Wis Wayahe Sakiki
wis wayahe sakiki
nandur kedhele ing ngisor topi
tangan kang dhampyak-dhampyak ngetung driji
kabulet krikile kali
ana rupa tanpa swara
ana swara tanpa rupa
ginurit tembang kuna
tembange lalijiwa
wis wayahe sakiki
nandur suket teki lan palawija
ing gisike asunya ruri
ing manike birune telaga
dom sumurup ing banyu
iki mono dudu truwelu
Jaya Baya, 1994
Sumber: Antologi Puisi Jawa Modern Jawa Timur 1981-2008 (2011)
Analisis Puisi:
Puisi berbahasa Jawa berjudul "Wis Wayahe Sakiki" karya Suripan Sadi Hutomo merupakan karya yang penuh dengan simbolisme dan daya puitik tinggi. Melalui larik-larik pendek dan padat, penyair menghadirkan dunia batin serta gambaran kehidupan yang menggugah rasa.
Tema
Tema utama dari puisi ini adalah perjalanan batin dan refleksi atas perubahan zaman. Puisi ini memuat perenungan tentang waktu (“wis wayahe sakiki” berarti “sudah waktunya sekarang”), yang menjadi panggilan bagi manusia untuk bertindak, menanam nilai, atau melakukan refleksi terhadap kehidupan dan alam sekitar.
Makna Tersirat
Secara tersirat, puisi ini menyuarakan pergeseran nilai, kekosongan makna, dan kebutuhan akan kesadaran spiritual atau budaya. Ungkapan seperti "ana rupa tanpa swara, ana swara tanpa rupa" menggambarkan suatu kondisi kehilangan makna: sesuatu terlihat, tapi tidak terdengar (tidak bermakna); terdengar, tapi tak tampak (tak berwujud). Ini dapat ditafsirkan sebagai metafora tentang dunia modern yang mengalami kekosongan jiwa atau identitas budaya.
Puisi ini bercerita tentang sebuah momen penting dalam kehidupan, yang dilukiskan melalui metafora kegiatan bertani seperti “nandur kedhele” (menanam kedelai) atau “nandur suket teki lan palawija” (menanam rumput teki dan palawija). Namun kegiatan ini bukan sekadar kegiatan agraris, melainkan simbol dari menanam harapan, nilai, atau bahkan perjuangan, di tengah situasi yang tidak pasti atau sarat teka-teki.
Imaji
Banyak imaji visual yang kuat dalam puisi ini, misalnya:
- “nandur kedhele ing ngisor topi” (menanam kedelai di bawah topi) — membentuk gambaran petani yang sedang bekerja di bawah terik matahari.
- “birune telaga” dan “krikile kali” — memberi warna dan suasana alam yang tenang, sekaligus misterius.
Imaji ini tidak hanya membentuk lanskap fisik, tapi juga menjadi metafora spiritual dan eksistensial.
Majas
Beberapa majas yang dapat ditemukan dalam puisi ini antara lain:
- Metafora: “ana rupa tanpa swara” dan “ana swara tanpa rupa” adalah metafora tentang absurditas atau kekosongan makna.
- Personifikasi: “tangan kang dhampyak-dhampyak ngetung driji” (tangan yang bertepuk-tepuk menghitung jari) memberi citra tangan sebagai subjek yang hidup dan berpikir.
- Simbolisme: “tembang kuna”, “tembange lalijiwa”, dan “birune telaga” adalah simbol dari tradisi, kelupaan, dan kedalaman makna.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan pesan bahwa waktu untuk bertindak adalah sekarang, baik dalam hal budaya, spiritualitas, maupun kesadaran sosial. Dalam dunia yang kehilangan arah dan makna, penyair seolah mengajak pembaca untuk “menanam” — yaitu membangun kembali nilai-nilai luhur, meski dunia tampak penuh paradoks.
Puisi "Wis Wayahe Sakiki" bukanlah puisi yang mudah dicerna secara harfiah. Namun justru dalam kepekatan imaji dan kiasan-kiasannya, tersimpan kedalaman makna tentang waktu, kehidupan, dan nilai-nilai budaya. Suripan Sadi Hutomo menghadirkan puisi ini sebagai semacam panggilan sunyi — untuk merenung, untuk sadar, dan untuk bertindak di tengah derasnya arus perubahan zaman.
Karya: Suripan Sadi Hutomo
Biodata Suripan Sadi Hutomo:
- Suripan Sadi Hutomo lahir pada tanggal 5 Februari 1940 di Ngawen, Blora.
- Suripan Sadi Hutomo meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 2001 di Surabaya.