Juli di Ujung Senja
Juli menyapa di ujung senja,
langit merona dalam luka jingga.
Angin membisikkan rindu lama,
yang tertinggal di sela doa.
Juli, 2025
Analisis Puisi:
Puisi "Juli di Ujung Senja" karya Moh Akbar Dimas Mozaki merupakan karya singkat namun padat makna. Meskipun terdiri dari hanya empat baris, puisi ini berhasil menyampaikan emosi mendalam tentang rindu, luka masa lalu, dan suasana hati yang terikat oleh waktu. Dengan penggunaan diksi puitik yang padat dan simbolis, penyair menghadirkan suasana yang menyentuh, membuat pembaca merasakan perasaan batin yang tak tersampaikan secara langsung.
Tema
Puisi ini mengangkat tema kerinduan yang tertinggal di waktu senja dan kenangan yang membekas dalam hati. Juli sebagai penanda waktu tidak hanya merepresentasikan bulan, tetapi juga momen dalam hidup ketika perasaan mendalam muncul kembali. Waktu senja menjadi simbol batas antara terang dan gelap, antara hadir dan pergi, antara masih ada dan sudah tiada.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang mengalami rindu mendalam terhadap masa lalu, mungkin terhadap seseorang atau kenangan yang tidak sempat selesai. Ketika Juli tiba dan senja menjelang, kenangan itu kembali hadir. Angin membawa kembali rasa-rasa lama, sementara doa menjadi ruang di mana kenangan itu tertinggal. Puisi ini adalah pertemuan antara waktu dan perasaan yang belum benar-benar selesai.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini adalah bahwa waktu bisa menjadi pemicu munculnya kenangan yang telah lama disimpan. Bulan Juli dan senja bukan sekadar latar waktu, tetapi simbol dari fase kehidupan yang membawa luka dan kerinduan yang tak kunjung reda. Ada kemungkinan bahwa sosok yang dirindukan telah pergi, atau hubungan yang pernah ada kini tinggal jejak samar dalam doa. Puisi ini mengungkap bahwa doa menjadi satu-satunya ruang untuk menyimpan rindu yang tidak bisa lagi dititipkan secara langsung.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini melankolis dan syahdu. Kata-kata seperti “langit merona dalam luka jingga” dan “angin membisikkan rindu lama” menciptakan kesan senyap, perenungan, dan kesedihan yang indah. Senja dalam puisinya bukan sekadar waktu petang, tapi juga peristiwa batin yang penuh perasaan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah bahwa tidak semua rindu bisa terucap atau tersampaikan secara langsung—kadang ia hanya bisa tinggal dalam diam, dalam doa, dan dalam angin yang lalu. Kehidupan membawa kita pada situasi di mana perasaan harus disimpan, dan waktu mengajari kita untuk berdamai dengan kenangan yang tidak akan kembali.
Imaji
Puisi ini memuat imaji visual dan auditif yang sangat kuat, terutama untuk ukuran puisi pendek. Beberapa di antaranya:
- Visual: “langit merona dalam luka jingga” menggambarkan suasana senja dengan rona warna jingga yang penuh nuansa emosional.
- Auditif: “angin membisikkan rindu lama” memberi kesan suara alam yang seolah menjadi perpanjangan dari isi hati.
Imaji-imaji tersebut membuat puisi ini tidak hanya bisa dibaca, tetapi juga dirasa dan dibayangkan oleh pembaca.
Majas
Dalam puisi ini terdapat beberapa majas penting, di antaranya:
- Personifikasi: “Angin membisikkan rindu lama” memberikan sifat manusia pada angin, seakan angin bisa berbicara dan membawa pesan emosional.
- Metafora: “Langit merona dalam luka jingga” merupakan metafora yang menggambarkan senja sebagai luka—warna jingga bukan hanya rona petang, tetapi cerminan perasaan dalam jiwa.
- Hiperbola (tersirat): Rindu lama yang terbawa angin seolah sangat kuat hingga melintasi waktu dan ruang.
Majas-malas ini memperkuat kesan puitik dan emosional dalam puisi yang hanya empat baris ini.
Puisi "Juli di Ujung Senja" karya Moh Akbar Dimas Mozaki adalah contoh puisi pendek yang mampu menyampaikan emosi dalam skala besar. Dalam balutan kata-kata yang sederhana namun simbolik, penyair membangun suasana yang penuh nostalgia, rindu, dan luka hati. Tema kerinduan, makna tersirat tentang luka masa lalu, serta kekuatan imaji dan majas yang digunakan membuat puisi ini menyentuh hati pembaca.
Bagi siapa pun yang pernah merasakan rindu yang tak sempat diungkap, puisi ini menjadi cermin: bahwa perasaan yang dalam kadang hanya bisa tinggal di sela waktu, di sela doa, dan di ujung senja yang memudar perlahan.
Karya: Moh Akbar Dimas Mozaki
Biodata Moh Akbar Dimas Mozaki:
- Moh Akbar Dimas Mozaki, mahasiswa S1 Sastra Indonesia, Universitas Andalas.