Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Puncak Eiffel (Karya Sunaryono Basuki KS)

Puisi "Di Puncak Eiffel" karya Sunaryono Basuki KS bercerita tentang pengalaman batin seseorang yang berada di puncak Menara Eiffel, menyaksikan ...
Di Puncak Eiffel

tak terdengar deru angin
di lingkaran tertutup ini
hanya peta jarak
tergambar di dinding
antara Eiffel dan San Francisco
sampai Jakarta
24.000 km terbentang
antara dua titik
yang bergoyang-goyang di puncak ini

tak terdengar deru angin
hanya isak
akan masa yang lepas
dari tangkap
haruskah kita melangkah terus
seperti ini
dari satu titik ke titik lain
dalam peta bumi
yang tercantum di puncak Eiffel
siapakah dapat menjawab
teka-teki?

Analisis Puisi:

Puisi "Di Puncak Eiffel" karya Sunaryono Basuki KS menyuguhkan permenungan mendalam tentang jarak, perjalanan hidup, dan kekosongan eksistensial manusia modern. Berlatar di puncak Menara Eiffel, simbol kemajuan peradaban, puisi ini menyiratkan konflik batin antara kemajuan fisik dan kekosongan makna, antara realitas peta dunia dengan kehampaan jiwa yang tak terjawab. Penulis menghadirkan keraguan yang kontemplatif, dibingkai dalam keheningan dan peta jarak global yang justru memperlihatkan kesunyian manusia.

Tema

Tema utama puisi ini adalah eksistensialisme dan pencarian makna dalam perjalanan hidup. Penulis merefleksikan jarak antar tempat di dunia (seperti Eiffel, San Francisco, dan Jakarta), tetapi lebih dari itu, jarak tersebut merupakan simbol keterpisahan makna dalam kehidupan manusia yang bergerak tanpa arah yang jelas. Selain itu, puisi ini juga menyinggung tema kesunyian batin dalam peradaban modern.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah bahwa manusia modern terus bergerak dari satu titik ke titik lain—secara geografis dan temporal—namun mungkin kehilangan makna sejati dalam hidupnya. Peta dunia di dinding menara hanya menunjukkan lokasi, bukan arah batin. Isak tangis menggantikan deru angin, menandakan kerinduan terhadap masa lalu atau makna yang telah terlepas dari genggaman.

Penyair mempertanyakan:

"Haruskah kita melangkah terus / seperti ini / dari satu titik ke titik lain / dalam peta bumi?"

Ini adalah refleksi tentang hidup yang bergerak cepat namun mungkin tanpa kejelasan arah spiritual. Ada kritik terhadap kehidupan global yang semakin mekanistik, berpindah tempat tanpa pernah benar-benar sampai.

Puisi ini bercerita tentang pengalaman batin seseorang yang berada di puncak Menara Eiffel, menyaksikan peta dunia di dinding menara yang menunjukkan jarak antara kota-kota besar di dunia. Namun, alih-alih kebanggaan atau rasa globalisme, yang hadir justru kesunyian dan perenungan tentang kehilangan makna dalam kehidupan yang terus bergerak.

Ia tidak mendengar angin, hanya "isak", sebagai simbol bahwa yang hadir bukan vitalitas atau gairah, melainkan kesedihan yang lembut. Puisi ini menggambarkan seseorang yang berdiri di ketinggian fisik, namun tenggelam dalam jurang emosional dan spiritual.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi sangat sunyi, melankolis, dan reflektif. Hening mendominasi, dikuatkan dengan kalimat:

“tak terdengar deru angin”
“hanya isak / akan masa yang lepas dari tangkap”

Kondisi ini menghadirkan kesepian yang padat, seolah penyair berdiri di antara keramaian wisatawan di Menara Eiffel, tapi batinnya terisolasi dalam kontemplasi sunyi. Suasana ini menggambarkan perasaan terasing, bahkan ketika berada di pusat dunia.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan bahwa:
  • Hidup bukan sekadar bergerak dari satu tempat ke tempat lain, tetapi juga butuh perenungan tentang arah dan makna.
  • Perjalanan geografis tidak menjamin kepuasan spiritual. Dalam dunia yang serba cepat dan global, manusia bisa kehilangan pegangan makna. Maka, penyair mengajak pembaca untuk tidak kehilangan inti dari perjalanan hidup: mencari jawaban dari teka-teki eksistensial, bukan sekadar mencatat jarak.

Imaji

Puisi ini memiliki beberapa imaji kuat yang menciptakan atmosfer kontemplatif dan visual, antara lain:

Imaji visual:
  • “peta jarak / tergambar di dinding” → menggambarkan detail nyata Menara Eiffel.
  • “antara Eiffel dan San Francisco / sampai Jakarta / 24.000 km terbentang” → memperlihatkan luasnya bumi dalam angka, namun juga mengisyaratkan jarak emosional.
Imaji auditori:
  • “tak terdengar deru angin”, “hanya isak” → menghadirkan kesunyian yang dalam.
Imaji waktu dan batin:
  • “akan masa yang lepas dari tangkap” → imaji memori yang tak tergapai, nostalgia.

Majas

Puisi ini memanfaatkan berbagai majas yang memperkuat kedalaman maknanya:
  • Personifikasi: “isak akan masa yang lepas” → masa lalu digambarkan sebagai entitas yang bisa menangis.
  • Metafora: “dari satu titik ke titik lain dalam peta bumi” → bukan hanya perjalanan geografis, tetapi perjalanan hidup yang tanpa arah pasti.
  • Simbolisme: Menara Eiffel, peta, dan angka jarak adalah simbol dari globalisasi, kemajuan teknologi, dan kesementaraan, yang justru bisa mengasingkan manusia dari dirinya sendiri.
  • Paradoks: “berada di puncak Eiffel” tetapi justru mengalami kesepian dan kebingungan. Puncak mestinya menggambarkan capaian, tapi yang hadir adalah “isak”.
Puisi "Di Puncak Eiffel" karya Sunaryono Basuki KS merupakan potret kesunyian manusia modern dalam dunia yang semakin terhubung secara fisik, tetapi terputus secara emosional dan spiritual. Di balik gemerlap globalisasi dan teknologi, ada pertanyaan eksistensial yang belum terjawab: “Apakah arti dari semua perjalanan ini?”

Puisi ini mengajak pembaca untuk berhenti sejenak dari pergerakan, untuk mendengarkan isak batin sendiri, dan mencari makna sejati dalam kehidupan yang sering kali melupakan kedalaman.

Akhir kata, puisi ini adalah meditasi sunyi di tengah hiruk-pikuk dunia modern, dan sebuah peringatan bahwa kita bisa tersesat bukan di rimba atau gurun, melainkan dalam diri sendiri di puncak segala hal yang kita bangun.

Sunaryono Basuki KS
Puisi: Di Puncak Eiffel
Karya: Sunaryono Basuki KS
    Biodata Sunaryono Basuki KS:
    • Nama lengkap Sunaryono Basuki KS adalah Sunaryono Basuki Koesnosoebroto.
    • Sunaryono Basuki KS lahir di Kepanjen, Malang, pada tanggal 9 Oktober 1941.
    • Sunaryono Basuki KS meninggal dunia di Kutuh, Kabupaten Badung, Bali, pada tanggal 20 Desember 2019.
    © Sepenuhnya. All rights reserved.