Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Gila! Mengapa Tak Kauucap Cinta Ketika Aku Penuh Bunga? (Karya A. Muttaqin)

Puisi “Gila! Mengapa Tak Kauucap Cinta Ketika Aku Penuh Bunga?” bercerita tentang seseorang yang pernah membuka hati, penuh harapan dan cinta, ...
Gila! Mengapa Tak Kauucap Cinta
Ketika Aku Penuh Bunga?

Dan kini aku telah tinggal duri. Cobalah kau mengerti
Mengapa aku memilih menusuk daripada runduk.
Memilih kutuk ketimbang lapuk di peluk.
Kubuang kuntum cium, supaya kau
Tak mencariku dalam harum.
Kukembalikan madu pada layu
Supaya kumbang terbang tanpa mabuk
Dan tuhan dapat dikit kubujuk.
Kutumbuhi segegap sepi
Juga mimpi yang tak berpenghuni
Supaya kelak, matamu lebih tajam dari aku
Yang pendiam. Dan akhirnya kauberoleh paham
Betapa cintaku dalam pada darah diam yang tak berasam.

2009

Analisis Puisi:

Puisi “Gila! Mengapa Tak Kauucap Cinta Ketika Aku Penuh Bunga?” karya A. Muttaqin adalah karya yang menyuarakan rasa sakit, kekecewaan, dan perlawanan atas cinta yang tak terbalas atau datang terlambat. Dari judulnya saja, kita sudah disambut dengan teriakan emosi: gila, seruan penuh amarah dan frustasi. Puisi ini bukan sekadar puisi patah hati, tapi puisi tentang harga diri, perubahan, dan keteguhan hati yang memilih luka ketimbang pasrah. Dengan struktur satu bait 13 baris, penyair menyusun deretan kata penuh daya pukau yang padat makna.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah cinta yang datang terlambat dan perlawanan terhadap harapan kosong. Sang penyair mengangkat bagaimana cinta yang seharusnya diucapkan dan dibalas ketika waktu masih “penuh bunga”, justru hadir setelah semuanya layu. Maka, tema ini menyentuh soal kehilangan waktu, pemberontakan batin, dan metamorfosis dari kasih menjadi duri.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang pernah membuka hati, penuh harapan dan cinta, namun cintanya tak digubris. Ketika ia sudah berubah menjadi “duri”, barulah cinta itu datang. Tapi segalanya sudah berubah. Ia memilih menjadi luka yang menyengat ketimbang menjadi bunga yang layu dan pasrah. Ia ingin menunjukkan bahwa luka itu pun punya harga, dan diam pun bisa menyimpan cinta yang dalam.

Makna Tersirat

Puisi ini kaya dengan makna tersirat, di antaranya:
  • Penolakan terhadap cinta palsu atau telat datang. Sang penyair ingin menegaskan bahwa cinta harus hadir di waktu yang tepat. Bila tidak, ia hanya menjadi sumber luka.
  • Pilihan untuk mempertahankan harga diri. “Menusuk daripada runduk” adalah metafora keberanian untuk memilih luka yang aktif daripada kepasrahan.
  • Transformasi jiwa. Dari bunga (lembut, harum, menawan) menjadi duri (tajam, menusuk, menyakitkan), ini menggambarkan proses batin seseorang yang dikhianati oleh harapan.
  • Kesadaran akan cinta diam yang mendalam. Meskipun sang tokoh memilih “menusuk”, cinta itu tetap ada, terpendam dalam “darah diam yang tak berasam” — cinta yang bisu, pahit, namun tetap nyata.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah penuh gejolak batin, getir, dan tragis. Ada nada kemarahan yang terpendam, disertai kepedihan yang elegan. Pembaca bisa merasakan aura hati yang sudah terlalu lelah berharap dan memilih untuk berdiri sendiri, meski penuh luka.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan utama dari puisi ini adalah bahwa:
  • Cinta yang tulus harus diungkapkan pada waktu yang tepat, bukan setelah semua layu dan sia-sia.
  • Jangan sia-siakan seseorang yang mencintaimu dengan sepenuh hati ketika dia masih membuka dirinya seperti bunga.
  • Ketika seseorang memilih diam dan tampak dingin, bukan berarti dia tak mencinta, tapi mungkin karena cintanya telah disia-siakan dan ia belajar mencintai dirinya sendiri lebih dulu.

