Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: 11 Juli (Karya Oka Rusmini)

Puisi "11 Juli" karya Oka Rusmini bercerita tentang seorang anak perempuan yang sejak kecil kehilangan sosok ibunya secara misterius—“seorang ...
11 Juli

Seperti apa rasanya menjadi ibu?

Sering kali ketika kanak-kanak, kuhidupkan beragam daun dan bunga rumput di atas kepala, "Aku ingin jadi ibu, seperti Gandari yang memuntahkan seratus anak." Kutelan gulali, gundu, dan kuisap rujak pentil buah nangka. Kubayangkan anak-anak meletus dari seluruh lubang pori-poriku, menyelimuti tubuhku, menarik rambut, menyentuh bunga-bunga yang bermekaran di atas kepalaku.

Suatu petang. Langit muram, ibuku tak kutemukan di kamar tidur. Seorang lelaki telah mencurinya. Dia tinggalkan sebuah boneka perempuan yang terus menangis, tangisnya menguliti seluruh isi telingaku. Juga melemahkan kaki kecilku. Aku tak bisa berjalan. Lelaki dari mana yang telah datang mengendus ibuku? Di mana mereka bersembunyi? Boneka perempuanku terus menangis. Berpuluh-puluh jam tidak bisa mengeringkan cuaca buruk di hatiku. Lelaki dari mana yang telah merampas ibuku dari kamar tidurku?

Seperti apa rasanya menjadi ibu?

Langit tak lagi kulihat biru. Semua lelaki kutemukan di jalan tanpa kepala, tanpa hati, tanpa jantung. Aku mulai belajar mengeja huruf, berteman dan bersenggama dengannya. Setiap malam kuhidupkan ia di atas meja. Kami menari, kami berpesta.

Aku suka menjadi penari joged. Tubuhnya yang ranum membuatku ingin jadi Drupadi, memiliki lima lelaki yang kutiduri setiap malam. Mereguk setiap leleh cairan mereka untuk kecantikan, kehidupan, kepuasan, dan doaku pada hidup.

Seperti apa rasanya menjadi ibu?

Orang-orang mengirim bunga. Menangis di sebuah TV, mereka khusuk mengenang ibu mereka. Seperti apa wajah ibuku? Aku mencangkuli otakku. Mengupas hatiku, membelah jantung. Tak kutemukan derak rindu membungkam tubuh dan otakku. Ke mana ibuku?

Seorang lelaki kutemukan di jalan. Wajahnya kusam dan penuh lendir. Aku menata matanya, membetulkan letak hidungnya. Mengunting telinga. Memangkas rambutnya yang tebal. Kubetulkan juga letak alisnya yang menyatu. Kurajah tangannya yang kasar dengan mantra dan bunga. Kutiupkan asap menyan, dan remah batu di ubun-ubunnya.

Seperti apa rasanya menjadi ibu?

Aku menjelma si pencemas penyakitan, dirubung teror yang terus basah. Darahku selalu mendidih. Otakku sering kali kering dan menyusut jadi serpihan luka penuh nanah, rasa takut itu terus memburuku. Aku mulai merasakan kehilangan, aku juga sering lupa mimpiku, tubuhku, bahkan kepingan-kepingan keinginanku yang kukubur sejak seorang ibu meninggalkanku sendiri di dalam gelap, dan membiarkan rumput liar menyuapkan sarinya ke mulutku. Langit memaksaku memejamkan mata. Aku tetap ingin jadi Drupadi menidurkan lima lelaki dalam bekap tubuhku.

2005

Sumber: Pandora (2008)

Analisis Puisi:

Puisi "11 Juli" karya Oka Rusmini adalah sebuah karya yang begitu kuat dan menyayat. Dengan gaya puitis yang khas dan penuh keberanian, puisi ini tidak hanya menggambarkan sosok ibu dalam makna biologis, tetapi juga mengeksplorasi trauma, kehilangan, dan identitas perempuan yang kompleks. Melalui narasi liris yang menyentuh, Oka Rusmini membawa pembaca pada pengalaman eksistensial seorang perempuan yang ditinggalkan ibunya, lalu membangun persepsi baru tentang perempuan, tubuh, dan makna menjadi ibu itu sendiri.

Tema

Puisi ini mengusung tema tentang kehilangan ibu, trauma masa kecil, dan pencarian identitas perempuan. Namun, lebih dari itu, puisi ini juga mengangkat tema kegelisahan eksistensial, seksualitas, dan pemberontakan terhadap struktur patriarkis. Lewat metafora dan simbol, penyair menggambarkan bagaimana pengalaman ditinggalkan seorang ibu memengaruhi cara tokoh “aku” memandang tubuh, cinta, dan makna menjadi perempuan.

Puisi ini bercerita tentang seorang anak perempuan yang sejak kecil kehilangan sosok ibunya secara misterius—“seorang lelaki telah mencurinya”—dan bagaimana peristiwa itu meninggalkan luka psikis yang mendalam. Trauma itu membentuk dunia batinnya, menjadikannya sosok yang gelisah, penuh tanya, dan haus akan pengakuan serta kasih sayang yang tak pernah ia dapatkan.

Puisi ini menggambarkan upaya tokoh “aku” untuk memahami dan menjawab pertanyaan mendasar: “Seperti apa rasanya menjadi ibu?”—pertanyaan yang terus berulang dalam puisi sebagai bentuk perenungan dan pencarian. Ia mencoba berbagai cara untuk menjawabnya, dari khayalan masa kecil, pemberontakan melalui sensualitas, hingga penciptaan sosok laki-laki ideal secara simbolik.

