Iki Dudu Kenanga, Iki Melathi
ing kamar kang sepi
atiku miber kaya manuk susuhe puji
ing kamar kang sepi
atiku kaya prau kang layar ing jaladri
kayadene mega kang dak-sawang lewat jendhela
kayadene lintang kang sumamburat ing akasa
aku golek marga kang nuntun jiwa lan raga
dalan kang pinager mawar kang waneka rupa
ing taman kang endah
sing ana mung ati kang sumarah
kabeh mung kayadene impen
kabeh mung bakal diseleh ing peceren:
- mobil lan omah magrang-magrang
bojo ayu kang nunggu senthong
titel kang ngrentep kaya tanduran singkong
kabeh, ya, allah
uga buku-buku kang wis lungset dipangan tungan kang wis sayah
wis adoh aku ngumbara
sing dak-temu mung bangsane wong ngumpulake bandha
adol ilmu, adol omong sakmarga-marga
kang ngaku guru, nanging dudu guru
kuwi bangsane ula daulu
ilmu kang sejati, ya, allah
ora bisa dituku, ora bisa dikulak sarana maradhiryah
ilmu kang sejati, ya, allah
dalane mung sarana sumarah kanthi ati kang malerah
lan ngucap kanthi tulus ati, allah, allah, allah......
ing kamar kang sepi
kembang-kembang amrik angganda arum
ing kamar kang sepi
atiku mabur ngoyak cahya kang edhum
ing kamar kang sepi
ing kamare atiku iki
ana pitakon sora nglegawa:
- mitra, dhuwitmu wis pirang yuta
lan uwanmu wis pirang leksa?
wis adoh aku ngumbara
tibake ndonya ora isi apa-apa
mung isi asu kerah adu beja
golek nikmate nafsu duraka
mula aja ko demek jubahku kang ngliga rasa
awit bakal dak kipatke ana bantala
iki dudu kenanga, iki melathi
aku mung sadrema nglakoni
Wisma PHI Pusat
Jaya Baya, 1988
Sumber: Antologi Puisi Jawa Modern Jawa Timur 1981-2008 (2011)
Analisis Puisi:
Puisi “Iki Dudu Kenanga, Iki Melathi” karya Suripan Sadi Hutomo adalah puisi kontemplatif yang kaya akan perenungan spiritual, sindiran sosial, dan pencarian makna sejati dalam kehidupan. Disampaikan lewat diksi-diksi khas Jawa modern yang liris, Suripan menyuguhkan narasi personal yang terasa lirih namun sarat dengan kritik tajam terhadap peradaban materialistis yang melupakan nilai-nilai luhur. Kamar yang sunyi menjadi metafora ruang batin, tempat penyair berdialog dengan dirinya, Tuhan, dan dunia.
Tema
Tema utama puisi ini adalah pencarian makna hidup sejati di tengah dunia yang fana dan penuh tipu daya. Puisi ini mengangkat kebatinan, penolakan terhadap materialisme, serta pencarian ilmu hakiki dan spiritualitas yang murni. Ia juga mengandung kritik sosial terhadap masyarakat yang menjual ilmu dan kehormatan demi harta dan pengakuan.
Puisi ini bercerita tentang seorang individu—mungkin penyair itu sendiri—yang tengah merenung di kamar sepi. Ia mengingat kembali perjalanan panjangnya “ngumbara” dalam kehidupan: berjumpa dengan orang-orang yang mengejar harta, menjual ilmu, bahkan memperdagangkan moralitas. Di tengah kekosongan itu, ia tidak menemukan kebenaran atau kedamaian, kecuali dalam penyerahan total kepada Tuhan (sumarah).
Puisi ini mengandung perjalanan spiritual, dari pengamatan terhadap dunia, menuju pengendapan batin, lalu berakhir pada ikrar ketundukan pada nilai-nilai ilahiah, yang disimbolkan dalam larik:
“iki dudu kenanga, iki melathi / aku mung sadrema nglakoni”
Frasa itu menunjukkan perbedaan antara sesuatu yang tampak harum dan indah secara duniawi (kenanga) dengan sesuatu yang suci, putih, dan spiritual (melati).
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah ketiadaan makna sejati dalam perolehan duniawi jika tidak disertai ketulusan dan kesadaran spiritual. Segala hal yang dikejar manusia — mobil, rumah, gelar, pasangan cantik, buku, bahkan status sebagai guru — semuanya hanya “bakal diseleh ing peceren”: tempat pembuangan. Artinya, semua itu fana.
