Berkelok Jalan ke Maninjau Danau
Berkelok jalan ke Maninjau, danau
Tak kulupa wajah orang tua yang rawan
Masa mudanya dihabiskan di rantau o, rantau
Awan senja pun turun, biru air danau hijau perbukitan
Pisau lempagi di saku terasa meronta ingin ditikamkan
Perantau ingin menulis riwayat selama kembara
Pengalaman bagai danau o, danau
Kiranya ditimba selalu bila 'kan keringnya
1962
Sumber: Parewa (1998)
Analisis Puisi:
Puisi berjudul "Berkelok Jalan ke Maninjau Danau" karya Rusli Marzuki Saria merupakan karya singkat namun sarat makna. Dalam larik-larik puitisnya, tersimpan kerinduan, permenungan, dan jejak perjalanan seorang anak manusia yang pulang dari rantau. Puisi ini menjadi medium reflektif yang merekam emosi dan kesadaran akan akar serta sejarah personal. Mari kita bedah karya ini dari berbagai aspek, mulai dari tema, makna tersirat, suasana dalam puisi, hingga unsur estetik seperti imaji dan majas.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kerinduan akan kampung halaman dan refleksi hidup seorang perantau. Dalam budaya Minangkabau—yang menjadi latar kuat puisi ini—merantau bukan sekadar berpindah tempat, melainkan sebuah siklus kehidupan, perjuangan, dan pendewasaan. Penulis merekam bagaimana kembalinya seseorang ke kampung halaman bukan hanya perjalanan fisik, tapi juga perjalanan batin. Tema ini dikembangkan melalui elemen-elemen alam seperti jalan yang berkelok, danau, dan perbukitan, yang menyimbolkan perjalanan hidup yang tidak pernah lurus.
Puisi ini bercerita tentang seorang perantau yang sedang dalam perjalanan pulang menuju kampung halamannya di Maninjau, sebuah danau yang terkenal di Sumatera Barat. Saat menyusuri jalan yang berkelok menuju danau tersebut, ia terkenang pada wajah orang tuanya yang telah menua dan mengenang masa mudanya yang dihabiskan di rantau. Perjalanan itu memunculkan hasrat untuk mencatat kembali pengalaman-pengalaman selama masa perantauan, seperti danau yang dalam dan luas: mengandung banyak cerita yang belum ditimba.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini sangat mendalam. Dalam larik:
“Pisau lempagi di saku terasa meronta ingin ditikamkan”
tersirat dorongan emosional yang kuat, mungkin amarah, rasa bersalah, atau kegelisahan yang lahir dari beban pengalaman masa lalu. Pisau di sini bukan semata benda tajam, melainkan simbol hasrat, konflik batin, dan kemungkinan perlawanan terhadap ketidakadilan atau luka pribadi. Ini bukan tentang kekerasan fisik, melainkan penyaluran energi batin yang terpendam. Ada makna bahwa perjalanan hidup bukan hanya tentang pencapaian luar, tetapi juga perjuangan batin yang kompleks.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini bercampur antara melankolis dan reflektif. Nuansa sore hari dengan awan senja, biru air danau, dan hijau perbukitan menciptakan kesan tenang, namun penuh rindu dan kenangan. Perpaduan warna-warna alam ini menciptakan atmosfir syahdu yang memperkuat perasaan pulang, perenungan, dan emosi personal yang sulit dijelaskan secara langsung.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan pesan tentang pentingnya mengingat asal-usul, mengenang orang tua, dan merefleksikan perjalanan hidup. Kembali ke kampung halaman bukan hanya tentang nostalgia, tapi juga upaya memahami kembali jati diri yang sempat hilang di tengah perantauan. Di balik pengalaman hidup yang penuh liku, ada nilai-nilai yang tetap relevan: keluarga, tanah kelahiran, dan kisah-kisah yang tak pernah selesai ditulis.
Imaji
Puisi ini sangat kaya dengan imaji visual, terutama pada bait pertama dan kedua:
“Awan senja pun turun, biru air danau hijau perbukitan”
Pembaca seakan diajak untuk membayangkan pemandangan alam yang memesona di sekitar Danau Maninjau. Imaji ini bukan hanya memperindah puisi, tapi juga memperkuat kedalaman emosi sang perantau. Warna-warna seperti biru dan hijau menenangkan sekaligus menyiratkan kesejukan yang kontras dengan kegelisahan batin.
Di sisi lain, larik “Pisau lempagi di saku terasa meronta ingin ditikamkan” menyuguhkan imaji kinestetik—pembaca bisa merasakan ketegangan, desakan emosional, dan dorongan batin yang kuat. Imaji ini memperkaya lapisan psikologis dalam puisi.
Majas
Beberapa majas atau gaya bahasa yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Metafora: “Pisau lempagi di saku terasa meronta ingin ditikamkan” → Pisau di sini bukan literal, melainkan metafora dari dorongan emosional, rasa bersalah, atau konflik batin yang ingin diungkapkan.
- Personifikasi: “Pisau... terasa meronta” → Memberi sifat manusia pada benda mati, yaitu pisau yang "meronta", menciptakan ketegangan dramatis dalam puisi.
- Simile: “Pengalaman bagai danau o, danau” → Membandingkan pengalaman hidup dengan danau yang luas, dalam, dan penuh misteri. Ini menyiratkan bahwa pengalaman hidup menyimpan kedalaman yang layak diresapi.
- Repetisi: Kata “danau o, danau” dan “rantau o, rantau” mengandung repetisi yang berfungsi memperkuat penekanan emosional dan musikalitas puisi.
Puisi "Berkelok Jalan ke Maninjau, Danau" karya Rusli Marzuki Saria merupakan karya yang padat, simbolik, dan penuh permenungan. Dengan mengangkat tema tentang kerinduan akan kampung halaman, puisi ini bercerita tentang perjalanan fisik dan batin seorang perantau yang kembali ke tempat asalnya. Makna tersirat yang mendalam, ditambah suasana dalam puisi yang reflektif, menciptakan kesatuan emosi yang kuat dalam karya ini.
Dihiasi oleh imaji alam yang indah dan permainan majas yang tajam, puisi ini tidak hanya memotret lanskap Minang yang indah, tapi juga lanskap jiwa manusia yang kompleks. Pesannya jelas: kenangan dan pengalaman hidup adalah danau yang tak pernah kering bila kita mau terus menimba maknanya.
Puisi: Berkelok Jalan ke Maninjau Danau
Karya: Rusli Marzuki Saria
Biodata Rusli Marzuki Saria:
- Rusli Marzuki Saria lahir di Kamang, Bukittinggi, pada tanggal 26 Februari 1936.