Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Dinding (Karya Agus Budi Wahyudi)

Puisi “Dinding” karya Agus Budi Wahyudi bercerita tentang kehadiran dinding dalam berbagai aspek kehidupan: dari rumah hingga tubuh, dari ruang ...

Dinding


Rumah berdinding dipasang jam dinding
Kerongkongan berdinding dipasang jam bicara
Jantung berdinding dipasang detaknya

Dinding menyekat ruang
Dinding membabat pandang
Dinding membatas kemungkinan
Adakah dinding antara hati?

Alam tak berdinding
Bila hati ini alam maka tak perlu berdiri jauh
Menjauh

Sumber: Surat dari Samudra (2018)

Analisis Puisi:

Puisi “Dinding” karya Agus Budi Wahyudi, yang termuat dalam buku Surat dari Samudra (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018), menyajikan renungan sederhana tetapi mendalam tentang keberadaan batas, baik secara fisik maupun batiniah. Dengan gaya bahasa yang lugas namun sarat makna, puisi ini menjadi media refleksi yang lembut bagi anak-anak untuk memahami dunia mereka sendiri—rumah, tubuh, hati, dan alam.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah batas dan keterhubungan antar ruang dan hati. Melalui simbol “dinding”, penyair menyampaikan bagaimana sesuatu yang kasatmata maupun tak kasatmata bisa menjadi sekat, penghalang, atau bahkan penentu arah dalam kehidupan.

Makna Tersirat

Puisi ini mengandung makna tersirat yang sangat kuat, terutama dalam menggambarkan bagaimana batas-batas (baik fisik maupun emosional) memengaruhi hubungan antarindividu. Kata dinding tidak hanya merujuk pada tembok rumah, tetapi juga bisa dimaknai sebagai simbol dari:
  • Batas fisik (misalnya dinding rumah atau tubuh),
  • Batas komunikasi (seperti “kerongkongan berdinding dipasang jam bicara”),
  • Batas perasaan (dinding antara hati),
  • Batas kemungkinan (yang mengekang mimpi atau hubungan),
  • dan batas alamiah (yang justru digambarkan sebagai tak berdinding).
Melalui pertanyaan retoris “Adakah dinding antara hati?”, penyair mengajak pembaca cilik untuk memikirkan sejauh mana mereka membuka atau menutup diri terhadap orang lain. Ada kesan bahwa penyair ingin mengajak anak-anak untuk lebih terbuka, tidak membuat jarak dalam berperasaan, dan membangun koneksi tanpa sekat.

Puisi ini bercerita tentang kehadiran dinding dalam berbagai aspek kehidupan: dari rumah hingga tubuh, dari ruang fisik hingga emosi batin. Dinding-dinding tersebut dipertanyakan fungsinya—apakah melindungi, membatasi, atau bahkan menyekat hubungan antar manusia.

Puisi ini tidak berkisah dalam alur cerita konvensional, melainkan menyajikan semacam pemetaan makna dari berbagai “dinding” yang ada dalam hidup. Bagi anak-anak, ini bisa menjadi ajakan untuk memahami makna ‘jarak’ dan ‘kedekatan’, serta bagaimana mereka menyikapi dunia sekitar yang penuh sekat—baik yang terlihat maupun yang tidak.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini kontemplatif dan tenang, mengajak pembaca untuk merenung pelan-pelan. Tidak ada luapan emosi atau riang yang mencolok, tetapi ada nada perenungan yang lembut dan mendalam. Nuansa ini cocok untuk mengarahkan anak-anak pada kebiasaan berpikir kritis dan introspektif.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi “Dinding” menyampaikan beberapa pesan moral dan nilai kehidupan, antara lain:
  • Belajar memahami makna batas—baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
  • Mendorong anak-anak untuk membuka diri, tidak terkungkung dalam ‘dinding’ emosional atau sosial yang menghalangi hubungan baik.
  • Menghargai keterbukaan dan kedekatan hati, karena dunia akan menjadi lebih hangat jika kita menghapus sekat-sekat tak perlu dalam perasaan.
  • Mengajak berpikir secara puitis dan kritis—bahwa di balik benda-benda sederhana seperti ‘dinding’, ada filosofi yang bisa dipelajari.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji konseptual dan simbolik:
  • “Rumah berdinding dipasang jam dinding” — memunculkan bayangan ruang domestik yang familiar.
  • “Kerongkongan berdinding dipasang jam bicara” — menimbulkan imaji metaforis tentang bagaimana tubuh mengatur waktu bicara.
  • “Jantung berdinding dipasang detaknya” — membayangkan jantung sebagai ruang yang berdetak dalam ritme yang teratur.
Imaji-imaji ini tidak bersifat visual secara konkret, tetapi mengajak pembaca menyelami makna dari objek-objek yang sudah akrab dalam kehidupan sehari-hari.

Majas

Puisi “Dinding” menggunakan beberapa majas utama, yaitu:

Metafora:
  • “Kerongkongan berdinding dipasang jam bicara” adalah metafora untuk pengendalian komunikasi.
  • “Jantung berdinding dipasang detaknya” memetaforakan keteraturan hidup atau perasaan yang terukur.
Personifikasi:
  • “Dinding membabat pandang” — memberikan sifat manusiawi pada dinding, seolah-olah ia bisa “membabat” atau memotong pandangan seseorang.
Pertanyaan Retoris:
  • “Adakah dinding antara hati?” — pertanyaan ini tidak menuntut jawaban, tetapi menggugah perasaan dan renungan.
Majas-majas ini membantu menyampaikan pesan filosofis puisi dengan cara yang mudah dicerna anak-anak, namun tetap bermakna dalam bagi pembaca dewasa.

Puisi “Dinding” karya Agus Budi Wahyudi merupakan contoh puisi anak yang tidak hanya mendidik secara estetika, tetapi juga membentuk pemahaman moral dan sosial. Melalui simbol dinding, puisi ini mengajarkan pentingnya memahami batas, membuka hati, dan menjalin hubungan antarmanusia tanpa sekat-sekat yang membatasi.

Meski sederhana dalam struktur, puisi ini menyimpan kekayaan makna yang relevan untuk semua usia. Anak-anak yang membacanya akan mulai melihat dunia tidak sekadar sebagai ruang fisik, tetapi sebagai medan batin yang penuh kemungkinan untuk saling mendekat dan memahami. Sebuah pelajaran kehidupan yang dalam, dibalut dalam larik-larik ringan dan puitis.

Agus Budi Wahyudi
Puisi: Dinding
Karya: Agus Budi Wahyudi

Biodata Agus Budi Wahyudi:
  • Agus Budi Wahyudi lahir pada tanggal 18 Agustus 1960 di Kudus.
© Sepenuhnya. All rights reserved.