Lebih jauh, puisi ini menyindir keras para pencari nama dan kekuasaan, mereka yang menjual kata-kata dan ilmu, namun tidak mengamalkannya — “kang ngaku guru, nanging dudu guru”. Dunia digambarkan sebagai ajang “asu kerah adu beja”, penuh nafsu, intrik, dan kepalsuan.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini adalah sunyi, hening, dan reflektif, namun menyimpan kemarahan yang tenang terhadap kemunafikan sosial. Di satu sisi, ia menunjukkan kesunyian batin yang kontemplatif, namun di sisi lain, menyimpan semacam kekecewaan dan ironi mendalam terhadap kebudayaan yang mengagungkan simbol dan melupakan esensi.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat puisi ini antara lain:
- Ilmu sejati tidak bisa dibeli, tidak bisa diwarisi secara material, tapi harus diraih dengan penyerahan total, keikhlasan, dan kesucian hati.
- Jangan tertipu oleh tampilan luar atau simbol duniawi, sebab semua itu akan musnah.
- Jangan mudah mengagungkan orang karena gelar atau jubahnya, karena keagungan sejati ada dalam laku dan nurani.
- Kembalilah kepada Allah dengan hati yang jernih dan merendah, karena hanya lewat itulah cahaya sejati bisa ditemukan.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji batin dan visual, di antaranya:
“atiku miber kaya manuk susuhe puji”
→ Imaji jiwa yang melayang ringan karena pujian, menggambarkan kerapuhan batin terhadap pujian kosong.
“kayadene lintang kang sumamburat ing akasa”
→ Imaji cahaya bintang di angkasa sebagai simbol harapan atau pencarian makna di luar batas dunia.
“mobil lan omah magrang-magrang” dan “titel kang ngrentep kaya tanduran singkong”
→ Imaji sindiran terhadap materialisme; bagaimana gelar dan properti menjadi simbol yang semu dan tidak abadi.
“asu kerah adu beja”
→ Imaji satir terhadap dunia manusia, yang digambarkan seperti anjing berpakaian mewah, saling berebut untung.
Majas
Beberapa majas menonjol dalam puisi ini:
Metafora:
- “Iki dudu kenanga, iki melathi” → Melati menjadi metafora kesucian dan niat tulus, berbeda dengan kenanga yang harum namun bisa hanya tampilan luar.
- “dalane mung sarana sumarah kanthi ati kang malerah” → Jalan menuju ilmu sejati digambarkan melalui sikap pasrah, bukan dengan kekuatan duniawi.
Personifikasi:
- “atiku miber kaya manuk” → Hati diberi kemampuan terbang, mengekspresikan perasaan bebas sekaligus labil.
Hiperbola dan Satire:
- “kang ngaku guru, nanging dudu guru” dan “asu kerah adu beja” → Kritik sosial tajam yang dibungkus dalam ironi dan satire.
Repetisi dan ritme doa:
- “allah, allah, allah…” diulang sebagai mantra atau dzikir, menandakan intensitas spiritual dan perendahan diri di hadapan Tuhan.
Puisi “Iki Dudu Kenanga, Iki Melathi” bukan sekadar puisi meditatif, tetapi sebuah seruan spiritual dan kritik kebudayaan dari seorang penyair yang merenungi nasib manusia modern. Ia mengajak pembaca untuk keluar dari pusaran dunia yang penuh simbol, penampilan, dan keinginan, lalu kembali kepada melati kesucian — bukan kenanga harum yang bisa menyesatkan.
Dengan tema pencarian makna hidup, makna tersirat yang tajam, dan penggunaan imaji serta majas yang kuat, puisi ini berhasil mengajak kita masuk ke ruang batin seorang penyair yang sudah letih oleh dunia, tetapi masih punya harapan dalam Tuhan. Sebab, seperti pesan akhirnya: “aku mung sadrema nglakoni” — aku hanya menjalani, dengan sepenuh hati.
Karya: Suripan Sadi Hutomo
Biodata Suripan Sadi Hutomo:
- Suripan Sadi Hutomo lahir pada tanggal 5 Februari 1940 di Ngawen, Blora.
- Suripan Sadi Hutomo meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 2001 di Surabaya.