Imaji

Puisi ini penuh dengan imaji kuat dan menggugah, seperti:
  • “Aku telah tinggal duri” – imaji tentang perubahan diri yang tajam dan tak lagi bisa disentuh dengan kelembutan.
  • “Kubuang kuntum cium”, “kukembalikan madu pada layu” – membentuk visual bagaimana hal-hal manis dan romantis sengaja disingkirkan, karena tak ingin lagi menjadi daya tarik.
  • “Kutumbuhi segegap sepi” – imaji paradoks antara “gegap” dan “sepi” yang menciptakan lanskap emosional yang dalam.
  • “Mimpi yang tak berpenghuni” – membangkitkan kesan kehampaan dalam dunia batin.
  • “Darah diam yang tak berasam” – metafora yang menggambarkan cinta yang begitu dalam, namun tak lagi bergairah atau menyala.

Majas
Puisi ini sangat kaya akan majas, di antaranya:

Metafora:
  • “Aku telah tinggal duri” menggambarkan perubahan jiwa menjadi keras dan menyakitkan.
  • “Kukembalikan madu pada layu” adalah metafora tentang membuang manisnya cinta karena telah disia-siakan.
Paradoks:
  • “Segegap sepi” dan “darah diam yang tak berasam” adalah paradoks yang menunjukkan kontradiksi emosional, tapi justru memperkuat makna.
Personifikasi:
  • “Supaya kumbang terbang tanpa mabuk” – cinta diibaratkan sebagai bunga, dan para pencinta sebagai kumbang, di mana daya tarik sudah dipadamkan.
Repetisi:
  • Pengulangan bentuk verbal seperti “memilih”, “kubuang”, “kukembalikan”, “kutumbuhi” memberikan kesan tekad dan kekonsistenan dari tokoh lirik yang mengambil alih nasibnya sendiri.

Unsur Puisi

Beberapa unsur puisi yang menonjol antara lain:
  • Diksi: Diksi yang digunakan padat, tajam, dan penuh energi emosional. Kata seperti menusuk, runduk, kutuk, mabuk, darah diam adalah pilihan kata yang menggambarkan ketegangan emosi yang intens.
  • Gaya bahasa: Gaya bahasanya ekspresif, penuh letupan makna, dan sangat personal. Terasa seperti suara hati yang tak bisa lagi ditahan.
  • Struktur: Meskipun hanya satu bait, strukturnya rapi dan membentuk narasi puitis yang jelas—dari kemarahan, penolakan, hingga kesadaran akan kedalaman cinta yang tak terucap.
Puisi “Gila! Mengapa Tak Kauucap Cinta Ketika Aku Penuh Bunga?” adalah luapan emosi yang elegan dan pahit. Dalam keindahan bahasanya, A. Muttaqin menyampaikan sebuah protes batin terhadap cinta yang tak hadir di waktu yang tepat. Puisi ini mengajak pembaca untuk tidak menunda mengungkapkan cinta, dan menyadari bahwa ketulusan pun bisa layu jika dibiarkan sendirian terlalu lama. Meski hanya 13 baris, puisinya berhasil menyampaikan kerapuhan manusia dan keberanian untuk memilih luka ketimbang pasrah — sebuah refleksi tajam atas dinamika cinta dan waktu.

A. Muttaqin
Puisi: Gila! Mengapa Tak Kauucap Cinta Ketika Aku Penuh Bunga?
Karya: A. Muttaqin

Biodata A. Muttaqin:
  • A. Muttaqin lahir pada tanggal 11 Maret 1983 di Gresik, Jawa Timur.
© Sepenuhnya. All rights reserved.