Ancaman Bengis Menggumam
Ancaman bengis menggumam dalam awan hitam,
Tak ada satu pohon yang berani meneruskan
Nyanyiannya
Daun-daun merapat ke dahan
Diam-diam menyumpahi burung yang tercicit
Kelam. Berat.
Keluh bersentak kembali ke pangkalnya
Rumah-rumah tertutup semua
Penghuninya mencangkung di sudut; kecut.
Mana kata penutup?
Kaki telah kesemutan berdiri
Dan duduk tiada boleh:
Tanah becek kehujanan semalam-malaman
Sumber: Rekaman dari Tujuh Daerah (1951)
Analisis Puisi:
Puisi "Ancaman Bengis Menggumam" karya Mh. Rustandi Kartakusuma adalah potret atmosferik yang padat oleh rasa gentar, murung, dan tekanan batin. Meski tidak menyebut secara eksplisit apa yang dimaksud dengan “ancaman”, puisi ini mampu menyusun ketegangan melalui elemen-elemen alam dan suasana sosial yang serba tertutup. Dalam dunia puisi ini, kita tidak hanya menyaksikan kegelapan cuaca, tetapi juga kegelapan psikologis dan sosial yang menyelimuti penghuni-penghuni rumah, pohon-pohon, hingga burung yang biasanya menjadi simbol keceriaan.
Melalui diksi-diksi kuat dan metafora yang kelam, penyair memperlihatkan bagaimana ancaman tidak selalu hadir secara fisik atau frontal, melainkan bisa hadir sebagai gumam dalam awan, sebagai tekanan diam-diam yang menyelimuti segalanya.
Tema
Puisi ini mengangkat tema tentang ketakutan kolektif, ancaman yang tidak terlihat, dan kegelapan sosial maupun psikologis. Tema tambahan yang bisa ditangkap adalah diam sebagai bentuk perlawanan atau bentuk kepasrahan, dan keterasingan manusia dalam dunia yang menekan.
Puisi ini bercerita tentang suasana mencekam yang menyelimuti suatu tempat—entah desa atau kota—yang seolah-olah sedang menghadapi ancaman tak kasatmata. Awan hitam membawa tekanan yang membuat pohon tak lagi bernyanyi, daun-daun tidak lagi menari, burung tak lagi dicintai. Bahkan rumah-rumah tertutup rapat, penghuninya mencangkung ketakutan.
Akhir puisi menggambarkan tubuh yang kelelahan berdiri, tapi juga tak bisa duduk. Tanah yang becek karena hujan semalaman menjadi metafora dari situasi yang tak memungkinkan kenyamanan dalam posisi apa pun—baik secara fisik maupun batin. Ini adalah dunia yang membuat manusia “macet” dalam segala pilihan.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa ancaman tidak selalu datang dalam bentuk serangan terbuka, tetapi bisa hadir sebagai atmosfer kolektif yang membungkam. Ketika bahkan pohon dan burung pun bungkam dan saling menyumpahi, ini adalah tanda bahwa dunia sudah berubah menjadi tempat yang penuh ketegangan dan ketidakpercayaan.
Ada juga kritik sosial yang tersirat: bahwa dalam situasi politik atau sosial yang menekan, masyarakat bisa menjadi sangat diam dan takut, hingga lupa pada fungsi alamiahnya—bernyanyi, berbicara, bersikap terbuka. Puisi ini adalah potret dari masyarakat yang hidup dalam represi, baik dari luar maupun dari dalam dirinya sendiri.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini kelam, berat, penuh kecemasan, dan stagnan. Dari awal baris yang menyebut awan hitam hingga akhir yang menunjukkan tubuh kelelahan namun tetap tak bisa beristirahat, suasana yang dibangun adalah suasana penekanan total—di mana ruang gerak dan bahkan ruang batin terasa tercekik.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji visual dan emosional yang kuat:
- Visual: “awan hitam”, “daun-daun merapat ke dahan”, “rumah-rumah tertutup semua”, “tanah becek kehujanan semalam-malaman”. Imaji-imaji ini menciptakan lanskap dunia yang seolah-olah mencekam dan mematikan segala gerak.
- Emosional: “kecut”, “kesemutan”, “keluh bersentak kembali ke pangkalnya”—semua menggambarkan kelelahan, ketegangan, dan ketidaknyamanan yang terus-menerus.
- Auditif tersirat: “menggumam”, “keluh”, “tercicit”—suara-suara samar ini memperkuat kesan ketegangan yang tak sampai meledak tapi terus menghantui.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi: “ancaman bengis menggumam dalam awan hitam” – awan diberi sifat manusia untuk menggambarkan tekanan yang menyatu dengan alam.
- Metafora: “keluh bersentak kembali ke pangkalnya” – keluhan yang tak terdengar luas, hanya kembali ke dalam diri sendiri, menggambarkan represi.
- Ironi: “daun-daun menyumpahi burung yang tercicit” – biasanya burung adalah simbol kebebasan dan keceriaan, tapi di sini justru menjadi objek kejengkelan karena keberaniannya berbunyi.
- Hiperbola tersirat: “tak ada satu pohon yang berani meneruskan nyanyiannya” – semua pohon dibungkam oleh suasana, yang memberi kesan seluruh alam pun ikut takut.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini adalah bahwa dalam situasi ketakutan dan tekanan kolektif, bahkan elemen paling alami pun bisa berubah: pohon tak bernyanyi, daun tak bergerak, burung pun dibenci. Dalam keadaan seperti itu, manusia pun akan bersembunyi dan tidak berani hidup secara penuh. Namun penyair juga secara halus menyentil: adakah akhir dari semua ini? Ketika kaki sudah kesemutan berdiri, dan duduk pun tak bisa, maka perlu muncul “kata penutup”—yakni keberanian untuk mengakhiri ketakutan.
Puisi ini seolah-olah mengajak pembaca untuk bertanya: sampai kapan kita hidup dalam ketakutan? Apa yang membuat kita tak bisa berdiri bebas atau duduk tenang?
Puisi “Ancaman Bengis Menggumam” karya Mh. Rustandi Kartakusuma adalah karya yang mencerminkan ketegangan sosial dan psikologis melalui simbol-simbol alam dan suasana yang menggumpal. Dengan tema ketakutan kolektif dan tekanan yang mengunci kebebasan, serta makna tersirat tentang diamnya dunia yang harusnya hidup, puisi ini menjelma menjadi semacam elegi bagi masyarakat yang kehilangan daya hidupnya karena represi.
Lewat imaji yang kuat, majas penuh tekanan, dan struktur yang terjaga ritmenya, puisi ini menjadi peringatan bahwa bahaya tak selalu berwujud teriakan. Kadang ia datang sebagai gumaman samar yang menyelimuti semuanya.
Dalam dunia yang sedang penuh awan hitam seperti yang digambarkan puisi ini, barangkali yang kita butuhkan bukan hanya tempat berteduh—tetapi keberanian untuk menyalakan cahaya di tengah kelam.
Karya: Mh. Rustandi Kartakusuma
Biodata Mh. Rustandi Kartakusuma:
- Mh. Rustandi Kartakusuma atau Muhammad Rustandi Kartakusuma (akrab dipanggil Uyus) lahir pada tanggal 27 April 1921 di Ciamis, Provinsi Jawa Barat.
- Mh. Rustandi Kartakusuma meninggal dunia pada hari Jumat 11 April 2008 pukul 06.15 WIB di Panti Jompo Ria Pembangunan, Cibubur.