Makna Tersirat

Secara makna tersirat, puisi ini menyiratkan bahwa menjadi ibu bukan sekadar fungsi biologis, tapi adalah proses spiritual dan emosional yang kompleks. Tokoh dalam puisi ingin menjadi ibu bukan karena naluri, tetapi karena luka, kekosongan, dan pencarian eksistensi. Ia ingin menjadi Gandari yang memuntahkan seratus anak, ingin menjadi Drupadi yang tidur dengan lima lelaki—semua simbol dari kebutuhan akan kendali, kuasa, dan pemenuhan emosi yang lama diabaikan.

Puisi ini juga menyiratkan bahwa pengalaman trauma masa kecil bisa membentuk cara pandang seseorang terhadap cinta, seksualitas, dan relasi dengan tubuhnya sendiri. Ada semacam ketegangan antara keinginan untuk mencintai dan kebutuhan untuk bertahan dari luka yang belum sembuh.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini penuh dengan kesedihan, kecemasan, dan amarah yang membara namun sunyi. Ada perasaan duka yang mendalam, namun bukan duka yang sentimental—melainkan duka yang kompleks, marah, dan penuh gejolak. Kesedihan hadir dalam bentuk pertanyaan yang tak terjawab dan kenangan masa kecil yang menghantui. Ada juga suasana mistik yang terasa dalam bagian tokoh “aku” membetulkan wajah seorang lelaki dengan asap menyan dan mantra—simbol dari harapan akan keselamatan atau penciptaan dunia baru.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan pesan tentang pentingnya peran seorang ibu, tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional dan spiritual. Ketika peran itu hilang atau dikhianati, seseorang bisa mengalami kehancuran identitas. Namun, puisi ini juga membawa pesan pemberdayaan: bahwa perempuan berhak membangun makna baru tentang dirinya sendiri, tubuhnya, dan peran keibuannya, meski dari puing-puing luka yang pernah ditinggalkan masa lalu.

Imaji

Oka Rusmini menggunakan imaji yang sangat kuat, tajam, dan visceral (berhubungan dengan indera tubuh):
  • "Anak-anak meletus dari seluruh lubang pori-poriku" → imaji biologis yang fantastis, menggambarkan obsesi akan kehadiran dan penciptaan.
  • "Boneka perempuan yang terus menangis" → menciptakan suasana pedih dan sunyi dari kesedihan masa kecil.
  • "Langit tak lagi kulihat biru. Semua lelaki kutemukan di jalan tanpa kepala, tanpa hati, tanpa jantung." → imaji yang mengguncang dan menggambarkan ketidakpercayaan terhadap laki-laki.
  • "Otakku sering kali kering dan menyusut jadi serpihan luka penuh nanah" → metafora luka batin yang menjadi penyakit mental dan spiritual.
Imaji dalam puisi ini terasa liar namun terarah, memberi gambaran konkret dari kondisi psikis yang tertekan dan tidak stabil, namun juga penuh pencarian makna.

Majas

Puisi ini banyak menggunakan majas metafora dan repetisi yang memperkuat struktur emosionalnya:

Metafora:
  • "Seorang lelaki telah mencurinya [ibu]" → menggambarkan kehilangan yang tidak hanya fisik tetapi juga emosional, dalam bentuk pengkhianatan dan perampasan.
  • "Aku ingin jadi ibu, seperti Gandari yang memuntahkan seratus anak" → mitologis sekaligus simbolik tentang penciptaan, kekuasaan, dan mungkin trauma keibuan.
  • "Otakku... jadi serpihan luka penuh nanah" → gambaran ekstrem dari trauma dan tekanan mental.
Repetisi:
  • Kalimat "Seperti apa rasanya menjadi ibu?" diulang beberapa kali dalam puisi sebagai semacam mantra atau perenungan, menandakan obsesi, kehilangan, dan pertanyaan eksistensial yang tak kunjung terjawab.
Hiperbola:
  • "Langit tak lagi kulihat biru" dan "aku tetap ingin jadi Drupadi menidurkan lima lelaki" digunakan untuk menekankan intensitas emosi dan keinginan tokoh.
Puisi "11 Juli" karya Oka Rusmini adalah puisi eksploratif dan eksistensial, yang menggali luka perempuan, kerinduan akan kehadiran ibu, dan pencarian identitas dalam dunia yang penuh ambiguitas gender dan relasi kekuasaan. Dalam gaya puitis yang tajam dan simbolik, puisi ini mengajak pembaca untuk memahami bahwa luka masa kecil bisa membentuk cara kita mencintai, beriman, bahkan memahami tubuh sendiri. Lewat pertanyaan “seperti apa rasanya menjadi ibu?”, puisi ini menantang kita merenungi relasi terdalam antara trauma, kasih, dan pencarian makna hidup.

Jika Anda seorang pembaca sastra atau penyuka puisi yang penuh lapisan makna, Puisi "11 Juli" adalah karya yang layak untuk direnungkan berkali-kali.

Oka Rusmini
Puisi: 11 Juli
Karya: Oka Rusmini

Biodata Oka Rusmini:
  • Oka Rusmini lahir di Jakarta pada tanggal 11 Juli 1967.
© Sepenuhnya. All rights reserved.