Ing Picadely
Sesalaman karo kutha iki
Kasaring tangan nebak jejantung
Picadely:
wong Negro lan wong saka New Delhi
Pesta ing sangarepe toko permadani
Ing sub-way
Nrajang lemahing kutha iki
Picadely!
Kejut kumejoting ati
Ana tawon ngrubung tai
Kembange kutha London
Urip kang tansah seneng
Picadely!
Ing etalase gumebyar konok imitasi
Tanpa gengsi!
Rina lan wengi
Ora ana asate kringet tumetes
Sabuk wesi sabuking dhiri
Wis ra tau bares
Picadely!
Aku saiki nebah dhadhamu ambal kaping sewu
Rupaking ruji
Ana ing lathi
London, 1978
Sumber: Antologi Puisi Jawa Modern Jawa Timur 1981-2008 (2011)
Analisis Puisi:
Puisi berjudul "Ing Picadely" (di Piccadilly) karya Suripan Sadi Hutomo merupakan potret pengalaman batin seseorang yang menghadapi dinamika kota besar, khususnya London dengan titik fokus pada kawasan Piccadilly — sebuah lokasi ikonik di jantung kota. Namun di balik kesan global dan megah itu, penyair mengangkat realitas tersembunyi dan absurditas kehidupan modern yang tersamar oleh gemerlap peradaban.
Puisi ini tidak hanya menjadi catatan perjalanan di negeri orang, tetapi juga sindiran terhadap modernitas, konsumerisme, dan dekadensi kota besar.
Tema
Puisi ini mengangkat tema keterasingan dan kegelisahan eksistensial di tengah kemegahan kota modern. Di sisi lain, puisi ini juga mengandung kritik sosial terhadap kehidupan urban yang serba instan, penuh kepalsuan, dan kehilangan makna kemanusiaan.
Tema lain yang menyertainya meliputi:
- Kemunafikan budaya konsumtif.
- Pencitraan palsu masyarakat metropolitan.
- Kesenjangan dan kehilangan nurani di pusat-pusat kekuasaan ekonomi dunia.
Puisi ini bercerita tentang pengalaman penyair berada di pusat kota London, khususnya Piccadilly, tempat bertemunya berbagai bangsa dan budaya. Kota ini penuh hiruk pikuk, pesta, kemilau toko-toko, dan kepadatan lalu lintas — namun justru di sanalah penyair menangkap ironi: di balik kemewahan, ada kekosongan dan kegetiran.
Piccadilly digambarkan bukan sekadar tempat fisik, melainkan metafora kehidupan urban yang "penuh cahaya imitasi", "tanpa gengsi", dan mengabaikan keringat kerja manusia.
Makna Tersirat
Puisi ini sarat dengan makna tersirat yang mencerminkan pergulatan batin penyair terhadap kehidupan kota modern:
- Kota besar bukanlah tempat damai, melainkan ruang sempit yang penuh kebisingan dan ironi.
- Kemewahan hanyalah citra, yang menyilaukan namun menyembunyikan penderitaan dan kebusukan moral.
- Kehidupan metropolitan membawa keterasingan, bahkan terhadap diri sendiri, seperti dalam larik “Aku saiki nebah dhadhamu ambal kaping sewu” – menyentuh dada kota ribuan kali, namun tak menemukan kehangatan.
- Modernitas mengaburkan nilai-nilai kemanusiaan, menjadikan manusia sebagai bagian dari etalase imitasi dan rel kereta bawah tanah yang terus berputar tanpa arah.
Suasana dalam Puisi
Puisi ini menciptakan suasana gelisah, asing, penuh ironi, dan sinis. Pembaca dibawa masuk ke dalam atmosfer kota yang semrawut namun glamor, ramai tapi dingin, modern tapi dangkal. Terdapat juga suasana kekaguman yang getir, seolah penyair ingin menyukai kota ini, namun terhalang oleh kenyataan pahit yang dilihat dan dirasakannya.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Beberapa amanat atau pesan dari puisi ini dapat ditafsirkan sebagai berikut:
- Jangan terkecoh oleh kemegahan dan citra luar kota besar; ada banyak penderitaan yang tersembunyi di baliknya.
- Modernitas dan globalisasi membawa efek dehumanisasi, menjadikan manusia bagian dari sistem yang dingin dan impersonal.
- Kita perlu tetap peka terhadap realitas sosial, tidak sekadar menikmati gemerlapnya tetapi menyadari sisi gelap yang tersembunyi.
- Kemanusiaan tidak bisa digantikan oleh etalase atau pesta tanpa makna.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji visual dan sensorik yang memperkuat nuansa urban yang penuh paradoks:
- “Wong Negro lan wong saka New Delhi / Pesta ing sangarepe toko permadani” → Imaji multikulturalisme yang kontras dengan kemewahan; pesta rakyat kecil di depan lambang kemewahan.
- “Ana tawon ngrubung tai” → Imaji menjijikkan namun kuat; menyindir bahwa kota ini menarik orang bukan karena nilai, tapi karena kenikmatan sesaat.
- “Ing etalase gumebyar konok imitasi” → Imaji cahaya palsu dan barang tiruan; sindiran terhadap konsumerisme dan kepalsuan citra.
- “Sabuk wesi sabuking dhiri” → Imaji fisik sekaligus batin, menggambarkan manusia yang terjerat oleh sistem kota seperti sabuk kereta bawah tanah yang tak pernah berhenti.
Majas
Puisi ini mengandalkan beberapa majas kuat untuk menyampaikan kritik dan pengalaman batin penyair:
Personifikasi
- “Aku saiki nebah dhadhamu ambal kaping sewu” → Kota seolah punya dada yang bisa disentuh dan disapa.
Metafora
- “Sabuk wesi sabuking dhiri” → Rel bawah tanah sebagai simbol keterikatan atau perbudakan sistem modern.
Sarkasme
- “Tanpa gengsi!” → Digunakan secara ironis untuk menyindir bahwa imitasi dan kepalsuan justru dipuja tanpa malu.
Simbolisme
- “Tawon ngrubung tai” → Simbol ketertarikan terhadap sesuatu yang kotor; metafora kritik terhadap motivasi urbanisasi yang tidak luhur.
- “Kembange kutha London” → Bisa dimaknai sebagai simbol pencitraan London yang indah, namun sesungguhnya penuh ironi.
Puisi "Ing Picadely" adalah puisi yang menelanjangi gemerlap kota besar melalui pandangan tajam dan puitik seorang pengelana. Suripan Sadi Hutomo tidak hanya menggambarkan London sebagai kota fisik, tetapi sebagai simbol dunia modern yang penuh kepalsuan, keterasingan, dan dehumanisasi. Lewat larik-larik yang sarat kritik sosial dan puitika gelisah, penyair menyampaikan bahwa kemajuan tak selalu berarti kemanusiaan, dan kemewahan tak selalu membawa kebahagiaan.
Puisi ini bukan hanya potret pengalaman kultural, tapi juga renungan universal tentang arti menjadi manusia di tengah dunia yang terus bergerak tanpa henti. Di Piccadilly, semua terasa terang, tapi hatinya gelap. Dan mungkin, demikianlah wajah banyak kota hari ini.
Karya: Suripan Sadi Hutomo
Biodata Suripan Sadi Hutomo:
- Suripan Sadi Hutomo lahir pada tanggal 5 Februari 1940 di Ngawen, Blora.
- Suripan Sadi Hutomo meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 2001 di Surabaya.