Analisis Puisi:
Puisi "11 Juli" karya Oka Rusmini adalah sebuah karya yang begitu kuat dan menyayat. Dengan gaya puitis yang khas dan penuh keberanian, puisi ini tidak hanya menggambarkan sosok ibu dalam makna biologis, tetapi juga mengeksplorasi trauma, kehilangan, dan identitas perempuan yang kompleks. Melalui narasi liris yang menyentuh, Oka Rusmini membawa pembaca pada pengalaman eksistensial seorang perempuan yang ditinggalkan ibunya, lalu membangun persepsi baru tentang perempuan, tubuh, dan makna menjadi ibu itu sendiri.
Tema
Puisi ini mengusung tema tentang kehilangan ibu, trauma masa kecil, dan pencarian identitas perempuan. Namun, lebih dari itu, puisi ini juga mengangkat tema kegelisahan eksistensial, seksualitas, dan pemberontakan terhadap struktur patriarkis. Lewat metafora dan simbol, penyair menggambarkan bagaimana pengalaman ditinggalkan seorang ibu memengaruhi cara tokoh “aku” memandang tubuh, cinta, dan makna menjadi perempuan.
Puisi ini bercerita tentang seorang anak perempuan yang sejak kecil kehilangan sosok ibunya secara misterius—“seorang lelaki telah mencurinya”—dan bagaimana peristiwa itu meninggalkan luka psikis yang mendalam. Trauma itu membentuk dunia batinnya, menjadikannya sosok yang gelisah, penuh tanya, dan haus akan pengakuan serta kasih sayang yang tak pernah ia dapatkan.
Puisi ini menggambarkan upaya tokoh “aku” untuk memahami dan menjawab pertanyaan mendasar: “Seperti apa rasanya menjadi ibu?”—pertanyaan yang terus berulang dalam puisi sebagai bentuk perenungan dan pencarian. Ia mencoba berbagai cara untuk menjawabnya, dari khayalan masa kecil, pemberontakan melalui sensualitas, hingga penciptaan sosok laki-laki ideal secara simbolik.
Makna Tersirat
Secara makna tersirat, puisi ini menyiratkan bahwa menjadi ibu bukan sekadar fungsi biologis, tapi adalah proses spiritual dan emosional yang kompleks. Tokoh dalam puisi ingin menjadi ibu bukan karena naluri, tetapi karena luka, kekosongan, dan pencarian eksistensi. Ia ingin menjadi Gandari yang memuntahkan seratus anak, ingin menjadi Drupadi yang tidur dengan lima lelaki—semua simbol dari kebutuhan akan kendali, kuasa, dan pemenuhan emosi yang lama diabaikan.
Puisi ini juga menyiratkan bahwa pengalaman trauma masa kecil bisa membentuk cara pandang seseorang terhadap cinta, seksualitas, dan relasi dengan tubuhnya sendiri. Ada semacam ketegangan antara keinginan untuk mencintai dan kebutuhan untuk bertahan dari luka yang belum sembuh.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini penuh dengan kesedihan, kecemasan, dan amarah yang membara namun sunyi. Ada perasaan duka yang mendalam, namun bukan duka yang sentimental—melainkan duka yang kompleks, marah, dan penuh gejolak. Kesedihan hadir dalam bentuk pertanyaan yang tak terjawab dan kenangan masa kecil yang menghantui. Ada juga suasana mistik yang terasa dalam bagian tokoh “aku” membetulkan wajah seorang lelaki dengan asap menyan dan mantra—simbol dari harapan akan keselamatan atau penciptaan dunia baru.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan pesan tentang pentingnya peran seorang ibu, tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional dan spiritual. Ketika peran itu hilang atau dikhianati, seseorang bisa mengalami kehancuran identitas. Namun, puisi ini juga membawa pesan pemberdayaan: bahwa perempuan berhak membangun makna baru tentang dirinya sendiri, tubuhnya, dan peran keibuannya, meski dari puing-puing luka yang pernah ditinggalkan masa lalu.
Imaji
Oka Rusmini menggunakan imaji yang sangat kuat, tajam, dan visceral (berhubungan dengan indera tubuh):
- "Anak-anak meletus dari seluruh lubang pori-poriku" → imaji biologis yang fantastis, menggambarkan obsesi akan kehadiran dan penciptaan.
- "Boneka perempuan yang terus menangis" → menciptakan suasana pedih dan sunyi dari kesedihan masa kecil.
- "Langit tak lagi kulihat biru. Semua lelaki kutemukan di jalan tanpa kepala, tanpa hati, tanpa jantung." → imaji yang mengguncang dan menggambarkan ketidakpercayaan terhadap laki-laki.
- "Otakku sering kali kering dan menyusut jadi serpihan luka penuh nanah" → metafora luka batin yang menjadi penyakit mental dan spiritual.
Imaji dalam puisi ini terasa liar namun terarah, memberi gambaran konkret dari kondisi psikis yang tertekan dan tidak stabil, namun juga penuh pencarian makna.
Majas
Puisi ini banyak menggunakan majas metafora dan repetisi yang memperkuat struktur emosionalnya:
Metafora:
- "Seorang lelaki telah mencurinya [ibu]" → menggambarkan kehilangan yang tidak hanya fisik tetapi juga emosional, dalam bentuk pengkhianatan dan perampasan.
- "Aku ingin jadi ibu, seperti Gandari yang memuntahkan seratus anak" → mitologis sekaligus simbolik tentang penciptaan, kekuasaan, dan mungkin trauma keibuan.
- "Otakku... jadi serpihan luka penuh nanah" → gambaran ekstrem dari trauma dan tekanan mental.
Repetisi:
- Kalimat "Seperti apa rasanya menjadi ibu?" diulang beberapa kali dalam puisi sebagai semacam mantra atau perenungan, menandakan obsesi, kehilangan, dan pertanyaan eksistensial yang tak kunjung terjawab.
Hiperbola:
- "Langit tak lagi kulihat biru" dan "aku tetap ingin jadi Drupadi menidurkan lima lelaki" digunakan untuk menekankan intensitas emosi dan keinginan tokoh.
Puisi "11 Juli" karya Oka Rusmini adalah puisi eksploratif dan eksistensial, yang menggali luka perempuan, kerinduan akan kehadiran ibu, dan pencarian identitas dalam dunia yang penuh ambiguitas gender dan relasi kekuasaan. Dalam gaya puitis yang tajam dan simbolik, puisi ini mengajak pembaca untuk memahami bahwa luka masa kecil bisa membentuk cara kita mencintai, beriman, bahkan memahami tubuh sendiri. Lewat pertanyaan “seperti apa rasanya menjadi ibu?”, puisi ini menantang kita merenungi relasi terdalam antara trauma, kasih, dan pencarian makna hidup.
Jika Anda seorang pembaca sastra atau penyuka puisi yang penuh lapisan makna, Puisi "11 Juli" adalah karya yang layak untuk direnungkan berkali-kali.
Biodata Oka Rusmini:
- Oka Rusmini lahir di Jakarta pada tanggal 11 Juli 1967.
