Aku Bulan
Aku bulan
Melekap di langit petang.
Dalam expres secepat ini
Aku tidak tahu
Buat apa dadaku berkembang kempis
Karena tidak bisa kupastikan
Mana yang lari:
Aku, expres, tiang tilpun atau bulan itu.
Yang kita gantung hari ini
Mungkin besok serkah
Dan kita jatuh ke atas cactus yang menjulang.
Batas mimpi dan jaga
Mengabur antara takhyul, kepercayaan dan
Pengetahuan
Analisis Puisi:
Puisi “Aku Bulan” karya Mh. Rustandi Kartakusuma merupakan karya yang menggugah pemikiran dan emosi melalui gaya kontemplatif dan reflektif. Di tengah kemajuan zaman yang melaju seperti ekspres (kereta cepat), puisi ini mengajak kita merenung: siapa sebenarnya yang bergerak? Siapa yang tinggal diam? Apakah kita memahami arah perjalanan hidup ini, ataukah kita sekadar ikut terbawa arus?
Melalui simbol bulan, kereta ekspres, dan cactus, penyair mengajak pembaca menelusuri batas antara kenyataan dan imajinasi, antara mimpi dan kesadaran, antara takhyul dan pengetahuan.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kebingungan eksistensial dalam dunia modern yang serba cepat. Puisi ini menyampaikan kegelisahan manusia yang terlempar dalam kecepatan waktu, teknologi, dan kemajuan, namun kehilangan orientasi dan makna.
Tema lain yang tersirat mencakup relativitas persepsi, pergeseran nilai, serta keraguan antara realitas dan kepercayaan.
Puisi ini bercerita tentang seseorang (aku lirik) yang mengidentifikasi dirinya sebagai bulan, menggantung di langit petang. Ia menyaksikan dan mengalami perjalanan yang begitu cepat (ekspres), hingga tak bisa lagi memastikan: apakah yang bergerak dirinya, bulan, kereta, atau bahkan tiang telepon.
Dalam kebingungan tersebut, penyair menyatakan bahwa sesuatu yang kita yakini stabil hari ini ("yang kita gantung") bisa tiba-tiba menjadi liar, tak terkendali ("serkah"), dan menjatuhkan kita ke atas cactus—tanaman berduri yang melambangkan luka atau penderitaan. Semua ini terjadi karena batas antara mimpi dan jaga menjadi kabur, tak lagi jelas dipisahkan oleh takhyul, kepercayaan, dan pengetahuan.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini mencerminkan kegelisahan manusia modern—yang hidup dalam era kecepatan dan ketidakpastian, tetapi kehilangan pijakan. Penyair menyiratkan bahwa dalam derasnya gerak teknologi dan waktu, manusia mengalami disorientasi identitas dan makna. Bahkan konsep-konsep yang selama ini dianggap kokoh—seperti logika, keyakinan, dan ilmu pengetahuan—mulai saling berbaur dan menciptakan kabut antara realitas dan ilusi.
Puisi ini juga menyiratkan keraguan terhadap kebenaran absolut, menantang pembaca untuk merenungi: apakah kita benar-benar tahu ke mana hidup membawa kita? Apakah arah dan tujuan kita masih di tangan kita?
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa melankolis, bingung, dan penuh ketidakpastian. Nada puitiknya tidak lantang, tapi reflektif dan kontemplatif, seolah pembicara dalam puisi sedang berbicara kepada dirinya sendiri di tengah kesepian atau kekosongan batin. Suasana menjadi lebih intens ketika "kita jatuh ke atas cactus", menghadirkan perasaan getir atau luka akibat kehilangan kendali atas hidup.
Imaji
Puisi ini menyajikan imaji kuat dan simbolik:
- Bulan di langit petang: memberi gambaran keheningan, kesendirian, dan jarak dari hiruk-pikuk dunia, namun sekaligus terlibat secara pasif.
- Kereta ekspres: lambang dari kecepatan dan kemajuan zaman.
- Tiang tilpun: simbol komunikasi, mungkin juga keterikatan manusia dengan sistem.
- Cactus yang menjulang: lambang bahaya tersembunyi dalam pencapaian atau kemajuan.
- Dada berkembang kempis: citra biologis yang menekankan kecemasan atau kegelisahan batin.
Imaji-imaji ini memperkuat kesan keterasingan, kekaburan arah, dan luka yang mungkin menyertai perjalanan modernitas.
Majas
Puisi ini kaya akan majas simbolik dan metafora:
Metafora:
- “Aku bulan” → menyimbolkan perenung, saksi bisu, atau makhluk yang tampak diam di tengah perubahan besar.
- “Jatuh ke atas cactus yang menjulang” → metafora dari kegagalan atau luka akibat keterbatasan kontrol di tengah kemajuan.
Personifikasi:
- “Dadaku berkembang kempis” menggambarkan kecemasan eksistensial.
Paradoks:
- “Kami jatuh ke atas cactus” → paradoks arah gerak; jatuh biasanya ke bawah, tapi di sini justru ke atas.
Ironi:
- Segala sesuatu yang kita banggakan atau bangun hari ini bisa menjadi ancaman esok hari.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini adalah peringatan akan bahayanya hidup tanpa kesadaran dan arah di tengah dunia yang terus berubah. Penyair seolah menyampaikan bahwa jika kita tidak memahami diri sendiri dan posisi kita di dunia, maka kita akan tersesat dalam kecepatan dan kegaduhan zaman modern.
Puisi ini juga mengajak kita untuk mewaspadai ilusi kemajuan. Bahwa hal-hal yang terlihat stabil dan hebat saat ini bisa sewaktu-waktu menjadi sumber luka jika kita tidak memahami batas-batas antara takhyul, kepercayaan, dan pengetahuan.
Puisi “Aku Bulan” karya Mh. Rustandi Kartakusuma adalah puisi kontemplatif tentang identitas, pergerakan, dan krisis makna dalam dunia modern. Dalam larik-larik yang pendek tapi dalam, penyair menyusun pertanyaan eksistensial yang menyentuh: siapa yang bergerak, siapa yang diam, dan apa sebenarnya yang kita yakini?
Dengan tema perenungan eksistensial, makna tersirat yang mendalam, imaji visual dan simbolik yang kuat, serta majas yang tajam namun elegan, puisi ini tidak hanya menjadi karya sastra, tapi juga undangan untuk merenung: apakah kita masih mengendalikan arah hidup kita, ataukah kita sudah menjadi bagian dari sistem yang menggelinding cepat—dan lupa siapa kita?
Karya: Mh. Rustandi Kartakusuma
Biodata Mh. Rustandi Kartakusuma:
- Mh. Rustandi Kartakusuma atau Muhammad Rustandi Kartakusuma (akrab dipanggil Uyus) lahir pada tanggal 27 April 1921 di Ciamis, Provinsi Jawa Barat.
- Mh. Rustandi Kartakusuma meninggal dunia pada hari Jumat 11 April 2008 pukul 06.15 WIB di Panti Jompo Ria Pembangunan, Cibubur.
