Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kapan Semua Ini Usai? (Karya Dwiana Putri Setyaningsih)

Puisi “Kapan Semua Ini Usai?” karya Dwiana Putri Setyaningsih bercerita tentang seorang anak yang menyaksikan atau mendengar berita bencana yang ...

Kapan Semua Ini Usai?


Angin bertiup membawa berita ngeri
Di antara hujan yang mengguyur negeri
Serta petir menyambar-nyambar langit kelam ini

Gunung berapi muntahkan lahar
Tanah longsor membuat gempar
Berita banjir selalu terdengar
Kabut asap mulai menyebar
Angin bertiup kencang diiringi petir menggelegar
Berita gempa bumi juga tersiar
Rumah-rumah hangus terbakar
Segala penderitaan tak tergambar
Segala penyesalan tak terbayar
Semua kebahagiaan seakan buyar
Rasa sakit terasa bagai diterkam ular
Kepedihan semakin menjalar
Berita bencana banyak tertulis di surat kabar
Semua ini membuat kita merasa tertampar
Bencana demi bencana melanda negeri ini
Aku ingin bertanya
Kapan semua ini usai?
Tapi, aku hanya bisa mengunyah kata-kata
Tak bisa mengutarakan semua pertanyaan
Dan aku hanya bisa berharap
Waktu dapat menjawab semua tanya.

Sumber: Surat dari Samudra (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018)

Analisis Puisi:

Puisi berjudul “Kapan Semua Ini Usai?” karya Dwiana Putri Setyaningsih menghadirkan nuansa serius dan penuh refleksi, berbeda dari kebanyakan puisi anak yang ringan dan ceria. Dalam buku Surat dari Samudra, puisi ini menonjol karena keberaniannya membahas bencana alam dan penderitaan yang terjadi di sekitar kita, sambil tetap memadukan perspektif seorang anak yang ingin memahami dunia. Melalui penggunaan bahasa yang sederhana namun kuat, puisi ini mengajak pembaca muda untuk merasakan empati dan merenungi kondisi dunia di sekitarnya.

Tema

Tema puisi ini adalah bencana, penderitaan, dan harapan akan akhir dari kesulitan. Dwiana Putri Setyaningsih menyoroti berbagai bencana alam—mulai dari hujan lebat, petir, gunung berapi, tanah longsor, banjir, kabut asap, hingga gempa bumi—dan menggambarkan dampaknya terhadap manusia dan lingkungan. Tema ini menekankan kesadaran akan ketidakpastian hidup dan perlunya harapan di tengah situasi sulit.

Puisi ini bercerita tentang seorang anak yang menyaksikan atau mendengar berita bencana yang menimpa negeri. Anak ini merasakan kepedihan, ketakutan, dan keputusasaan akibat rangkaian peristiwa yang mengancam kehidupan. Ia bertanya-tanya kapan penderitaan ini akan berakhir, namun menyadari bahwa ia tidak bisa mengubah apa yang terjadi. Semua yang bisa dilakukan hanyalah merenung, mengunyah kata-kata, dan berharap agar waktu dapat membawa jawaban dan kelegaan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa hidup penuh dengan tantangan dan penderitaan, namun manusia harus belajar bersabar dan tetap berharap.

Selain itu, puisi ini juga menyiratkan kesadaran akan rapuhnya kehidupan manusia di hadapan kekuatan alam, dan pentingnya empati terhadap sesama yang terkena bencana. Pertanyaan “Kapan semua ini usai?” menjadi simbol dari keresahan dan ketidakberdayaan manusia, sekaligus dorongan untuk tetap memiliki harapan meski situasi sulit.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi terasa mencekam, gelisah, dan penuh kepedihan. Bait-bait yang menampilkan hujan, petir, gunung berapi, tanah longsor, dan rumah hangus menciptakan nuansa dramatis dan menegangkan. Suasana ini kemudian berpadu dengan perasaan anak yang bingung dan ingin bertanya, sehingga muncul campuran antara ketegangan eksternal akibat bencana dan ketegangan internal dari keresahan batin.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Amanat yang ingin disampaikan Dwiana Putri Setyaningsih adalah bahwa manusia perlu menyadari keterbatasan diri di hadapan alam, tetap bersabar, dan menjaga harapan meski menghadapi penderitaan.
Puisi ini mengajak anak-anak untuk memahami bahwa kesulitan dan bencana adalah bagian dari kehidupan, namun doa, refleksi, dan kesabaran menjadi jalan untuk tetap tegar dan berharap pada hari yang lebih baik.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan auditorial yang kuat:
  • “Angin bertiup membawa berita ngeri / Di antara hujan yang mengguyur negeri / Serta petir menyambar-nyambar langit kelam ini” → membangun imaji visual dan bunyi yang dramatis, membuat pembaca membayangkan hujan deras, petir, dan langit gelap.
  • “Rasa sakit terasa bagai diterkam ular” → imaji tactile dan figuratif, menekankan kepedihan emosional dan fisik yang dirasakan.
Imaji-imaji ini efektif dalam menimbulkan rasa empati dan ketegangan bagi pembaca, sekaligus mempermudah anak-anak untuk merasakan suasana bencana.

Majas

Beberapa majas yang terdapat dalam puisi ini antara lain:
  • Majas simile pada larik “Rasa sakit terasa bagai diterkam ular”, yang membandingkan rasa sakit dengan gigitan ular, memperkuat intensitas perasaan.
  • Majas repetisi, terlihat pada pengulangan kata “Berita” di beberapa baris awal, menekankan banyaknya bencana yang terjadi dan menimbulkan kesan bertubi-tubi.
  • Majas pertanyaan retoris, pada bagian “Kapan semua ini usai?”, mengundang pembaca untuk merenung dan merasakan keresahan yang sama dengan tokoh anak dalam puisi.
Puisi “Kapan Semua Ini Usai?” karya Dwiana Putri Setyaningsih adalah puisi anak yang mengangkat tema serius namun dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami. Puisi ini mengajak pembaca muda untuk menyadari ketidakpastian hidup, empati terhadap penderitaan, dan pentingnya menjaga harapan. Melalui imaji kuat dan majas yang efektif, puisi ini mampu menyampaikan perasaan gelisah sekaligus memberikan pesan moral bahwa meski bencana dan penderitaan melanda, kesabaran dan harapan menjadi bekal penting dalam menghadapi hidup.

Dwiana Putri Setyaningsih
Puisi: Kapan Semua Ini Usai?
Karya: Dwiana Putri Setyaningsih

Biodata Dwiana Putri Setyaningsih:
  • Dwiana Putri Setyaningsih lahir pada tanggal 6 Maret 2002 di Banjarnegara.
© Sepenuhnya. All rights reserved.