Analisis Puisi:
Puisi “Buat Adik dan Kekasih” karya Siti Nuraini merupakan karya sastra yang sarat perasaan kehilangan, pengasingan batin, dan refleksi eksistensial. Dengan bentuk yang mengalir seperti curahan batin, puisi ini bukan hanya menyampaikan duka dan kesepian, tapi juga menggali makna mendalam tentang hidup, kematian, dan kerinduan yang tak bisa dijembatani oleh waktu maupun kata. Dalam bait-baitnya, terhampar dunia yang remuk oleh perpisahan namun tetap menggenggam seberkas kasih dan kenangan.
Tema
Tema utama puisi ini adalah perpisahan dan kehampaan eksistensial yang menyertai kepergian orang-orang tercinta, serta pencarian makna dalam kesunyian setelah kehilangan. Siti Nuraini menenun perasaan antara cinta dan duka, antara kenangan masa kecil dan kehampaan usia dewasa. Tema ini dibungkus dengan suasana renungan yang sangat personal dan emosional, seakan pembaca ikut menyusuri fragmen-fragmen kenangan yang rapuh dan menyesakkan.
Puisi ini bercerita tentang seorang aku-lirik yang mengalami kesedihan mendalam setelah kehilangan orang-orang tercinta—baik itu sang adik, kekasih, atau mungkin keduanya. Dalam bentuk naratif yang tidak linier, aku-lirik menggambarkan masa lalu yang penuh kasih, pertanyaan tentang ke mana cinta dan mimpi pergi setelah kematian, dan refleksi tentang absurditas hidup. Puisi ini juga menyiratkan suasana ziarah atau pemakaman, dengan gambaran seperti “liang tertutup tanah” dan suara duka yang “sia-sia”.
Lebih jauh lagi, puisi ini menyinggung pengalaman spiritual dan eksistensial: seseorang yang terlempar dari kenyamanan dan kehangatan masa lalu ke dalam dunia yang sunyi, asing, dan penuh pertanyaan. Ia tidak hanya berduka, tapi juga mencari pegangan makna dalam dunia yang kehilangan cahaya.
Makna Tersirat
Secara makna tersirat, puisi ini berbicara tentang keterbatasan manusia dalam memahami hidup dan kehilangan, serta kerapuhan relasi antar manusia yang kerap dianggap kekal namun ternyata fana. Ada kesadaran pahit bahwa kasih sayang, kenangan, dan bahkan mimpi bisa lenyap dalam hitungan waktu, dan manusia hanya bisa bertanya dalam kebingungan: "Mengapa hanya sampai di sini?"
Kata-kata seperti “serbanya katupan rahasia”, “kesesatan menanti di tiap jalan”, dan “kehampaan gelap di lingkungan kabut” memperlihatkan bahwa dunia tidak lagi terbaca oleh aku-lirik. Dunia menjadi absurd, tidak bisa dipahami. Dan dalam kondisi itulah makna menjadi buram dan cinta menjadi sesuatu yang dipertanyakan ulang.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi sangat melankolis, muram, dan penuh duka yang sunyi. Kita seakan diajak menyusuri pemakaman jiwa, di mana tangisan sudah berlalu, dan yang tersisa hanyalah diam, kehampaan, dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah dijawab. Nuansa ini diperkuat oleh pencitraan seperti “sunyi asing yang bertanya”, “tutup liang dengan tanah”, dan “bintang-bintang penghabisan mulai pudar.”
Di satu sisi, ada ketegangan emosional dalam puisi, namun ditata secara tenang dan reflektif. Tidak ada letupan emosi dramatis, melainkan kesedihan yang mengalir seperti sungai dalam hening.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini membawa amanat tentang perlunya menerima keterbatasan hidup dan melepaskan masa lalu dengan ikhlas. Dunia akan terus berputar, orang-orang datang dan pergi, dan cinta pun suatu saat harus berpulang. Namun sebelum semua mimpi dan kenangan lenyap, kita perlu mengulang kembali kalimat-kalimat kasih yang pernah kita ucapkan dan meresapi ketulusan dalam setiap momen yang pernah ada.
Amanat lainnya adalah bahwa dalam dunia yang serba tak pasti dan bisa dipenuhi kehilangan, kenangan dan kasih yang tulus adalah satu-satunya penghiburan yang menyelamatkan jiwa dari kehampaan mutlak.
Imaji
Siti Nuraini mengolah imaji dalam puisi ini dengan kuat dan mendalam. Beberapa contoh imaji yang mencolok:
- “bungkusan panjang putih pengisi lubang dalam” – imaji visual tentang jenazah dalam kain kafan.
- “daun kering ke mana-mana beterbangan” – imaji alam yang mewakili kefanaan hidup.
- “lantai dan cahaya tergantung bertemu pandang di kaca lemari penyimpan boneka adikku” – imaji domestik yang begitu personal dan penuh kenangan.
- “bintang-bintang penghabisan mulai pudar” – imaji penutup yang menggambarkan redupnya harapan dan kehidupan.
Imaji dalam puisi ini bukan hanya visual, tapi juga emosional—ia merangsang kesedihan, kenangan, dan rasa kehilangan dalam benak pembaca.
Majas
Penggunaan majas atau gaya bahasa dalam puisi ini cukup dominan dan khas, antara lain:
- Personifikasi: “bunga putih di dalamnya bercumbu dengan matahari” – memberikan sifat manusia pada bunga.
- Metafora: “diterima sebagai orang dikasihi dilontarkan ke tempat bertemu pertama” – metafora yang bisa merujuk pada kematian dan kelahiran kembali atau transisi menuju alam lain.
- Hiperbola: “kehampaan gelap di lingkungan kabut” – penguatan suasana tanpa makna.
- Pertanyaan retoris: “mengapa hanya sampai di sini?”, “kepada siapa diserahkan kelembutan mimpi?” – digunakan untuk menekankan perasaan bingung, kehilangan, dan ketidakberdayaan.
Gaya bahasa dalam puisi ini memperkuat aura kontemplatif dan menyedihkan, seolah aku-lirik tidak lagi mencari jawaban, tapi hanya ingin menyampaikan perasaan yang terlalu berat untuk diungkapkan biasa.
Puisi “Buat Adik dan Kekasih” karya Siti Nuraini adalah elegi yang tidak hanya meratap kepergian, tetapi juga merenungkan makna yang tersisa setelah kehilangan. Melalui tema perpisahan, makna tersirat tentang keterasingan jiwa, dan imaji-imaji yang lembut namun menyakitkan, puisi ini berbicara bukan hanya kepada orang yang berduka, tapi kepada siapa saja yang pernah bertanya dalam sunyi: “Mengapa hanya sampai di sini?”
Siti Nuraini tidak menjanjikan penghiburan instan, melainkan sebuah jalan menuju penerimaan. Dalam dunia yang gelap dan kabut, satu-satunya cahaya yang mungkin bisa menyinari adalah kalimat-kalimat kasih yang pernah diulang, kenangan yang hidup di benak, dan cinta tulus yang pernah diberikan—meski untuk sementara, dan meski akhirnya akan pudar juga seperti bintang-bintang di akhir malam.
