Aku Sebutir Pasir
Aku sebutir pasir
Di pesisir yang berlari
Dari rimba belukar ke muara yang bersuci.
Kenapa menggelepar
Hendak menghentikan jarum jam
Dan menutup kantor pos
Waktu musuh membom itu?
Kenapa menggigil dan cemas
Dan menyumpah habis-habisan
Sedang laut melebar
Sekitar titik ini?
Aku, bumi dan hidup ini
Cuma tiga butir pasir
Di pesisir yang tidak bertepi.
Analisis Puisi:
Puisi “Aku Sebutir Pasir” karya Mh. Rustandi Kartakusuma merupakan refleksi eksistensial yang menyentuh dan sarat makna. Dengan struktur soneta 4-4-3-3 yang khas, penyair menyajikan sebuah kontemplasi mendalam tentang makna hidup, keterbatasan manusia, dan absurditas amarah di tengah semesta yang luas dan terus bergerak.
Puisi ini seperti bisikan lembut tapi getir dari seorang yang sadar betapa kecil dirinya di hadapan waktu, sejarah, dan kehidupan. Namun di balik pengakuan kecil itu, terdapat juga sindiran terhadap sikap manusia yang seringkali bereaksi berlebihan terhadap hal-hal yang sejatinya berada di luar kendalinya.
Tema
Tema utama dari puisi ini adalah ketiadaan daya manusia di hadapan waktu dan semesta. Penyair menghadirkan kesadaran eksistensial bahwa manusia—betapa pun gelisah, marah, atau berkuasa—sejatinya hanyalah butir kecil di antara gerak besar alam dan sejarah. Tema tambahan yang muncul adalah kesia-siaan kemarahan, serta kerendahan hati di tengah kefanaan.
Puisi ini bercerita tentang seorang individu (aku lirik) yang memposisikan dirinya sebagai sebutir pasir—sesuatu yang kecil, ringan, dan mudah terombang-ambing di pesisir kehidupan. Dalam kegalauan, ia mempertanyakan mengapa harus panik, marah, dan menggigil ketika waktu terus berdetak dan dunia terus berubah. Bahkan ketika terjadi peristiwa besar seperti pengeboman, penyair justru mengkritik respon emosional yang seolah ingin "menghentikan jarum jam" atau "menutup kantor pos waktu"—sebuah sindiran terhadap sikap manusia yang terlalu ingin mengontrol segala hal.
Puisi ini menyiratkan bahwa dalam luasnya kehidupan dan dunia, manusia hanyalah sebagian kecil dari semesta yang tak berujung.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa kita sebagai manusia terlalu kecil untuk memikul atau memaksa dunia berhenti hanya karena kita terguncang. Dalam pusaran sejarah dan bencana, reaksi emosional yang berlebihan mungkin tidak akan mengubah apapun. Oleh sebab itu, penyair seakan menyarankan sikap menerima dan menyadari keterbatasan diri sebagai bagian kecil dari semesta yang besar.
Ada juga makna spiritual dan filosofis yang mendalam: manusia hanya sebagian kecil dari keseluruhan eksistensi, dan tidak seharusnya bertindak seolah-olah pusat dari semuanya. Ini bisa dibaca sebagai kritik terhadap ego manusia dan rasa kepemilikan berlebihan atas dunia.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi adalah sunyi, reflektif, dan sedikit getir. Tidak ada amarah yang meledak-ledak, melainkan renungan tenang yang menggugat makna reaksi manusia terhadap peristiwa besar. Suasana seperti ini mengajak pembaca untuk merenung dalam keheningan, bukan bereaksi dalam ledakan.
Unsur Puisi
Beberapa unsur puisi yang menonjol dalam karya ini antara lain:
- Diksi: Pemilihan kata seperti “menggelepar”, “menggigil”, “menyumpah”, “melebar” memberi kekuatan visual dan emosional yang kontras dengan ketenangan metafora “pasir”.
- Larik dan bait: Terdiri dari 14 baris yang dibagi ke dalam 4 bait (4-4-3-3), sesuai dengan format soneta yang cukup fleksibel secara bentuk, tetapi terjaga secara tematik dan alur perenungannya.
Imaji
Puisi ini penuh imaji simbolik dan eksistensial:
- Pasir di pesisir: melambangkan manusia yang kecil dan tak berdaya di tepi arus kehidupan dan waktu.
- Jarum jam dan kantor pos: mewakili waktu dan sejarah; dua hal yang tidak bisa dihentikan oleh keinginan atau kemarahan manusia.
- Laut melebar: mewakili dunia yang terus berkembang dan berubah, bahkan ketika individu menderita.
- Tiga butir pasir: pada akhirnya, “aku”, “bumi”, dan “hidup ini” hanyalah butiran tak berarti dalam pesisir tak bertepi—gambaran paling kuat dari kefanaan dan keterbatasan.
Majas
Beberapa majas penting dalam puisi ini:
Metafora:
- “Aku sebutir pasir” — penggambaran diri sebagai elemen kecil dari semesta.
- “Pesisir yang tidak bertepi” — simbol dari dunia atau waktu yang tiada akhir.
Personifikasi:
- “menggelepar”, “menggigil”, “menyumpah” — memperlakukan elemen waktu dan situasi sebagai makhluk hidup yang bisa disalahkan atau ditantang.
Hiperbola Tersirat:
- “hendak menghentikan jarum jam”, “menutup kantor pos waktu” — penggambaran dramatis tentang keinginan manusia yang absurd: ingin menghentikan jalannya sejarah atau realitas.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini adalah bahwa manusia perlu menyadari keterbatasannya dan belajar menerima kenyataan dengan lebih tenang. Tak semua bisa dikendalikan. Ketika bencana atau penderitaan datang, berteriak dan marah mungkin terasa wajar, tapi itu tak mengubah kenyataan.
Penyair seolah mengajak kita untuk rendah hati: bahwa hidup ini, bersama bumi dan manusia lain, adalah fragmen kecil dalam semesta. Kesadaran ini bukan untuk membuat kita putus asa, melainkan untuk mengajak kita memahami bahwa kerendahan hati adalah bentuk kebijaksanaan tertinggi.
Puisi “Aku Sebutir Pasir” karya Mh. Rustandi Kartakusuma merupakan refleksi eksistensial yang membumi dan menyentuh. Dengan tema keterbatasan manusia di hadapan semesta, serta makna tersirat tentang ego dan penerimaan, puisi ini mengajak kita untuk berhenti sejenak, menunduk, dan melihat betapa kecilnya kita dibandingkan luasnya kehidupan.
Struktur soneta 4433 yang dipilih tidak hanya mendukung alur refleksi, tapi juga memberikan ruang yang cukup bagi pembaca untuk merenungi satu demi satu ide yang disampaikan. Melalui imaji pasir, majas metaforis, dan nada sunyi yang kontemplatif, puisi ini menjadi pengingat bahwa kita semua sedang berdiri di tepi waktu—dan bahwa bukan marah yang dibutuhkan, tetapi pemahaman dan kebijaksanaan.
Karya: Mh. Rustandi Kartakusuma
Biodata Mh. Rustandi Kartakusuma:
- Mh. Rustandi Kartakusuma atau Muhammad Rustandi Kartakusuma (akrab dipanggil Uyus) lahir pada tanggal 27 April 1921 di Ciamis, Provinsi Jawa Barat.
- Mh. Rustandi Kartakusuma meninggal dunia pada hari Jumat 11 April 2008 pukul 06.15 WIB di Panti Jompo Ria Pembangunan, Cibubur.
