dengan rasa syukur dan kesabaran.
Makna Tersirat
Puisi ini secara tersirat menyampaikan bahwa dalam setiap ujian hidup, ada ruang bagi perenungan dan pertumbuhan batin. “Serat roso manggon ing jiwo” menunjukkan bahwa rasa (perasaan, intuisi, kepekaan spiritual) menjadi bagian terdalam manusia yang memandu dalam menghadapi berbagai kesulitan.
Situasi “kudanan naliko ing tumibo” (kehujanan saat terjadi sesuatu) bisa dimaknai sebagai simbol dari beban hidup atau cobaan yang datang tiba-tiba, membasahi dan menenggelamkan harapan—namun pada akhirnya, harus dihadapi dengan kebijaksanaan.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang mengalami kesulitan, terutama akibat bencana atau ujian hidup, dan mencoba merenungi makna dari semua itu. Ia berbicara kepada saudara dan sesama (“bolo lan sedulur”) agar ingat bahwa ini semua adalah ujian, dan harus dilalui dengan sabar dan penuh rasa syukur.
Ada juga niatan untuk tetap menjaga harapan dan tanggung jawab, misalnya melalui kalimat “Becik ngesuk tak tilikno sawahe”—yang mengisyaratkan niat untuk melihat ladang esok hari, sebagai bentuk keberlanjutan dan semangat meski diterpa cobaan.
Suasana dalam Puisi
Suasana yang terasa dalam puisi ini adalah sunyi, kontemplatif, dan penuh keprihatinan, namun tidak putus asa. Hujan malam hari, ladang yang terendam, dan bayangan bulan di mata menunjukkan kondisi alam dan jiwa yang murung, namun tetap menyimpan ketenangan batin dan harapan.
Imaji
Puisi ini dipenuhi imaji alam dan batin:
- “kudanan naliko ing tumibo” — menggambarkan seseorang yang basah kuyup dalam cobaan.
- “Sekar tandur wis kelelep” — tanaman (harapan atau usaha) yang tenggelam, menjadi metafora dari cita-cita yang gagal atau terganggu.
- “Wis wulan rakaton neng mripate” — bulan yang merefleksi di mata, memberi imaji keindahan, ketenangan, atau air mata.
Imaji ini menghidupkan perasaan kehilangan, sekaligus mengandung unsur spiritual.
Majas
Puisi ini mengandung berbagai majas:
- Metafora: “serat roso manggon ing jiwo” — perasaan yang tertulis di dalam jiwa, bukan huruf dalam arti harfiah, tetapi pengalaman batin yang mendalam.
- Personifikasi: “sekaring tandur wis kelelep” — tanaman digambarkan sebagai harapan yang tenggelam.
- Simbolisme: hujan, malam, bulan, dan ladang adalah simbol dari ujian, kesunyian, harapan, dan kehidupan itu sendiri.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan moral dari puisi ini adalah agar manusia bersikap sabar, eling (ingat), dan bersyukur ketika menghadapi cobaan, karena semua itu adalah bagian dari ujian hidup. Penyair juga menekankan pentingnya kesadaran batin (roso) sebagai kekuatan utama dalam menjalani kehidupan yang penuh dinamika dan ketidakpastian.
Puisi “Serat Roso” adalah puisi yang menyuarakan batin manusia di tengah badai kehidupan. Kang Thohir tidak hanya menulis tentang perasaan, tetapi juga menggugah kesadaran kolektif untuk tetap tabah dan bijak menghadapi realitas. Dalam suasana hujan malam dan ladang yang terendam, puisi ini mengalir seperti doa lirih: agar kita tetap sabar, tetap eling, dan tidak lupa bersyukur.
Karya: Kang Thohir
Biodata Kang Thohir:
- Kang Thohir, merupakan nama pena dari Muhammad Thohir/Tahir (biasa disapa Mas Tair), lahir di Brebes, Jawa Tengah.
- Kang Thohir suka menulis sejak duduk di bangku kelas empat SD sampai masuk ke Pondok Pesantren. Ia menulis puisi, cerpen dan lain sebagainya.
