Ana Lagu Gumontang
ana lagu gumontang
ing ndhuwure piano kang ampang
woh-wohan kang mateng amerge sujana
nylempit ing selane iga
lagu tanpa swara
lagune lagu tresna
lagu tanpa manungsa
njrebabah ngungkurake jendhela
wis wayahe saiki
bun esuk kang nyiram rai
cacing lan kremi
molet ing lambene kali
ana lagu gumontang
ing samuning sepi
gunung dhuwur ngelam-ngelam ke ati
ngadheg ing lawange bumi
duillah
apa aku wis ngiseni kolah?
Bendulmrisi Surabaya, 19 Maret 1984
Jayabaya, 1984
Sumber: Antologi Puisi Jawa Modern Jawa Timur 1981-2008 (2011)
Analisis Puisi:
Puisi “Ana Lagu Gumontang” karya Suripan Sadi Hutomo merupakan potret puitik yang tak hanya menampilkan keindahan bunyi, tetapi juga mengangkat pengalaman eksistensial yang dalam. Menggunakan bahasa Jawa yang sarat musikalitas, puisi ini menyiratkan kesendirian, refleksi batin, dan kesedihan yang tenang, seperti lagu yang terus bergema di ruang hampa. Melalui metafora dan imaji-imaji subtil, puisi ini menawarkan ruang kontemplasi mengenai cinta, alam, dan keberadaan manusia dalam dunia yang sunyi.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kesunyian dan eksistensi manusia dalam ruang batin yang senyap, yang disimbolkan lewat metafora "lagu" yang tak berbunyi namun “gumontang” atau bergema. Lagu dalam puisi ini tidak hanya mengacu pada nada atau musik, tetapi menjadi simbol perasaan cinta, kerinduan, dan kesadaran akan waktu dan kematian.
Puisi ini bercerita tentang keberadaan sebuah lagu cinta yang tidak terdengar secara fisik tetapi mengisi ruang batin seorang manusia yang sedang merenungi hidupnya. Lagu itu bergema di atas piano yang "ampang" (ringkih atau mungkin usang), mengisyaratkan kesendirian, kenangan, atau bahkan penyesalan.
Kemunculan citraan-citraan seperti “cacing lan kremi molet ing lambene kali” atau “gunung dhuwur ngelam-ngelam ke ati” memberikan kesan bahwa puisi ini adalah perjalanan batin seseorang yang berhadapan dengan waktu pagi, kesunyian alam, dan dirinya sendiri yang penuh tanya.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini terletak pada simbolisasi “lagu tanpa suara” — sebuah pengalaman batin yang mendalam, yang mungkin tidak bisa dijelaskan secara verbal. Cinta, penyesalan, kerinduan, atau kehilangan, bisa menjadi bagian dari lagu itu. Namun, semuanya tersimpan di ruang dalam, menyelinap di sela iga, menggema di balik jendela kehidupan.
Puisi ini juga dapat dimaknai sebagai refleksi manusia yang merasa asing di tengah dunia, mempertanyakan makna kehadirannya — bahkan pada bait terakhir muncul pertanyaan yang mengguncang:
duillah / apa aku wis ngiseni kolah?
Kalimat ini bisa dibaca sebagai bentuk penyesalan, ketidaksengajaan, atau bahkan pertanyaan tentang dampak eksistensi pribadi terhadap dunia (kolah sebagai simbol lingkungan atau tatanan kehidupan).
Unsur Puisi: Imaji
Puisi ini kaya akan imaji visual dan simbolik, antara lain:
“Ana lagu gumontang ing ndhuwure piano kang ampang”
→ menghadirkan imaji suara yang menggantung di atas piano tua. Bunyi yang tak terdengar namun terasa, menyiratkan nostalgia dan kerentanan.
“woh-wohan kang mateng amerge sujana”
→ membangun imaji tentang buah matang karena kebijakan atau kealiman; ada nuansa panen atau hasil dari suatu perjalanan spiritual.
“cacing lan kremi molet ing lambene kali”
→ imaji ini mengejutkan, bahkan menjijikkan. Namun justru kuat karena mengindikasikan kehancuran, proses pembusukan, atau fase akhir dari suatu eksistensi.
“gunung dhuwur ngelam-ngelam ke ati”
→ imaji gunung yang tinggi menyerap hati: sebuah metafora dahsyat untuk kesunyian, kontemplasi, atau mungkin beban batin.
Majas
Suripan menggunakan banyak majas simbolik dan metaforis:
- Metafora: Lagu yang bergema tanpa suara menjadi metafora utama dalam puisi ini — mewakili rasa batin yang tak bisa diungkapkan.
- Personifikasi: Misalnya, “gunung ngelam-ngelam ke ati” memberikan karakter manusiawi pada gunung — gunung bisa menyerap perasaan.
- Simbolisme: “Kolam” di bait terakhir bukan hanya kolam literal. Bisa jadi simbol kesadaran sosial, tanggung jawab pribadi, atau bahkan dosa. Pertanyaan “apa aku wis ngiseni kolah?” memuat nuansa spiritual atau etis.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini cenderung melankolis, kontemplatif, dan hening. Ada perasaan sepi yang mengendap dan tidak dibunyikan secara eksplisit, tetapi hadir lewat deskripsi alam dan fragmen-fragmen kehidupan yang menyiratkan ketenangan sekaligus kegelisahan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini, jika ditafsirkan secara luas, mungkin mengarah pada kesadaran untuk merenungi kembali kehidupan, cinta, dan kehadiran diri dalam semesta. Bahwa ada banyak hal yang tak terdengar tetapi berdampak dalam hidup ini, seperti lagu cinta yang mengendap di dada, atau keberadaan manusia yang mungkin diam-diam mencemari “kolam” kehidupan bersama.
Puisi “Ana Lagu Gumontang” adalah karya yang mengajak pembacanya menyelami ruang sunyi, penuh perenungan dan kesadaran. Ia tidak menawarkan narasi linier, melainkan fragmen-fragmen simbolik yang membentuk satu atmosfer eksistensial — tentang cinta, waktu, dan tanggung jawab manusia dalam kehidupan. Dengan kekuatan imaji, metafora, dan gaya bahasa yang khas, Suripan Sadi Hutomo memperlihatkan bahwa puisi tidak selalu harus diteriakkan. Kadang-kadang, lagu yang paling jujur adalah lagu yang gumontang dalam keheningan.
Karya: Suripan Sadi Hutomo
Biodata Suripan Sadi Hutomo:
- Suripan Sadi Hutomo lahir pada tanggal 5 Februari 1940 di Ngawen, Blora.
- Suripan Sadi Hutomo meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 2001 di Surabaya.